Bama dan Tama adalah dua anak kembar yang masing-masing memiliki perbedaan sifat dan kepribadian yang sangat berbanding terbalik. Bama, sang anak pertama yang cerewet, berisik, dan usil yang hobinya bikin onar, membuat anak kedua, Tama yang pendiam, calm, dan pasrah apa adanya itu kesal karena setiap hari ada saja ide 'cemerlang' membuat Tama hanya mampu menghela nafas berat sambil geleng-geleng dan menunggu Bama mengakhiri kegiatan usilnya."Lo liat tas medis gue gak Bam?"
"Nggak. Lo nuduh gue nyembunyiin?" Bama menggidikkan lehernya.
"Gaada nuduh lo. Tapi lo beneran nyembunyiin kan?"
"Nggak ada ya njing."
"Bama! Mulutnya!" Itu mama.
Bama hanya tertawa. "Lo lagi buru-buru?"
"Iya, 15 menit lagi gue masuk kelas praktikum." Kata Tama dengan tenang meski dadanya berdegup kencang, takut telat masuk kelas praktiknya dan bersiap mendapat nilai 0 untuk mata kuliah paling penting di semesternya.
"Gue sembunyiin di bawah kasur gue. Ambil sendiri ya, gue males naik ke atas." Bama bersantai di ruang depan, mengupas buah salak sambil menunjuk pintu kamarnya yang ada di lantai atas.
Tama bergegas mengambil tas praktiknya yang disembunyikan Bama di dalam kamar, tepatnya di bawah kasur anak berambut coklat tidak rata itu. Disemir sendiri karena harga salon mahal, katanya.
"Lo nggak bareng? Hari ini bukannya lo masuk jam 9 juga?" Tama turun dengan tas jinjing berwarna hijau di tangannya, alat-alat praktik.
"Gue bolos dulu ah. Jatah bolos gue semester ini masih full." Kata Bama santai dengan mulut penuh daging salak di mulutnya. "Jangan bilang mama kalo gue bolos. Gue udah bilang kalo dosennya lagi ada seminar." Bisiknya pada Tama.
"Oh, ok."
"Woy, nih bawa nih." Bama memasukkan satu buah salak ke saku tas Tama. "Rajin makan buah salak ya pak dokter. Biar nggak susah pupnya." Tama 'iya' saja, menerima buah salak yang sudah masuk ke dalam saku tasnya.
Tama lalu pergi ke dapur untuk berpamitan dengan mamanya dan pergi lagi ke depan untuk mengambil sepatu.
"Gue berangkat dulu." Pamitnya pada Bama.
"Oke. Belajar yang pinter. Jangan pacaran aja lo." Kata Bama random, padahal ia tau kembarannya itu sudah menjomblo seumur hidupnya.
"Emangnya gue elo, buaya."
"WOY!"
Bama nggak bisa hidup tanpa Tama.
"Tam, lo kapan baliknya njing? Gue bosen banget di rumah." Tanpa memencet tombol loud speaker pun suaranya sudah bikin pecah telinga.
"Mingdep kayaknya. Mama papa apa kabar?" Jawabnya dari telepon, sedang menjadi relawan gempa selama sebulan di provinsi lain.
"Lo nggak tanya kabar gue apa? Tanya kabar mama papa ya telpon mereka sendiri lah." Katanya sewot.
"Lo baik?"
"Nggak! Gue bilang kan, gue bosen di rumah gaada lo."
Tama tertawa. "Lo bosen karna gaada yang lo ajak bikin rusuh kan Bam?"
"Y"
"Pacar lo?"
"Putus."
"Lah, kenapa?"
"Gaasik."
Tama diam sebentar sambil menghembuskan nafasnya berat. Kembarannya ini agak lain.
"Bercanda. Dia jalan sama cowo lain Bam, anjing nggak tuh."
"Lo juga suka jalan sama cewe lain masalahnya." skakmat.
"Lo nyalahin gue?"
"Nggak ada nyalahin lo."
"Dah lah. Pokoknya buruan lo pulang. Ni lama-lama baju di lemari lo abis, soalnya gue pake semua."
"Iya."
"Oke, gue tutup. Bye!"
"Malem Bam."
"Malem juga Tam."
Tama juga nggak bisa hidup tanpa Bama.
"Bam."
"Hah? Lo ngapain ke sini?" Bama yang masih lemas di ranjang rumah sakit itu mengucek-ngucek matanya. Ia sudah lima hari opname di rumah sakit, dan ini sudah pukul 11 malam.
"Rumah sepi."
"Mama papa kemana?"
"Nggak ada lo, sepi." Katanya sambil menaruh jajan bermicin kesukaan Bama di nakas samping ranjangnya.
"Gue gak nafsu makan begituan. Pait mulut gue Tam." Bama kembali merebahkan diri.
"Lo mau makan apa?" Tama mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan makanan online.
"Nggak ada, gue nggak naf-,"
"Pizza ya?"
"Boleh. Double cheese!"
Banyak hal yang mereka lalui bersama sejak bayi. Ada di keranjang bayi yang sama, selendang bayi yang sama, sendok bubur yang sama, botol susu yang sama, kamar yang sama, hingga-
"Pa, plis Bama nggak mau, kenapa kamarnya gak dijadiin satu aja sih, dijebol gitu biar sekamar juga sama Tama." Rengeknya ketika gudang atas dibereskan yang nantinya akan menjadi kamar salah satu dari keduanya.
"Udah gede Bam, udah mau SMA, biar punya privasi masing-masing." Kata papanya.
"Biar Tama itu nggak kamu gangguin terus aja Bam." Ucap mamanya. "Kasian Tama kamu usilin terus."
"Lo keganggu sama gue? Nggak kan Tam?" Bama meyakinkan.
"Nggak kok." Jawab Tama pelan.
"TUH! Enggak kok ma, pa."
"Tetep mama mau kalian pisah kamar aja. Udah, besok sore pulang sekolah bantu mama beres-beres gudang atas itu, terserah siapa mau pake itu buat jadi kamar. Nanti ikut papa buat beli cat."
"Kamar lu aja. Gue males mindahin barang." Bama bete. Meninggalkan Tama beserta orang tuanya di ruang tengah. Pintu kamarnya ia banting keras-keras.
Susah senang mereka lalui bersama, yah walaupun sebenarnya susahnya hanya pada Bama yang tukang usil, tapi Tama nggak akan pernah marah. Entah sudah terbiasa, atau memang terlalu polos dan lugu, atau dia memang suka Bama ngusilin dia. Sampai sekarang, mereka sudah menginjak umur 21 tahun, menjadi anak kuliahan semester akhir. Bama anak FIB dan Tama anak FK. Bama yang kuliah-organisasi dan Tama yang kuliah-praktikum. Sering Bama mengajak Tama untuk nongkrong bersama teman-teman futsalnya, Batara, Faris, dan Haikal. Tama yang memang tidak memiliki banyak teman itu jadi memiliki teman walau grup chat yang mereka punya ia silent, terlalu ramai katanya dan Bama menghormati itu. Awalnya Bama mengira Tama tidak nyaman dengan pertemanannya dan meminta Tama untuk jujur soal itu, tapi ternyata Tama malah bersyukur pada Bama karena sudah mengenalkannya dengan ketiga anak rantau absurd yang mulutnya seperti kebun binatang.
Apa yang diharapkan manusia untuk hari esok? Semuanya ada pada tangan Tuhan.
------
Don't forget vote and comment
-Alfa
KAMU SEDANG MEMBACA
Turning Pages
FanfictionSetiap hari aku selalu memastikan halaman-halaman dalam kehidupanku dipenuhi dengan pelangi, matahari, langit biru, bunga bermekaran, seperti taman bunga. Aku benar-benar menikmati hidupku. Saudara yang baik, mama papa yang menyayangi kami berdua, t...