13. Dreizehn

14.4K 1.2K 14
                                    

Arkan yang awalnya berniat untuk membuat rencana sekarang justru terduduk di sudut kamar dengan wajah yang penuh amarah. Otaknya buntu, walaupun hanya untuk memikirkan beberapa rencana saja. Dia merasa seperti bara api yang siap meledak kapan saja. Semua yang terjadi malam ini membuatnya semakin muak dengan kehidupan yang ia jalani sebagai Reyhan.

"Bangsat semua orang di rumah ini," gumamnya dengan nada penuh kebencian.

Suasana sunyi di dalam kamar membuat pikirannya berputar-putar. Di luar, langkah kaki mendekat, dan suara ketukan lembut terdengar di pintu.

"Reyhan, sayang, ibu ingin bicara denganmu," suara Diana terdengar dari balik pintu. Suaranya terdengar lembut, tapi bagi Arkan, itu hanya seperti racun yang dibalut gula.

Arkan mendengus, merasa jijik mendengar suara itu. 'Ibu? Ibu macam apa yang baru mau bicara sekarang setelah sekian lama bersikap dingin?' pikirnya sinis. Dia tahu bahwa Diana tidak pernah benar-benar peduli padanya. Semua perhatian yang ditunjukkan hanyalah tipuan belaka, sebuah kebohongan yang terus-menerus dipelihara.

"Aku tau kau di dalam, Reyhan. Ibu hanya ingin bicara. Buka pintunya, sayang," lanjut Diana, suaranya masih terdengar lembut, seolah mencoba menenangkan Arkan.

Namun, Arkan tidak tertipu. "Sayang? Lo nggak pernah nganggep gue anak lo, ngapain pura-pura sekarang?" balas Arkan dengan nada penuh hinaan, suaranya terdengar tajam dari balik pintu. Tidak ada sedikit pun niat dari dirinya untuk membuka pintu dan berbicara dengan wanita yang ia anggap munafik itu.

Diana terdiam di balik pintu, jelas tidak menyangka Arkan akan membalas dengan kata-kata sekejam itu. Namun, dia berusaha tetap tenang. "Reyhan... Ibu benar-benar ingin memperbaiki hubungan kita. Tolong, jangan seperti ini," pintanya, meski ia tahu di dalam hatinya bahwa kata-katanya tidak akan berarti banyak.

Arkan tertawa sinis, suaranya bergema di dalam kamar. "Hubungan? Hubungan apaan? Lo sama sekali nggak peduli ama gue dari dulu. Sekarang lo ngomong soal hubungan? Omong kosong!" suaranya terdengar lebih keras, jelas-jelas menunjukkan betapa muaknya dia dengan situasi ini.

Aldean, yang menemani ibunya, menatap pintu kamar Arkan dengan perasaan yang campur aduk. Dia tidak menyangka bahwa adiknya akan berbicara dengan cara seperti itu, bahkan kepada ibunya sendiri. Kata-kata Arkan bagaikan pisau tajam yang menghujam jantungnya, membuatnya terdiam sejenak.

"Reyhan, cukup!" Aldean mencoba menghentikan adiknya, suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya. Namun, di balik ketegasan itu, ada sebersit perasaan bersalah yang mulai merayap di dalam hatinya.

Namun, Arkan tidak peduli. "Apa lo sekarang, Aldeanjing? Ngebelain nyokap yang dari dulu nggak pernah anggep gue anak? Dasar munafik lo semua!" balasnya dengan penuh amarah, tidak sedikit pun menunjukkan rasa hormat.

Kata-kata itu membuat Diana tidak mampu lagi menahan air matanya. Dengan perlahan, dia mulai menangis, isakannya terdengar jelas meski pintu tetap tertutup. "Reyhan... kenapa kau begitu kejam kepada Ibu?" ucapnya dengan suara yang terisak, sebelum akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan pintu kamar Arkan. Langkah kakinya terasa berat saat dia berjalan kembali menuju kamarnya sendiri, meninggalkan Aldean yang masih terdiam di tempat.

Aldean, yang menyaksikan ibunya pergi dengan menangis, hanya bisa berdiri terpaku. Hatinya terasa sesak, menyadari bahwa selama ini mungkin ada banyak hal yang dia abaikan mengenai adik bungsunya. 'Apa aku salah selama ini?' pikir Aldean, mulai mempertanyakan perlakuannya sendiri terhadap Arkan.

Setelah beberapa saat, Aldean memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Dia mendekati salah satu pembantu rumah tangga yang sedang membereskan meja makan di ruang keluarga. "Apa cemilan favorit Reyhan?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.

ARKAN | Transmigration Of The NovelistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang