"Mau aku temani ke rangkang sawah mu, Dek."
Obrolan pertama sepasang remaja ditengah gemuruh udara dingin malam di persawahan. Kehidupan lika-liku yang mareka jalani ternyata membawa mareka kian bersama.
Gadis dan Agam adalah sepasang remaja yang n...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mau makan di mana?"
Kepala Gadis yang dibaluti helm coklat mendekat ke bahu pemuda yang sedang menyetir pelan sepeda motor matic hitam di jalanan yang dipenuhi wara- wiri mahasiswa berjalan kaki. Ini bukan gaya nyetir pemuda itu. Menyetir dengan kecepatan sama seperti laju kayuhan sepeda jelas menjadi kebiasaannya selama hampir beberapa bulan ini. Alasannya tentu karena wanita yang ia bawa di belakangnya.
Wanita yang memiliki pipi separuh dari lemak itu sama seperti sebuah bohlam lampu baginya. Mungkin ideologikan seperti bohlam lampu memang terdengar sangat aneh. Tapi, bohlam lampu ketika dipegang harus hati-hati agar tak terantuk sedikitpun atau nanti akan pecah dan tak bisa lagi menerangi. Begitulah Gadis baginya. Bahkan, ketika kedua sepeda motor ini melewati tanjakan bulat polisi tidur maka lajunya persis seperti sepeda motor yang di dorong. Gadis terkadang ingin mengeluarkan omelan protes mengenai cara bawa sepeda motor lelaki yang menjadi masnya itu.
"Terserah, deh. Tapi jangan nasi geprek, ya! Adek nggak mau makan yang sambal-sambal, nasi padang aja, deh, Mas."
Tak ada sahutan apapun dari depan Gadis. Hanya saja transportasi matic roda dua ini mengarah pada belokan jalan tempat rumah makan Padang langganan anak mahasiswa, karena harganya yang lumayan murah namun rasa khas tangan Uda-uda Padang tidak perlu diragukan.
Senyum Gadis terbit membayangkan nasi padang dengan kerupuk kulit siram ditambah ayam gulai dan sambal ijo. Perutnya ingin segera terisi satu piring nasi padang. Tapi, tunggu dulu ada sambal ijo? Bibir Gadis yang semula melengkung mendadak segaris. Pipinya menggembung lalu mendengkus kesal.
"Kenapa pipinya gitu, katanya mau nasi padang."
Pipi Gadis yang menempel di bahu lelaki itu menggeleng kanan kiri. Sedang mata pemuda itu hanya menatap Gadis dari kaca spion kanan dengan alis terangkat. Menunggu kemauan apa lagi yang akan keluar dari mulut kecil gadis di belakangnya itu.
"Nggak mau nasi padang, ada sambal ijo. Adek, kan, udah bilang nggak mau makan yang ada sambalnya," ucap Gadis yang terdengar merengek manja.
Oh tentu, Gadis memang akan manja jika soal makanan. Bahkan, jika dunia sedang melakukan perang dunia ketiga, ia tetap akan meluangkan waktu untuk makan terlebih dahulu, baru setelahnya ikut berperang.
Pemuda itu menghela nafas pelan. Tangan kasarnya menepuk pelan kepala Gadis kemudian mengusap lembut. "Nasi padangnya nggak usah dipakai sambal ijo. Pakai sop kepala ikan aja mau?"
Tak ada jawaban apapun dari Gadis yang kini hanya memilin ujung jarinya dengan kening mengerut, seolah makan nasi padang sama seperti memikirkan sebuah keputusan yang berat.
"Kalau Adek mau makan nasi sup kepala ikan, terus ditambah Mas beliin bakso ikan nanti malam, boleh?"
"Boleh, sayang."
Gadis terkekeh senang kemudian turun dengan gerak semangat memasuki rumah makan padang yang terlihat ramai. Mata Gadis melirik setiap sudut ruang. Tak ada meja kosong atau dua kursi kosong untuk mareka duduk membuat bibir Gadis memberengut.