18. Achtzehn

11.6K 983 12
                                    

Arkan menatap buku catatannya, mencoba mengingat setiap detail tentang karakter Gibran Ardava Bramastya. Di dunia novel Our Beautiful Girl yang dia ciptakan, Gibran adalah salah satu karakter paling kompleks dan menjijikkan. Dia adalah tokoh antagonis yang berperan besar dalam menyebarkan konflik dan ketegangan di antara tokoh-tokoh utama, terutama karena orientasi seksualnya yang menyimpang.

Gibran digambarkan sebagai seorang gay, dan hal itu menambah kesan negatif di mata para pembaca. Mereka membencinya bukan hanya karena perilakunya yang licik dan manipulatif, tetapi juga karena orientasi seksualnya yang dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, Berliana, yang juga seorang LGBT, justru tidak dibenci karena selalu berada di pihak Natasya, tokoh utama perempuan dalam novel tersebut. Dukungan Berliana terhadap Natasya membuatnya tetap disukai, meskipun ia juga memiliki orientasi seksual yang tidak konvensional.

Gibran sendiri berasal dari keluarga yang berantakan. Orang tuanya tidak pernah memperdulikannya dan bahkan merasa malu memiliki anak seperti Gibran. Rasa penolakan dan kebencian dari keluarganya itu menanamkan rasa dendam yang dalam di hati Gibran. Dia menyalurkan dendamnya itu dengan menjadi antagonis yang berusaha menghancurkan hubungan antara Natasya dan Alden, karena Gibran sebenarnya menyukai Alden.

Tapi kenapa Gibran memilih untuk menjalin hubungan dengan Fikri? Arkan memikirkan hal ini dengan serius. Gibran sebenarnya hanya menjadikan Fikri sebagai pelampiasan. Saat Gibran menemukan Fikri menangis karena menyadari bahwa dirinya seorang gay, Gibran memanfaatkannya. Dia menenangkan Fikri dan kemudian menjadikannya sebagai kekasih, meski tidak ada rasa cinta sedikit pun dari Gibran.

"Sial, Gibran emang agak rada," gumam Arkan sambil menggigit ujung bolpoinnya. Dia mengingat bagaimana di hari kemarin, jika di dunia ini maka sudah di bagian dalam bab delapan, ketika dia mulai bekerja sama dengan tokoh antagonis wanita. Di saat dia tengah kejar-kejaran dengan ketiga temannya, dia mendengar suara seorang lelaki yang... cukup keras.

"Jadi dia adek lo, Van? Hmm, menarik." Arkan tertawa kecil saat mengingatnya. Tentu saja, itu adalah Gibran, memangnya siapa lagi?

"Oke, fix! Besok gue harus ketemuan ama Gibran," ujarnya dengan tekad yang kuat.

Arkan menganggukkan kepalanya, puas dengan rencana yang mulai terbentuk dalam pikirannya. Dia menulis beberapa poin penting di buku catatannya, memastikan semua detail rencananya tercatat dengan jelas. Namun, pikirannya terhenti ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.

Ckelk...

Jayden, ayahnya, melangkah masuk ke kamar. Arkan segera menutup buku kecilnya dengan cepat, menatap ayahnya dengan ekspresi waspada. Jayden, yang biasanya bersikap tegas dan dingin, kali ini menatapnya dengan pandangan lembut yang tidak biasa.

"Apa yang sedang kau lakukan, boy? " tanya Jayden dengan suara lembut, berbeda dengan nada biasanya yang tegas dan penuh otoritas.

Arkan merasakan ada yang tidak beres. 'What the hell? Kenapa jadi kaya gini? Tapi nggak papa, rencana gue bisa jadi lebih mulus kalo kaya gini. ' pikir Arkan sembari tetap menatap ayahnya dengan pandangan curiga.

"Menulis, daddy nggak boleh lihat! " Arkan menjawab cepat, sembari menutupi buku tulisnya dengan kedua tangan. Dalam hatinya, dia merasa geli mendengar dirinya sendiri memanggil Jayden dengan sebutan 'daddy'. Itu terlalu aneh dan tidak sesuai dengan karakternya yang sebenarnya.

"Oh... Benarkah? Tapi daddy mau lihat, " jawab Jayden sembari tersenyum lembut, nada suaranya terdengar begitu aneh di telinga Arkan. Senyum itu terasa tidak tulus, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di baliknya.

'Huwek! Jijik banget pakek daddy-daddy-an, ' Arkan berpikir dengan jijik, meskipun dia tetap berusaha mempertahankan ekspresi mania di wajahnya.

ARKAN | Transmigration Of The NovelistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang