38. Achtunddreißig

8.8K 377 46
                                    

Pagi itu terasa begitu tenang, seakan alam sedang merayakan sebuah kedamaian yang tak terlukiskan. Sang mentari sudah membuka gordennya, membiarkan sinarnya yang hangat menyusup di antara celah-celah dedaunan, menciptakan bayangan indah di jalanan menuju sekolah. Arkan, atau yang sekarang dikenal sebagai Reyhan, menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar, mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggantung di matanya.

Hari ini terasa istimewa baginya. Untuk pertama kalinya sejak dia memasuki dunia ini, dia tiba di sekolah paling awal. Sebuah pencapaian yang tak terduga, mengingat biasanya dia selalu terlambat dan harus berurusan dengan tatapan sinis guru-guru.

Dengan langkah penuh semangat, Arkan melangkah menuju kelasnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang biasanya datar, puas dengan pencapaian kecilnya. Namun, seketika senyumnya menghilang saat dia membuka pintu kelas.

"Bangsat!" Arkan mengumpat dalam hati.

Di depan matanya, pemandangan yang sangat tidak ia harapkan. Ketiga temannya, Bagas, Rian, dan Fikri, sudah lebih dulu duduk santai di dalam kelas. Mereka terlihat tengah asyik bercengkerama, bahkan Fikri yang biasanya paling pendiam pun ikut tertawa kecil.

"Ngapain lo pada di sini sepagi ini?" Arkan bertanya dengan nada dingin, sembari berjalan ke arah bangkunya.

Bagas, yang pertama kali melihat Arkan masuk, langsung menyeringai. "Eh, lo tumben banget datang pagi, Rey! Lagi kangen sama guru-guru ya?" ucapnya sambil mengangkat sebelah alis, mencoba memancing reaksi.

Arkan hanya menatapnya tanpa ekspresi, tidak tertarik untuk meladeni ejekan Bagas. "Gue kira gue yang pertama datang, ternyata malah lo bertiga. Bangun tidur pada kelewat pagi ya?"

Rian tertawa kecil mendengar komentar sarkastik Arkan. "Liat aja siapa yang ngomong. Padahal kita udah di sini dari tadi, Rey. Kena macet di dunia mimpi, ya?"

Arkan menghela napas, memilih untuk tidak membalas. Dia hanya duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku pelajaran, mencoba untuk mengabaikan kehadiran ketiga temannya yang terus saja berceloteh. Bagas masih terus menatapnya dengan senyum jahil, sementara Rian dan Fikri kembali sibuk dengan obrolan mereka.

"Hari ini ada apa sih? Kenapa kalian bisa pada pagi banget ke sekolah?" Arkan akhirnya membuka suara, suaranya penuh dengan nada datar yang biasa.

Bagas terkekeh. "Mungkin karena kita pengen ngeliat muka lo yang masih ngantuk kali, Rey. Tapi, nggak nyangka lo bisa lebih dulu dari biasanya. Mau impress cewek mana nih?"

Arkan hanya menatapnya tanpa minat. "Kalian nggak ada kerjaan lain selain ngurusin gue, ya? Udah lah, mending kita siap-siap. Pelajaran pertama bu Susi, nanti kalau telat kita habis."

Fikri yang sedari tadi diam akhirnya menimpali, "Jangan deh, pagi-pagi udah harus ngeliat muka bu Susi, bikin mood hancur."

Arkan mengangguk setuju. "Ya, sama kayak kalian, bikin mood gue hancur pagi-pagi."

Obrolan mereka akhirnya terhenti ketika bel tanda masuk berbunyi. Masing-masing dari mereka mulai fokus pada pelajaran, meskipun Arkan tidak bisa menghilangkan rasa kesal yang masih menggantung di hatinya. Entah kenapa, hari yang seharusnya dimulai dengan baik malah terasa seperti awal dari sesuatu yang buruk.

---

Sesi belajar hari itu terasa begitu panjang dan melelahkan. Namun, ada kabar baik bagi Arkan dan ketiga temannya. Mereka dipulangkan lebih awal karena guru-guru harus menghadiri rapat mendadak. Bagi keempat pemuda ini, kabar itu seperti hadiah tak terduga. Tanpa membuang waktu, mereka sepakat untuk berkumpul di rumah Bagas.

ARKAN | Transmigration Of The NovelistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang