03

218 27 1
                                    


Ceklek

"Kan, Bama nggak papa." Bama keluar dari kamar mandi. "Mama dari tadi nunggu di sini?"

"Iya. Mama takut kamu kepeleset."

"Lantainya kering kok ma." Jawab Bama.

"Besok pagi mau jalan-jalan? Tadi mama lihat taman rumah sakitnya bagus."

Bama menggeleng. "Nggak ma, aku mau di sini aja."

"Yasudah." Mamanya membantu Bama kembali ke ranjangnya. "Papa harus ke kantor malem ini karena tugasnya banyak yang belum selesai. Kamu di sini sama mama aja nggak papa ya?"

"Nggak papa ma."

Malam itu, setelah mamanya tidur, lampu ruangan dimatikan dan di ganti dengan lampu tidur di samping Bama. Bama melihat ke luar jendela, hordeng putih itu samar-samar menampakkan cahaya bulan sabit dan lampu penerangan dari luar. Dadanya masih sakit. Perasaan bersalah kembali menyelimuti dirinya.

"Tam, coba lo yang jadi gue. Perasaan lo gimana? Gue sendirian Tam. Gue nggak punya siapa-siapa."

Ia miringkan tubuhnya, semakin menatap cahaya bulan di balik hordeng. Tangannya ia angkat ke atas seperti akan menggapai sesuatu.

"Gue mau ikut lo aja boleh nggak Tam?"

"Boleh Bam."

"Beneran boleh Tam?" Kepalanya terangkat. Ia mendengar suara Tama.

Tidak ada jawaban.

"Lo pergi lagi." Bama memeluk dirinya sendiri. "Kepala gue sakit." Rambutnya ia remas dengan kuat. Ranjangnya berderit karena Bama terus menggoyang-goyangkan kepalanya.

"Kalo ikut gue, lo pamitan dulu sama mama."

"Mah, mama. Mama, aku mau ikut Tama. Mah, boleh ya?" Bama menggantungkan lengannya, mengisyaratkan mamanya yang sedang terlelap di sofa untuk datang padanya.

Bama melihat Tama ada di samping ranjangnya.

"Tama?" Bama benar terkejut. "Lo-lo beneran Tama? Lo dateng? Lo mau bawa gue? Gue udah ijin mama Tam. Bawa gue." Bama bangkit, ia duduk dengan tergesa-gesa sambil memegangi kepalanya.

"Jangan tinggalin gue Tam." Bama turun dari ranjangnya. Tama semakin menjauh. Lalu semakin lama semakin samar, dan hilang.

"Tama? Tama?! Lo dimana?! TAMA!!" Bama menyibak hordeng dengan keras hingga tiang infusnya terjatuh. "TAMA BANGSAT! LO ANJING TAM! LO NINGGALIN GUE LAGI!"

Mamanya yang terkejut langsung menghampiri Bama.

"Bama? Bama ada apa sayang?"

"Aku nggak mau ma..." Tubuh Bama merosot.

"Nggak mau apa nak? Sini, ayo mama bantu berdiri."

"Nggak mau ma, nggak mau." Bama sambil menangis melepaskan pegangan tangan mamanya pada bahunya, lalu menggeleng-geleng.

"Nggak mau apa?" Mamanya dengan cepat memencet tombol darurat di dekat ranjang Bama, lalu kembali berjongkok di hadapan Bama.

"Nggak mau hidup ma. Mau mati aja. Mau mati!! BAMA NGGAK SUKA HIDUP!" Tiba-tiba dia kembali berteriak. "BAMA BENCI!!" Ia tarik selang infus yang menempel pada punggung tangannya. Darah kembali bercucuran deras turun ke lantai.

Beberapa perawat laki-laki datang memegangi tangan dan kaki Bama, lalu mengangkatnya ke ranjang. Bama terus berusaha meronta.

"NGGAK USAH PEGANG-PEGANG GUE!" Katanya sambil berusaha melepaskan diri. Bama kembali diikat dengan kain. "Nggak mau! Mama, tolongin ma, sakit..."

Turning PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang