13

130 20 14
                                    


Siang itu Bama mengendap-endap keluar rumah untuk menyerahkan dress putih Tama (untuk Gita) ke kurir laundry yang beberapa waktu lalu ia hubungi.

"Satu aja mas?"

"Iya satu aja." Bama mengangguk. "Berapa ya bu?"

"Waduh, biasanya saya kiloan sih mas. Yaudah, nanti aja saya whatsapp aja." Balas ibu-ibu tersebut.

"Oh iya bu, nanti kalau sudah selesai, chat saya dulu ya. Terus, kalo sudah sampe di sini, jangan dikasihin ke orang lain selain saya ya bu."

"Oh, iya siap mas."

Beruntung mamanya sedang tertidur di kamar. Setelah selesai 'karantina' ini, Bama akan menemui Gita. Nanti dia akan meminta Haikal tentang informasi Gita. Yah, sebenarnya ia juga sedikit pesimis, apakah Haikal akan mendapatkan informasi banyak tentang Gita, karena Haikal bukan tipikal orang yang gampang mendapat informasi orang lain, terlebih yang tidak ia kenal. Parahnya lagi bagaimana kalau Haikal sekongkol dengan Batara yang jelas akan melarangnya. Kalau sudah begini jadinya, Bama sendiri yang harus mencari info itu sendiri.



Satu minggu berlalu. Hari ini Senin dimana Bama mulai kembali beraktifitas, ke kampus dengan berbagai wejangan papanya.

"Papa anter, mama jemput. Mama langsung jemput kamu begitu kelas selesai. Jadwal yang kamu kasih ke papa kemaren udah fiks kan?" Bama mengangguk. "Papa belom ijinin kamu ikut kegiatan kampus. Kerkel? Bawa temen-temennya ke rumah, belajar bareng? Bawa temennya ke rumah juga. Selalu sama Haikal, paham?"

Terkesan mempersempit geraknya, tapi, yah... Bama paham, ini adalah bentuk kepedulian papanya, kebaikan pula untuknya, serta mempersempit pertemuan dengan orang-orang tidak terduga yang dapat membuatnya kembali marah dan menyalahkan dirinya seperti kemarin.

"Iya pa, ma." Jawabnya singkat sebelum menutup pintu mobil.

"Belajar yang bener ya nak." Mamanya melongok dari jendela. Beberapa mahasiswa menoleh pada mereka.

"Mama, malu." Bama berbisik. Mamanya tertawa.

Di koridor fakultas sudah ada Haikal yang sedang memainkan ponselnya. Lelaki jangkung itu melambaikan tangan begitu melihat Bama memasuki gedung fakultas.

"Akhirnya, ngampus juga lo." Haikal tertawa.

"Yah anjir ngampus. Males gue." Gurau Bama sambil balik tertawa. "Btw, gue diminta menemui kaprodi dulu bentar. Temenin dong."

"Oke siap." Haikal menyangklong ransel kempesnya dan berjalan bersama Bama menuju ruang prodinya. "Gue tunggu luar apa dalem?"

"Dalem aja, ngadem sekalian."

Haikal duduk di sofa ruang prodi, bertemu berpasang-pasang mata dosen yang sangat mengenalnya.

"Mas Haikal kok di sini?"
"Nemenin Bama Pak."
"Oh, iyaiyaiya"

"Haikal. Makin bule aja mukamu"
"Aduh, bu, hehe"

"Kamu keturunan bule inggris atau arab sih mas?"
"Waduh bu, jauh banget inggris. Nggak bu, saya Arab."

Sambil tertawa canggung dia menjawab berbagai pertanyaan random dosen. Yah, wajahnya khas sekali, jadi ya tidak sulit mengenalnya. Ia duduk merapatkan kaki, menunduk senyum ketika beberapa dosen keluar masuk ruangan. Sepuluh menit jantungnya berdegup kencang, takut-takut ditanya hal-hal di luar kepalanya.

"Dah." Bama keluar dari ruang kaprodi sambil membawa kotak kecil. "Dikasih jajan. Lu mau?" Bama tertawa.

"Njir." Haikal ikut tertawa. Lalu keduanya keluar dari ruang prodi untuk menuju kelas.

Turning PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang