Arkan melangkah keluar dari klub dengan langkah berat dan ekspresi dingin yang khas. Di area parkir, lampu-lampu neon yang redup memantulkan bayangan suram di atas aspal. Di sana, tiga sepeda motor mewah berderet rapi, menunggu pemiliknya. Arkan menghampiri motornya dengan langkah cepat, tidak sedikit pun melirik ke arah ketiga kakaknya yang sudah menunggunya dengan ekspresi serius.
Aldean, Revanka, dan Devan berdiri tidak jauh dari motor mereka, menatap Arkan dengan campuran kekhawatiran dan ketegasan. Aldean, sebagai kakak tertua, melangkah maju, mencoba menghentikan Arkan yang sudah memasang helmnya.
"Reyhan, kamu mau pergi ke mana lagi?" Aldean bertanya, nada suaranya menunjukkan bahwa ini bukan pertanyaan yang bisa diabaikan.
Arkan hanya menatapnya sekilas, sorot matanya dingin dan tanpa emosi. Dia tidak menjawab, hanya menyalakan mesin motornya yang mengaum keras, memecah keheningan malam. Aldean mencoba mendekat lagi, namun Arkan hanya mengangkat tangannya, memberikan sinyal agar kakaknya menjauh.
"Lo pikir lo bisa kabur lagi, Reyhan?" Revanka menambah tekanan dengan nada sarkastik. Arkan tidak menjawab, tapi tatapannya cukup untuk menjelaskan betapa sedikit ia peduli pada ucapan kakaknya itu.
Devan, yang tampak lebih khawatir daripada kedua kakaknya yang lain, ikut melangkah maju. "Reyhan, jangan bikin masalah lebih besar lagi. Ayo kita pulang," pintanya dengan nada yang lebih lembut, meski ketegangan tetap terasa di setiap kata-katanya.
Arkan memutar bola matanya, tidak berusaha menyembunyikan rasa jengkelnya. Dia menatap ketiga kakaknya satu per satu dengan pandangan menghina, lalu mengeluarkan satu kata sebelum menarik gas motornya. "Basi."
Dengan satu putaran cepat, Arkan menancap gas motornya dan melesat keluar dari parkiran. Suara knalpot motornya menggema di udara malam, sementara ketiga kakaknya bergegas menaiki motor mereka masing-masing untuk mengejarnya. Mesin-mesin motor mereka menggeram saat mereka mulai mengejar Arkan yang semakin menjauh.
Di jalanan malam yang lengang, Arkan terus mengebut, sengaja melewati beberapa tikungan tajam untuk mencoba mengguncang pengejaran. Namun, Aldean, Revanka, dan Devan terus mengikuti di belakangnya dengan kecepatan yang tak kalah agresif. Sorot lampu depan motor-motor mereka terus membuntuti Arkan, membuatnya semakin terpicu untuk mempercepat laju motornya.
Arkan hanya menyeringai sinis di balik helmnya, meskipun ia tahu bahwa ketiga kakaknya tidak akan melepaskannya begitu saja. "Goblok semua," gumamnya pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Baginya, ini semua hanya permainan konyol yang tidak ada ujungnya, permainan yang ia tahu pasti tidak bisa dimenangkan hanya dengan kecepatan.
Sesampainya di rumah, Arkan mematikan motornya dengan kasar, lalu membuka helmnya dengan gerakan cepat. Ketika ia mendekati pintu utama, suara mesin motor ketiga kakaknya sudah mulai terdengar di belakangnya. Arkan tidak peduli, ia segera masuk ke dalam rumah, mencoba mengabaikan kehadiran mereka yang semakin mendekat.
Kriet...
Pintu rumah megah itu terbuka, memperlihatkan dua pasangan yang sudah berumur namun masih terlihat segar. Jayden dan Diana berdiri di sana, menatap Arkan dengan tatapan tajam yang segera menghentikan langkahnya.
"Ayah dengar kau pergi ke klub, apa itu benar, Reyhan?" suara Jayden penuh dengan otoritas, menyelidik, seakan tidak ada celah untuk berbohong.
Arkan menatap Jayden dengan ekspresi kesal, matanya berkilat penuh rasa benci. "Enggak! Gue nggak ke klub!" jawabnya sarkastik, suaranya penuh dengan kebohongan yang jelas.
Namun, Aldean yang baru saja masuk langsung memotong. "Dia berbohong, ayah," kata Aldean tanpa ragu, tatapannya dingin dan menusuk.
Arkan melotot tajam ke arah Aldean, matanya menyala penuh amarah. Namun, sebelum dia sempat membalas, Revanka ikut menambah tekanan. "Bahkan dia melakukan hubungan badan dengan seorang jalang," ucapnya sembari menyeringai, menikmati setiap kata yang diucapkannya.
Arkan semakin geram, tatapannya berubah menjadi kemarahan murni. Dia tidak menyangka kakaknya akan menyerangnya dengan cara sekejam itu. "Lo ngomong apaan, Revan?!" teriaknya dengan marah, meski tahu bahwa kata-katanya tidak akan mengubah apa pun.
Devan, yang masih memegangi Arkan setelah menariknya dari motor, ikut menambahkan minyak ke dalam api. "Kak Revan benar, ayah. Reyhan bahkan memberontak ketika kami mengajaknya untuk pulang," katanya dengan nada yang lebih hati-hati, tapi tetap tegas.
"ENGGAK!! Mereka semua bohong!" teriak Arkan, suaranya melengking penuh dengan emosi. Dia tahu bahwa dia tidak akan bisa meyakinkan mereka, tetapi dia tidak bisa hanya berdiam diri saat dituduh seperti itu.
Diana, yang sejak tadi diam, akhirnya menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. "Reyhan..." ucapnya pelan, seolah-olah dia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun enggan mengakui kebenarannya.
Arkan menatap Diana dengan ekspresi yang berbeda. Kali ini, wajahnya berubah menjadi lebih lembut, penuh dengan kepura-puraan. "Ibu, percaya sama Reyhan, ya, Reyhan mohon," katanya dengan nada yang dibuat-buat memelas, mencoba memancing simpati dari ibunya.
Namun, Diana hanya bisa menatap anak bungsunya itu dengan campuran rasa sedih dan kecewa. "Reyhan..." ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lirih, seakan semua harapan telah hilang.
Arkan, yang merasa usahanya untuk mencari simpati gagal, hanya bisa mendengus kesal. Dia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan di sini. Sementara ketiga kakaknya memandangnya dengan tatapan penuh kemenangan, dia merasa semakin terpojok.
'Ini semua omong kosong, bajingan-bajingan sialan,' pikirnya dalam hati, matanya menyala penuh dengan dendam yang membara. 'Mereka pikir mereka bisa ngendaliin gue? Tunggu aja, gue bakal buat mereka nyesel.'
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Arkan berbalik dan mulai berjalan menuju kamarnya. Langkahnya berat, penuh dengan amarah yang tertahan. Pintu kamar yang keras ditutup dengan dentuman kuat, seolah menjadi simbol betapa frustasinya dia dengan situasi ini.
Namun, di dalam kamarnya yang gelap, Arkan mulai merencanakan langkah selanjutnya. Ini belum berakhir, dan dia tahu bahwa dia harus lebih cerdik, lebih licik, dan lebih kuat untuk menghadapi mereka semua. Karena satu hal yang pasti: dia tidak akan membiarkan mereka menang begitu saja. Mereka hanyalah karakter-karakter murahan, yang ia buat dengan ide murahan juga.
...
910 kata✓ didn't touch 1000 yet, but that's ok.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAN | Transmigration Of The Novelist
Teen FictionJangan dibaca kocak, gue yang nulis aja gak paham ama yang gue tulis sendiri bjirt. Entah ini karma atau memang sudah ditakdirkan, Arkan, seorang novelis ternama tiba-tiba saja bertransmigrasi dan memasuki novel yang ia buat sendiri. Menjadi seorang...