"Aaakhhhh ... hhhhhh ...."
Gama memperhatikan dari sofa, Garin terus mengeluarkan lenguhan dan suara napas dari mulutnya dengan nyaring. Sejak sore tadi nasal kanul bertengger di hidungnya, membantunya bernapas dengan nyaman.
Tiba-tiba terdengar suara tangis. Gama langsung beranjak dari sofa, menghampiri ranjang Garin. Garin terperanjat mundur saat Gama akan menyentuhnya, dia mengangkat tubuh lemahnya, termundur sampai pada batas ranjang.
"Rin, ini gue," kata Gama sembari menatap.
Lama Garin membalas tatapnya dengan mata yang basah, entah dia sedang dalam keadaan sadar atau tidak, soalnya demamnya kembali naik tadi sore, membuatnya terlihat gelisah dan meracau tak jelas sejak tadi.
Garin menjatuhkan kembali kepalanya pada bantal. "Gue takut. Gue udah ancur. Gue gak mau idup," racaunya sembari menangis.
Gama mengulurkan tangan, memegang kening Garin. Lalu beranjak, mengambil wadah yang tadi siang dipakai Mama untuk mengompres Garin. Gama mengisi wadah dengan air hangat dan mencuci handuknya, kemudian kembali ke dekat ranjang. Mengompres kening Garin yang sudah berhenti meracau, matanya kembali terpejam dengan deru napas yang masih nyaring, namun kini terdengar teratur.
--
"Kalo kemonya udah, kamu tinggal di rumah, ya? Biar Papa yang ngomong sama Mama."
Garin menggeleng. Papanya selalu menjenguk setiap pulang. Selalu mengajaknya untuk tinggal di rumah.
Papa tersenyum. "Mau ketemu Adek?" tawarnya.
Garin menggeleng walaupun ingin. "Nanti," sahutnya pelan.
"Besok Papa bawa Adek ke sini."
Garin menggeleng kuat. "Garin marah kalo Papa bawa Adek ke sini." Mata sayunya memandang serius.
Lalu Papa tersenyum tipis, mengulurkan tangan untuk memegang lengan Garin. "Kamu anak yang baik, Rin. Mama gak akan marah kalau kamu pulang ke rumah sebagai abangnya Theo sekarang. Kamu gak harus selalu tinggal di rumah sakit. Abis kemo kali ini, pulang ke rumah, ya? Theo selalu nungguin kamu. Dia pasti seneng kalau tahu ternyata kamu abangnya."
Tiba-tiba Garin menitikan air mata. "Nanti ... Pa," katanya pelan, terbata dengan bibir bergetar karena menahan isakkan.
Bibir Papa kembali tersenyum. "Papa akan selalu tunggu kamu di rumah. Kapan pun kamu siap pulang, bilang Papa. Gak harus nunggu nanti, Rin."
Garin mengusap air matanya. Tidak mau menganggukkan kepala.
--
Pipi Garin jadi agak chubby dan tubuhnya pun jadi terlihat agak gemuk di beberapa bagian, bukan karena makanan, semua karena asupan obat yang berupa cairan IV yang membuatnya seperti itu. Obat antibiotik yang aktif diberikan untuk melawan infeksi, obat kemo, dan segala macam obat yang masuk ke dalam tubuhnya dalam bentuk cair, membuatnya jadi tampak aneh.
"Garinn."
"Mas Garin."
Di sepanjang jalan menuju taman, beberapa perawat menyapa. Kemo sudah berakhir. Ini pertama kalinya Garin dibawa keluar lagi setelah sekian lama hanya mendekam di dalam ruangan. Akhirnya hari ini, dia cukup kuat untuk bangun dari tempat tidur.
Garin memundurkan kepala saat Gama tiba-tiba memakaikannya kaca mata hitam. "Niat banget lo bawa kacamata," katanya, terkekeh. Tak berniat melepas kacamatanya, karena cahaya matahari memang menyilaukan.
"Kalo kek begini, gue berasa jadi pasien kanker yang terkeren deh."
Gama mendecih dengan kekehan samar. Gaya Garin memang cukup oke. Dia melapisi piyamanya dengan jaket varsity, memakai topi yang dibalik, dan menggunakan kaca mata hitam. Ya, dia terkeren di antara pasien-pasien yang sedang berjemur lainnya, yang rata-rata seorang paruh baya.
-
"Woahhh, pizzaaa."
Entah sebagai penghargaan atau apa, hari ini Gama membelikannya pizza. Semenjak sakit, Garin tak mengecap makanan itu. Walaupun menurutnya, pizza bukan termasuk makanan yang dilarang, tapi Gama tak pernah membelikannya, sekalipun dia ingin.
"Gue dulu kalo bawa Theo maen, gue kasih makan pizza sampe bibirnya belepotan, dia makan sendiri."
"Lo kasih Theo pizza, lo kasih Theo coklat, apa lagi yang lo kasih ke adek gue pas bayik?"
"Adek gue juga," ralat Garin sambil menggigit pizza. "Gue tuh pengasuh yang baik kali," katanya.
Gama melirik sekilas. Dia mengakui kalau soal itu, soalnya dulu Gama jarang mengasuh Theo, dia lebih sibuk dengan urusannya, sementara Garin sesibuk-sibuknya dia, mengasuh Theo itu yang utama, sampai rela nongkrong sambil nyambi mengasuh adiknya.
"Dia nanyain gue gak?" tanya Garin.
"Nanyain, ngajak ke trampolin lagi. Dan, gitar. Lo masih punya utang janji. Anak kecil selalu inget."
"Iya, nanti gue ke rumah. Boleh, kan?"
Gama mengangguk. "Hari ini?"
"Nggak, lah. Kalo gue udah cukup kuat buat jalan sendiri."
"Ya, kapan pun lo mau."
Garin tersenyum, menggigit lebih lebar pizzanya. Nafsu makannya kembali dengan cepat, padahal kemarin dia masih mual melihat makanan.
--
BMP ... Garin kembali melewatinya. Dan berdo'a keras untuk yang kali ini. Pleaseee, beri dia berita baik.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
EGO (Selesai)
Ficção Geral**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Hidup semaunya sendiri. Membangkang. Keras kepala. Dan terakhir ... pergi begitu saja. Sombong sekali! Lupa akan semesta yang bisa menghempas tanpa peduli.