Bama turun dari kamarnya menuju dapur. Makan malam. Mamanya sedang memasak. Papanya lembur, belakangan beliau sangat sibuk, tidak bisa bergabung makan malam hari ini."Bam." Panggil mamanya ketika ia melihat anaknya duduk di kursi meja makan. Ia diam di sana, ragu-ragu membuka mulut, menimbang-nimbang reaksi mamanya jika ia benar-benar melanturkan pertanyaan yang ada di kepalanya.
"Bama mau ke makam Tama. Boleh?"
Mamanya terkesiap. Kondisi anaknya saat ini tidak memungkinkan untuk membuat dirinya menghadapi makam saudaranya.
"Bama kangen Tama." Suaranya tercekat. "Bama coba buat gak ngaitin hidup Bama sama Tama lagi, Bama coba buat hindari semua hal yang menyangkut tentang Tama, Bama coba buat gak pingin tau dimana mama sembunyiin kunci kamar Tama yang Bama simpen di laci, tapi Bama nggak bisa." Air matanya turun deras membasahi pipinya. "Bama nggak bisa diem aja dan anggep Tama bukan apa-apa buat Bama, Bama nggak bisa." Bama menggeleng, lalu memeluk mamanya erat.
"Jangan sekarang." Mamanya mengelus punggung tergugu anaknya.
"Sampe kapan ma?" Bama melepaskan pelukannya. "Sampe kapan Bama boleh jenguk kuburan Tama? Sampe Bama sembuh? Sembuh fisiknya? Mentalnya?" Ucapnya tanpa nada tinggi.
"Mama takut." Mamanya ikut menangis. Mulutnya ditutupi oleh kedua tangannya. "Mama takut Bama sakit hati liat kuburan Tama. Mama takut Bama masih nggak terima. Mama takut Bama marah ke diri Bama sendiri. Mama nggak mau Bama kayak gitu." Mamanya merengkuh kembali anaknya.
"Ma maafin Bama. Bama nggak bakal aneh-aneh lagi. Bama bakal tahan semua emosi Bama kalo mau marah. Bama nggak bakal kayak kemaren. Mama boleh bawa Bama ke dokter Daniel atau ke psikiater lain buat Bama, pokoknya Bama mau sembuh ma. Nggak mau kayak gini, capek. Kepala Bama sakit, dada Bama sakit, semuanya sakit." Keluhnya tanpa henti. Suaranya tidak jelas karena menangis erat di pelukan mamanya meski beliau paham seluruh ucapan Bama.
"Bama cuman pengen lihat Tama ma."
Keesokan paginya pun, mamanya mengabulkan permintaannya. Papanya juga mengijinkan. Pukul delapan pagi, keduanya sudah masuk ke gerbang pemakaman. Wangi melati menyapa penciuman mereka dari salah satu liang yang masih dikelilingi orang-orang berduka. Tangisan pilu membuat langkah Bama terhenti, tanpa sadar menyaksikan satu per satu orang di sana yang sedang memeluk nisan dan menabur bunga.
"Nak, ayo." Bama kembali melanjutkan langkahnya ketika mamanya memanggil. Tak lama mereka berhenti di hadapan pusara bernisan putih bertuliskan 'Naratama Arimbi Aditya'. Pusaranya diberi rumput oleh kedua orang tuanya. Masih banyak bunga-bunga kering di atasnya. Entah siapa lagi yang terakhir kemari karena bunga itu masih memiliki warna, belum lama ditabur.
"Banyak yang dateng." Mamanya berjongkok di hadapan pusara anaknya, diikuti Bama. "Mama papa ke sini terakhir tiga hari lalu, dan selalu ada bunga. Banyak yang jenguk Tama sejak hari pertama, Bam." Mamanya mengusap pelan nisan Tama.
Mata Bama memanas. Bibirnya ia gigit keras-keras.
'Tama kah yang ada di dalam sini?' Ia bertanya pada dirinya sendiri.
"Taburin bunganya, Bam." Ucap mamanya.
Dengan tangan bergetar, ia menggenggam bunga yang ada di keranjang miliknya, ia taburkan pelan sampai akhirnya ia tergugu. Telapak tangannya ia letakkan di atas rumput pusara Tama, kepalanya ia tundukkan dalam-dalam hingga bersentuhan dengan pusara Tama. Tangisnya pecah begitu saja.
Mamanya mengelus tengkuk Bama. Beliau tidak menangis lagi karena ia sudah ikhlas, ia harus kuat untuk Bama, setidaknya hari ini.
"Tam, sorry kalo lo muak dengernya, tapi gue kangen." Ucapnya sambil meremat rumput dan bunga yang masih ada di tangannya. "Gue coba membiasakan diri tanpa lo, tapi gue gabisa." Ia menggeleng lemah, lalu mengangkat kepalanya dan bersandar di pundak mamanya. Mamanya merengkuh pundak Bama yang masih terus tergugu. Bama tidak tau akan semenyakitkan ini berhadapan langsung dengan Tama, melihat kuburannya, melihat nisan dengan ukiran nama saudara kembarnya, kenyataan bahwa mama papanya yang masih sering kemari, Bama merasa dadanya kembali ditusuk, nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turning Pages
FanfictionSetiap hari aku selalu memastikan halaman-halaman dalam kehidupanku dipenuhi dengan pelangi, matahari, langit biru, bunga bermekaran, seperti taman bunga. Aku benar-benar menikmati hidupku. Saudara yang baik, mama papa yang menyayangi kami berdua, t...