Manusia Merepotkan (Kupu-Kupu)

11 0 0
                                    

Finnally, setelah lama vakum nulis dan susah nulis tentang romance lagi. akhirnya bisa.


"Seperti halnya Kupu-kupu yang disukai banyak orang,

tapi dia (Kupu-kupu) ingin bebas"


"Benarkah?" tanyaku dalam hati saat mendengar apa yang dilontarkan temanku malam itu.

"Benarkah ingin bebas ataukah?" tanyaku lagi pada diri sendiri.

Tahukah? Aku sedang mengingat-ngingat kembali berbagai kisah kita dari awal mula hingga detik ini. Mencari berbagai jawaban dan bertanya benarkah kita mempunyai rumah yang sama? Tentang harapan yang ironisnya semakin terkikis. Mencoba untuk bertahan tapi semakin hari semakin tak terelakkan untuk mencari jalan yang lain meski inginku, kamu rumahku.

Sayangnya, aku mempunyai keinginan tapi takdir punya keadaan yang perlu dijalankan. Biarkan takdir berjalan tanpa diganggu, katanya. Sebuah ungkapan pasrah atau menyerah, aku tidak tahu. Yang pasti aku mencoba untuk bertahan meski bergelut dengan rasa yang akupun tidak tahu pasti itu apa.

"Sayang?"

Aku tersenyum lirih mendengar kata yang terlintas dalam pikiranku, aku masih ingat apa yang aku lontarkan pada temanku waktu di taman sepulang sekolah, sore itu. Tepat dimana paginya aku bertemu seseorang yang merepotkan. Ya merepotkan perasaan!

"Kau tahu? Berbicara tentang sayang. Aku menyayanginya. Sungguh. Tapi jika berbicara tentang cinta-" Aku menghentikan perkataanku dan menggantinya dengan helaan nafas yang panjang. "Mungkin aku mencintainya, mungkin."

Aku menatap wajah temanku yang sepertinya sudah bosan mendengarkan sang tokoh utama yang ada di dalam ceritaku, setiap harinya. Tentang bagaimana bimbangnya setiap kali jika membahas tentang pilihan dan memikirkan beberapa sudut pandang.

"Apakah nyata atau rasa?"

Konon, perempuan yang begitu perasa membuatku membuang jauh-jauh setiap kali membahas tentang cinta.

"Ahh akunya saja yang terlalu perasa"

Terlepas dari itu semua, kau tahu? Aku pernah mengakui jika aku mencintaimu suatu waktu. Aku menganggapnya sebagai kejujuran untuk diri sendiri. Mencoba untuk menurunkan ego dengan menyetujui jika aku mencintaimu walaupun pada akhirnya aku tetap mencintaimu sebagai manusia yang mempunyai logika.

Aku bahagia pernah memilikimu, walaupun tidak sepenuhnya sampai pada akhirnya aku harus membiasakan lagi tanpa hadirmu. "Aku bahagia bersamamu tapi aku harus tetap bahagia tanpamu" lirihku di sudut kota yang kecil ini.

Sampai akhirnya, aku sedikit tidak percaya saat kamu kembali. Aku takut, aku salah mengartikan. Aku takut, aku yang jatuh sendirian. Aku takut, jika kamu bukan tempatku untuk pulang. Aku takut, jika kamu sudah tidak sendirian. Aku mencoba untuk tidak merasa memiliki, walaupun rasa itu ada, rasa... "takut kehilangan tapi harus siap jika memang nyatanya akan merasakan kehilangan, lagi"

###

"Kau pernah mendengar?" tanya temanku yang akhirnya bersuara setelah tuntas mendengarkan segala keluh kesahku tentang manusia yang merepotkan.

Aku menggelengkan kepala sebagai tanda tidak tahu.

"Aku pernah mendengar kalimat seperti ini 'sebuah hubungan itu tergantung dari pihak lelakinya, mau sesayang apapun perempuan jika lelakiya sudah tidak ada rasa. Maka hubungannya akan berakhir. Begitupun sebaliknya, jika perempuannya sudah tidak ada rasa tapi lelakinya masih cinta, hubungan itu akan bertahan. Karena perempuan itu akan berpikir bahwa dia bisa mencintai lelakinya lagi jika terus bersama'. Kau paham maksudnya?"

Aku menganggukan kepala, anggap saja jika hubunganku dengan manusia yang merepotkan itu memang benar adanya, ada timbal balik rasa sebelumnya. Tapi jika tidak?

"Bahkan, aku saja tidak tahu perasaannya. Bagaimana kalau selama ini hanya aku saja?"

Aku pernah mempunyai sebuah keputusan jika memang dia bersama yang lain, ya gapapa. Tapi tetap saja saat mengetahui kebenarannya. Ternyata ada rasa kecewa. Jika memang hanya dilihat dari sudut pandangku saja. Walaupun sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang yang lain. Apa salahnya? Toh aku tidak tahu cerita lengkapnya dan bagaimana kejadiannya.

Tapi tetap saja rasa itu ada, bahkan kau tahu? Saat ini aku sedang mempertimbangkan, apakah memang benar ataukah hati mencoba untuk membohongi dengan menguburnya dalam-dalam. Bahkan ini bukan hanya tentang sebuah kejadian kekecewaan hingga pada akhirnya ada kata melupakan?

"Kamu, bukan untuk dimilikki!"

Kata yang pada akhirnya aku lontarkan, entah sebagai kalimat apa. Aku tidak tahu.

Adakah kesalahpahaman?

Jika memang kita saling merasa, bisakah untuk menurunkan gengsi dan berbicara agar semuanya pasti? Agar aku tahu harus berjalan kemana, agar aku tidak salah langkah kedepannya.

"Aku mencintaimu sebagai manusia."

"Sekarang terserah padamu saja."

"Aku harus berbicara dengan manusia yang merepotkan itu!" tegasku sambil melihat mata tak percaya yang tersorot dari temanku setelah sekian lama kita berdiam diri.

My WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang