01

288 31 16
                                    


"Bangun woy kuliah!!!" Bama mendobrak pintu kamar Tama sambil berteriak-teriak. Lalu, satu pukulan entong nasi mendarat di pantatnya.

"Bama! Tama lagi sakit." Entah bagaimana bisa mamanya yang tadi sedang sibuk di dapur langsung ada di lantai dua bersamanya. Apakah mamanya ini bisa ber-apparate?

"Sakit apa ma?" Suaranya langsung ia pelankan.

"Pusing, semalem muntah-muntah. Udah kamu berangkat sana. Jangan bikin berisik."

"Yah, oke ma." Bama langsung menutup pintu kamar Tama pelan, lalu pergi ke kampus seorang diri.


Dari jauh Bama sudah melihat keberadaan kawan-kawannya sedang sarapan di kantin universitas.

"Anak kembar dat-, loh, sendirian aja lo? Mana kembaran lo? Praktik lagi si Tama?" itu adalah Faris. Anak tehnik, rambut gondrong yang diikat manbun dengan karet bungkus nasinya pagi ini.

"Sakit dia. Muntah-muntah semalem." Bama menaruh tas ransel super enteng di pangkuannya, lalu mengambil kulit ayam goreng yang disisihkan Faris di ujung kertas minyaknya.

"Lah, calon dokter bisa sakit juga?" Celetuk Faris.

"Lo pikir gue anak psiko mentalnya bisa sehat sepanjang masa?" Batara menggeplak kepala Faris dengan buku bacaannya. Bama sempat memperhatikan cabai yang ada di sela giginya. Batara langsung paham dan meneguk segelas air untuk membersihkannya.

"Loh, anak psiko kalo stress tinggal baca materi aja gak sih?" Haikal, si anak blasteran Arab Jawa menimpali.

"Malah meninggal." Ucapan Batara membuat mereka tertawa. "Lo pikir Tama sakit bisa nyuntik sendiri? Lo pikir ibu bidan bisa lahiran sendiri? Dokter gigi bisa cabut gigi sendiri?" Tambahnya.

"Eh, tapi ntar malem lo dateng kan ke seminar Pak Naratama Bam?" Kata Haikal sambil menusuk bakso terakhirnya di mangkok. Sarapan pagi mewah ala anak kos.

"Dateng lah. Gini-gini gue peduli sama skripsian gue njing."

"Santai dong anjing!" Faris menekan kata anjingnya.

"Ikut-ikut aja lo njing." Balas Bama.

"Berisik banget asu." Batara menutup kupingnya. Dia ini yang paling ambis kalo belajar, setelah Tama. Lainnya jarang keliatan belajar di tempat nongkrong, tapi ya belajar. UKT mahal, kalo kata Faris. Dibuang sayang, kasian mama papa kerja keras.

"Kok jadi komunitas marah-marah njir." Kata Haikal diakhiri tawa. "Gue kelas dulu sama Bama ya. Bu Anjani, galak." Haikal menghabiskan es jeruk terakhirnya.

"Ntar sore jadi kan bantuin penelitian lo Bat?" Bama teringat soal penelitian Batara, Bama sudah berjanji untuk membantunya.

"Nggak jadi hari ini Bam. Gue ada kelas pengganti ntar sore. Kapan lagi gue kabarin ya, sorry." Ucapnya tidak enak.

"Halah satai. Kayak gue sibuk aja." Bama tertawa. "Kapan aja gue bisa. Pas kelas gue juga bisa bolos. Males gue."

"Inget IPK lu nak. Mau makin jebol?" Kata Faris.

"Kayak IPK lu bagus aja." Bama nyolot.

"Lu ngapain nyambungnya ke IPK gue jelek apa bagus njing! Gue cuman ngingetin IPK lo bangsat."

"Udah woy!" Haikal melerai keduanya. "Udah. Masih pagi loh, ribut aja lo. Gue nikahin juga lo berdua." Tambahnya.

"Kelas dulu gue."










"Ma, Bama mau pergi ya." Bama turun dengan pakaian rapi kemeja kotak-kotak khasnya dan parfum vanilla yang wangi sekali.

"Anak mama mau kencan?"

Turning PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang