TD XII

6.6K 671 33
                                    

Adlan menyeringai puas menatap wanita di hadapannya. Wanita itu tampak gelisah dengan terus menggigit bibirnya, bahkan keringatnya sudah mengucur membasahi dahi serta leher jenjangnya.

"Adlan, please..."

Wanita itu ingin meraih tangan Adlan, namun dengan cepat si empu menghindar.

"Terima akibat dari perbuatan lo. Beraninya lo main licik sama gue, Letta..." Ucap Adlan seraya mengenakan jaket denimnya, bersiap untuk pergi tetapi tangannya lebih dulu ditahan.

"G-gue minta maaf, gue ngaku salah karena udah berani ngejebak lo, tapi please tolong gue kali ini, g-gue..." Letta kembali menggigit bibirnya, ini benar-benar menyiksa, sungguh. Ia menyesal karena sudah berani bermain licik dengan Adlan yang ternyata lebih licik darinya.

Adlan kembali menyunggingkan bibirnya, tangan lebarnya terangkat membelai sisi wajah hingga rahang Letta membuat wanita itu memejamkan mata menerima sentuhan hangatnya.

"Lo cantik, tapi sayangnya kotor. Berapa banyak cowok yang udah pernah nidurin lo?"

"Adlan..."

"Gue pemilih Letta... Lo harusnya sadar diri, perempuan kyk lo gak pantes berharap sama gue." Katanya menghempaskan tangan Letta yang berani menyentuh lengannya.

"Panas, kan?" Tanyanya yang diangguki wanita itu.

"Sakit?" Ia mengangguk lagi.

"Mau dibantuin?" Wanita itu menggigit bibirnya lalu kembali mengangguk dengan ragu.

"Please..." Mohonnya.

Adlan terkekeh, ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya.

"Halo?"

"Apartrmen Luxury unit 208," ia melirik Letta yang sedang menatapnya penuh harap. "Ada yang butuh bantuan lo di sini." Ucapnya sebelum memutuskan sambungan. Adlan bangkit, lalu membungkukkan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya pada wajah Letta.

"Tunggu ya... Ada yang mau bantuin lo." Seringainya. "Servisnya gak kalah kok, gue jamin lo puas."

.

.

.

"Ayo masuk."

Begitu pintu terbuka, Reena bisa merasakan aroma musk yang pertama kali menyapa indra penciumannya. Melihat sekitar, netranya langsung dimanjakan oleh nuansa dark brown dengan interior klasik, ditambah lampu yang menerangi memancarkan sinar warm yang tidak menyakiti mata.

Nyaman, pikirnya.

"Duduk dulu, gue cari bentar."

Reena menurut, ia duduk di sofa sudut ruangan yang berhadapan langsung dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari atas. Bisa ia lihat kelap-kelip lampu kendaraan yang terlihat sangat kecil sedang memadati kota metropolitan yang tak pernah tidur.

Sudut bibirnya tertarik. Seperti inikah yang selalu dilihat oleh orang-orang berduit di luaran sana? Ahh, sungguh beruntung. Mereka bisa memanjakan mata dengan melihat pemandangan indah ini ketika sedang lelah dengan hiruk pikuk kehidupan.

Srak

"Boleh dibaca dulu, terus tanda tangani."

Membuyarkan lamunannya, Reena menoleh ketika suara itu mengintrupsi.

"Ini apa?"

"Kontrak."

"Kontrak?" Regard mengangguk.

"Semisalnya terjadi apa-apa sewaktu kerja, lo bisa nuntut." Tutur lelaki itu membuat Reena mengernyit. Apakah itu artinya ia diberi keamanan secara resmi?

Senyum Reena mengembang, ia semakin yakin untuk bekerja di tempat ini. Tangannya mengambil pena yang diberikan Regard dan langsung menandatangani selembar kertas yang dilindungi map coklat tersebut.

"Udah?" Tanya Regard yang kembali menghampiri dengan 2 kaleng soda ditangannya. Reena mengangguk sebagai jawaban.

"Gak dibaca dulu?"

Gadis itu menggeleng. "Gue percaya." Katanya membuat Regard terkekeh.

"Nih." Disodorkannya sekaleng soda yang diterima baik oleh Reena.

"Lo yang punya tempat ini kak?" Tanya Reena begitu Regard mengecap sisa soda di bibirnya. Lelaki itu mengangguk.

"Berdua sama adek gue." Jawabnya diangguki oleh Reena. Mata gadis itu kembali melihat-lihat ke sana kemari sampai atensinya jatuh pada sesuatu yang terpajang di balik lemari kaca. Sial, kenapa dia baru melihatnya sekarang.

"Itu..." Tunjuknya membuat Regard mengikuti arah pandang gadis itu.

"Kenapa?"

"L-lo suka Elang, kak?" Tanya Reena dibalas gelengan oleh Regard.

"Adek gue yang suka."

Damn

J-jangan bilang....

Reena menggeleng, menolak segala pikirannya negatifnya.

Dunia gak sesempit itu Reena...

Tapi... Itu terlihat sama seperti yang ada di apartemen dia.

"Adek lo cowok?"

"Enggak, cewek." Jawaban Regard membuat Reena bernafas lega. Lagi pula tidak mungkin jika Regard memiliki hubungan dengan si brengsek itu.

"Kenapa emangnya?" Tanya Regard.

"Ahh, enggak." Reena tersenyum kikuk.

"By the way, lo kan cewek, emang gak takut kerja di tempat kayak gini?" Pertanyaan Regard yang tiba-tiba itu membuat Reena menghela nafas berat.

"Mau gimana lagi kak? Gue butuh kerjaan." Ujarnya. "Lagian kerja di tempat begini gue harus pinter-pinter jaga diri aja, kan?" Regard mengangguk, ia setuju.

"Karena lo dateng bareng Arsen, jangan segan-segan sama gue." Katanya. "Kalau ada yang macem-macem bilang aja ke gue atau Wildan——tau kan anaknya yang mana?" Reena mengangguk menanggapi.

Drtt drtt

Suara dering ponsel itu membuat Reena menoleh pada ponsel Regard yang terletak di meja.

"Ck." decak lelaki itu mengangkat panggilannya.

"Halo?"

"Anjing lo."

Umpatan dari sebrang sana membuat Reena terkesiap.

"Apa lagi, sih?" Kesal Regard.

"Lo kalau nambah karyawan tuh bilang gue, jangan seenak lo aja, bangsat!" Regard memutar bola matanya malas.

"Reza?"

"Lo gak perlu tau siapa yang ngadu." Ucap orang itu.

"Awas aja lo, gue ke sana sekarang."

"Aelah, lo-anjing." Regard mengumpat kala sambungan itu diputus sepihak.

"Ada apa kak?" Tanya Reena cemas, walaupun sama-samar ia tahu maksud percakapan tadi.

"Biasa, orang gila." Asal Regard memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu bangkit dari duduknya.

"Yuk, gue anter pulang, nanti lo rabies kalau ketemu sama dia." Ajaknya berjalan lebih dulu. Reena tersenyum, ia mengikuti langkah Regard keluar dari sana.

Seandainya saja Reena tahu, mungkin dia akan menangis karena kesialan dalam hidupnya akan dimulai ketika ia berani menginjakkan kaki di tempat itu.

























Tbc...

THE DEVIL || JAKE SIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang