"Eh, anjing..." gumam Arkan sembari melambai ke arah seekor anjing yang sedang tiduran di pinggir jalan. Dia berjongkok, matanya menatap lurus ke arah hewan itu dengan senyum tipis di bibirnya.
"Gimana kabarnya? Baik atau nggak baik?" tanyanya ringan, seolah sedang berbicara dengan seorang teman lama. Anjing itu menggonggong pelan, suaranya terdengar seperti respons yang benar-benar serius.
"Guk guk!"
Arkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Eng? nggak ngerti gue, anjing..." Dia melanjutkan obrolannya dengan ekspresi bingung.
Tiba-tiba, suara seseorang memecah konsentrasinya. "Lo gila apa gimana?" Suara itu datang dari arah belakang.
Arkan menoleh dengan cepat, alisnya berkerut tajam saat melihat siapa yang mengejeknya. "Gue waras, kenapa?" jawabnya dengan nada dingin, sorot matanya memperingatkan orang itu untuk tidak macam-macam.
Orang tersebut terkekeh. Ada sedikit aura licik dalam tawanya. 'Jadi dia adik lo, Van? Gue jadiin gebetan, sabi kali,' pikirnya sambil menatap Arkan dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian, dia berkata dengan suara yang lebih rendah dan penuh makna.
"Lo cakep ya..."
Arkan menyeringai, senyuman remeh terukir di wajahnya. "Dari lahir gue emang cakep, Gibran," balasnya, tanpa sedikit pun rasa malu.
Orang itu tidak lain adalah Gibran, sang antagonis pria dalam cerita. Mata Gibran menyipit sedikit, melihat bagaimana Arkan yang sekarang tampak begitu percaya diri, berbeda dengan Reyhan yang biasa ia kenal.
"Kacamata lo coba lepas dulu, pasti bakal lebih cakep," ucap Gibran sambil berjongkok, mendekati Arkan. Tanpa menunggu izin, dia langsung melepas kacamata Arkan dengan gerakan cepat.
"Lo! Nggak sopan, anjing!" Arkan merampas kembali kacamatanya dengan kesal, lalu memasangnya kembali di hidungnya dengan kasar. Matanya berkilat, tapi dia menahan diri untuk tidak melakukan hal yang lebih dari itu.
"Guk!" Anjing tadi menggonggong lagi, seolah-olah ikut memprotes tindakan Gibran yang kurang ajar.
"Huuft... Ayo, bareng gue," Gibran tiba-tiba merangkul Arkan, senyum licik menghiasi wajahnya.
"Bangkek! Kesannya lo kek homo, tau nggak?!" Arkan melirik Gibran dengan penuh rasa jijik. Dia berusaha melepaskan diri dari rangkulan Gibran yang terasa terlalu dekat dan tak nyaman.
Gibran hanya terkekeh, lalu tanpa peringatan, dia mengecup pipi Arkan dengan cepat. "Kan emang itu tujuan gue," ucapnya dengan nada menggoda.
Arkan langsung menjauh, hampir terlonjak karena terkejut. "Hiih! Lo beneran gila ya!" katanya sembari mengusap pipinya dengan kasar, berusaha menghilangkan jejak sentuhan Gibran yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun jelas terdengar dari belakang mereka. "Kamu... Reyhan!" Suara itu milik seorang gadis yang cantik, yang baru saja muncul dari balik pohon, membuat Arkan terlonjak kaget untuk kedua kalinya dalam satu menit.
"Natasya?" tanya Arkan sambil menatap gadis itu dengan tatapan datar. Ya, gadis itu adalah Natasya, si tokoh utama yang penuh tipu daya dan sekarang berdiri di depannya dengan ekspresi malu-malu.
"Iya..." Natasya menganggukkan kepalanya pelan, melirik Arkan dari ekor matanya, mencoba menangkap reaksinya. Ada sedikit keraguan dalam suaranya, namun dia tetap mempertahankan senyum manis yang biasa dia tunjukkan pada orang-orang.
Gibran, yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba memalingkan mukanya dengan ekspresi penuh rasa benci. Dia paling benci dengan yang namanya Natasya, gadis yang selalu mendapatkan perhatian dari lelaki yang dia sukai. "Cih!" desisnya dengan nada meremehkan, seolah-olah kehadiran Natasya adalah sesuatu yang sangat mengganggu.
Arkan melirik ke arah Gibran, kemudian melihat ke arah seorang pria yang berdiri di dekat pohon, sibuk memainkan ponselnya. "Syut, si Alden ada di sana noh, gue mau ngomong ama Nata dulu," bisik Arkan kepada Gibran, menyadari bahwa Alden, salah satu harem Natasya, sedang tidak memperhatikan mereka.
Gibran melepaskan rangkulannya, lalu mengangguk dengan patuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera berlari ke arah tempat Alden berdiri, meninggalkan Arkan dan Natasya sendirian.
Arkan terkekeh geli melihat Gibran yang menurut. Dia kembali memfokuskan tatapannya ke Natasya, yang sekarang berdiri di depannya dengan wajah penuh harap. "Kita ngobrol sembari jalan aja," ucap Arkan datar, seolah-olah pertemuan ini hanya rutinitas biasa baginya.
Natasya mengangguk pelan, mengikutinya berjalan menyusuri jalan yang sepi. Arkan berjalan dengan langkah tenang, sementara Natasya terlihat sedikit gugup, berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan Arkan. Namun, di dalam pikirannya, Arkan sedang memikirkan hal lain. 'Videonya sama fotonya udah ke-upload kan?' batinnya, sembari melirik intens ke arah Natasya.
"Reyhan, emm... Kamu pikir aku cocok nggak sama Alden?" tanya Natasya tiba-tiba, suaranya terdengar lembut namun penuh keraguan. Dia menatap Arkan dengan mata yang berkilauan, menunggu jawaban yang mungkin akan mengubah segalanya.
Arkan terdiam sejenak, berpikir sebelum memberikan jawaban. Dia menatap langit yang cerah, lalu menurunkan pandangannya kembali ke Natasya. Dengan senyum manis yang mengandung kadar gula yang super tinggi, dia menjawab, "Cocok-cocok aja kok."
Natasya menatap Arkan dengan tatapan kagum, mulutnya sedikit menganga. Dalam hatinya, dia berbisik, 'Dia harus menjadi milikku!'
Arkan melirik sebentar ke arah Natasya, melihat ekspresi puas di wajahnya. Lalu, dia kembali fokus ke jalan di depannya, tanpa menunjukkan sedikit pun emosi yang sesungguhnya. 'Sebentar lagi lo bakal hancur, Nata de Coco...' pikir Arkan dengan senyuman miring yang tersembunyi.
"Em, Reyhan..." suara Natasya terdengar ragu, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
"Apa?" Arkan melambatkan langkahnya, memberikan isyarat bahwa dia mendengar, tapi tidak terlalu peduli.
"Menurutmu... bagaimana hubunganku dengan Berliana?" tanya Natasya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih tegas, seolah-olah dia benar-benar ingin tahu jawaban dari Arkan.
Arkan terdiam lagi, kali ini lebih lama. Natasya menatapnya dengan penuh harap, jantungnya berdetak cepat menunggu jawaban dari Arkan. Dia benar-benar ingin tahu apa yang dipikirkan Arkan tentang hubungan mereka.
Namun, yang keluar dari mulut Arkan adalah sesuatu yang Natasya tidak pernah duga. "Menjijikkan."
Deg!
Jawaban singkat itu menghantam Natasya seperti pukulan keras di dada. Mata Natasya melebar, wajahnya yang tadinya penuh dengan harapan langsung memucat. Dia terdiam, tak mampu berkata-kata, sementara Arkan tetap berjalan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Tanpa sedikit pun penyesalan, Arkan terus melangkah maju, meninggalkan Natasya yang masih terpaku di tempatnya, dengan pikiran yang berantakan. Bagi Arkan, ini hanyalah bagian dari permainan yang sudah dia rencanakan sejak awal. Setiap langkah, setiap kata yang dia ucapkan, semua memiliki tujuan yang lebih besar.
"Gue bilang menjijikkan karena emang itu yang gue rasain," gumam Arkan pada dirinya sendiri, tak peduli apakah Natasya mendengarnya atau tidak. Dia menoleh sebentar, melihat Natasya yang masih terdiam, lalu kembali melangkah pergi. Meninggalkan gadis itu dengan semua kebingungannya.
Sementara Natasya mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya, Arkan tersenyum tipis. Dia tahu, efek dari kata-katanya akan terasa lebih lama dan lebih menyakitkan daripada serangan fisik manapun. Dalam permainan ini, Arkan memegang kendali penuh, dan Natasya hanya pion yang siap dia korbankan kapan saja.
---
1077 kata✓
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAN | Transmigration Of The Novelist
Teen FictionJangan dibaca kocak, gue yang nulis aja gak paham ama yang gue tulis sendiri bjirt. Entah ini karma atau memang sudah ditakdirkan, Arkan, seorang novelis ternama tiba-tiba saja bertransmigrasi dan memasuki novel yang ia buat sendiri. Menjadi seorang...