"Tenang, ada gue kok," ucap Bagas dengan nada yang sok bersahabat, seolah mencoba menenangkan suasana.
Arkan yang mendengar ucapan itu hanya mendengus, ekspresi wajahnya berubah menjadi semakin dingin. Tanpa pikir panjang, ia menepis tangan Bagas dari pundaknya dengan kasar. "Gue ngambek ama lo, Gas," ucap Arkan dengan nada yang begitu dingin, tak sedikit pun menoleh untuk melihat reaksi Bagas.
Arkan langsung melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Bagas yang berdiri terpaku, terkejut dengan respon dingin itu. 'Gue bakal ngemusnahin lo, Gas. Pasti!' batin Arkan, sambil mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia benar-benar muak dengan semua drama yang selalu melibatkan Bagas. Sungguh, jika dia bisa mengulang waktu, dia pasti tidak akan menciptakan karakter semenyebalkan ini.
Melihat Arkan menjauh, Bagas mendengus kesal. Dia tidak terbiasa melihat Arkan bersikap dingin seperti itu padanya. "WOY, REYHAN! TUNGGUIN, ANJING!" teriak Bagas dengan suara yang memekakkan telinga, mengabaikan tatapan aneh dari orang-orang di sekitar mereka.
Arkan pura-pura tidak mendengar teriakan Bagas dan justru mempercepat langkahnya, mencoba menjauh dari suara yang semakin membuatnya jengkel.
"Reyhan bangsat!" maki Bagas, yang kemudian berlari mengejar Arkan, tidak peduli dengan tatapan heran dari siswa-siswi lain di koridor. Dia berlari cepat, mencoba menyusul Arkan yang sudah semakin jauh.
Arkan semakin mempercepat langkahnya, telinganya sengaja ditutup rapat dengan kedua tangan, berusaha mengabaikan semua omongan Bagas yang semakin tidak masuk akal. Dia tidak mau mendengar satu kata pun dari mulut orang itu.
Bagas, yang sudah berhasil menyusul Arkan, hanya bisa mendengus kesal ketika Arkan tetap saja bersikap dingin. "Anjing lo, Rey," gerutunya pelan, mencoba menyamakan langkahnya dengan Arkan yang masih melangkah cepat tanpa henti.
Arkan hanya melirik Bagas dengan tatapan sinis. "Diem lo," ucapnya singkat, suaranya begitu ketus dan tajam, membuat Bagas langsung menunduk takut. Dia tahu, Arkan sedang dalam suasana hati yang sangat buruk, dan tidak ada gunanya mencoba bercanda atau berbasa-basi.
"Iya... maaf," cicit Bagas lirih, hampir tidak terdengar oleh Arkan yang masih terus melangkah dengan langkah-langkah panjangnya.
"Kita mau kemana, Rey?" Bagas akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, mencoba mencairkan suasana yang begitu dingin di antara mereka.
"Kelas, lah. Mau kemana lagi, Dodol?" balas Arkan dengan nada yang lebih sinis, seolah-olah pertanyaan Bagas barusan adalah sesuatu yang benar-benar bodoh.
"OI, REYHAN!!" tiba-tiba teriakan Rian menggema di seluruh koridor, membuat Arkan dan Bagas terlonjak kaget.
Arkan mendengus kesal, lagi-lagi terganggu oleh suara yang begitu keras. Dia menghela napas berat, lalu berbalik arah menuju Rian yang berdiri sambil melambai ke arahnya.
Namun, begitu sampai di dekat Rian, tanpa banyak bicara, Arkan langsung menjewer telinga Rian dengan keras. "AKH! Saket bodo!" teriak Rian sambil meringis kesakitan, mencoba melepaskan tangan Arkan yang menjewer telinganya dengan kuat.
"Si Reyhan lagi pms, Ri," ucap Bagas dengan nada bercanda, tapi dia langsung menunduk ketika Arkan meliriknya dengan tatapan yang begitu tajam. Bagas berpura-pura bersiul, mencoba mengalihkan perhatiannya.
Arkan hanya mendengus kesal, lalu berjalan menuju bangkunya tanpa berkata apa-apa lagi. Dia segera duduk dan mulai menulis sesuatu di buku catatannya, wajahnya menunjukkan keseriusan yang jarang terlihat. Bagas dan Rian yang melihat perubahan itu menjadi heran dan semakin penasaran.
"Napa dah tu bocah?" bisik Rian kepada Bagas, suaranya rendah, tapi cukup untuk menyampaikan rasa penasarannya.
"Oh ya ndak tau, kok tanya saya," jawab Bagas dengan nada bercanda, sambil memainkan bolpoin di tangannya, membuat Rian semakin kesal.
Rian yang sudah hampir tidak sabar akhirnya hendak meninju Bagas, tapi gerakannya terhenti ketika seseorang tiba-tiba memanggil namanya dengan suara yang cukup keras. "RIAN!!"
Rian dengan cepat menoleh ke arah suara itu, melihat Fikri yang menunjuk ke arah seorang perempuan yang berdiri di ambang pintu kelas, menunduk dengan sikap malu-malu. "Lo dicari ama ni orang," kata Fikri sambil menunjuk perempuan itu dengan dagunya.
Seketika satu kelas mendengus kesal ketika melihat siapa yang berdiri di sana. Itu adalah Natasya! Kehadirannya membuat semua murid di kelas itu merasa tidak nyaman. 'Anjay MC datang,' pikir Arkan sinis. Bagaimana bisa Natasya muncul di saat yang tidak tepat seperti ini?
Rian juga berdecak kesal. "Apaan sih? Kalau nggak ada hal penting, pergi sono!" serunya, jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tidak tertarik untuk berbicara dengan Natasya.
Natasya, yang mendengar nada mengusir dari Rian, diam-diam mengepalkan tangannya. Dia berusaha menenangkan diri, lalu menatap Rian dengan tatapan lembut yang dibuat-buat, seolah-olah dia adalah bidadari yang baru turun dari surga. Untuk beberapa saat, Rian hampir terpana oleh tatapan itu, tapi dengan cepat dia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terjebak dalam permainan Natasya.
Natasya tersenyum lembut, lalu berkata dengan suara yang sangat pelan, "A-aku ingin kau menjadi pacarku selama 2 hari." Suaranya terdengar manis, tapi jelas-jelas ada maksud tersembunyi di balik ucapannya.
Rian terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Sementara itu, Arkan hanya menatap Natasya dengan tatapan yang tak terbaca, senyum sinis menghiasi wajahnya.
---
790 kata, dikit ya? Wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAN | Transmigration Of The Novelist
Teen FictionJangan dibaca kocak, gue yang nulis aja gak paham ama yang gue tulis sendiri bjirt. Entah ini karma atau memang sudah ditakdirkan, Arkan, seorang novelis ternama tiba-tiba saja bertransmigrasi dan memasuki novel yang ia buat sendiri. Menjadi seorang...