05

134 24 4
                                    


Setelah mempertimbangkan berbagai hal termasuk kesehatan mental Bama yang terpenting, pihak rumah sakit dan orang tua Bama setuju untuk Bama menjalani rawat jalan di rumah. Kakinya melangkah pelan-pelan menuju teras rumah.

"Sini sayang tasnya biar mama bawain." Mama Bama mengambil alih tas tenteng yang isinya baju Bama dan kotak handphone baru yang tadi pagi baru saja dibeli papanya.

Bama senang bisa pulang. Ia benar-benar rindu kamarnya, ruangan tengah, dan... keributan rumahnya. Keributannya bersama Tama meski sebenarnya Bama yang cari ribut. Hal yang paling ia rindukan tidak akan terjadi lagi di dunianya.

Ia mencium bau khas rumahnya ketika pintu berhasil dibuka oleh mama. Matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Kosong. Rasanya sepi sekali. Tangannya bergetar sambil mengusap dadanya, memberikan ketegaran pada dirinya.

Tahan Bam.

"Aku capek ma. Mau istirahat ya." Bama meraih kembali tas jinjing di tangan mamanya.

"Sebentar, ini baju kotor kamu mama keluarin dulu." Setelah itu mamanya menyerahkan tas jinjing yang hanta tersisa kotak HP-nya. Bama melangkahkan kaki menaiki anak tangga satu demi satu, menampakkan kamarnya yang tepat di depan tangga, naik lagi hingga berada di puncak tangga menuju kamarnya. Bama refleks menoleh ke kanan, pintu kamar Tama. Ia berjalan pelan menuju pintu berwarna coklat tua dengan hiasan gantung bertulis 'Naratama'. Ia menekan engsel pintu, mencoba memasuki kamar itu. Tapi terkunci.

Mama pasti yang ngunci. Batinnya.

Jadi ia berbalik menuju kamarnya. Kamarnya rapih. Seingat dia, terakhir sebelum berangkat seminar kemeja-kemeja dan kaos masih berserakan di atas kasur. Kalau begitu mamanya pasti langsung marah-marah "kamu nggak ngehargai mama ya seterika susah-susah, malah diginiin bajunya!" Kalo udah gitu, Tama suka nyeletuk. "Sabar mah." Yang biasanya Bama acungkan jempol terang-terangan di depan mamanya dan Tama. Membuat mamanya semakin gemas.

Tama lagi...

Ia ambil HP-nya yang masih belum terisi apa-apa. Satu persatu applikasi mulai ia pasang dan ia singkronkan. Benar saja, saat Bama berhasil mensingkronkan HP nya, beratus-ratus pesan whatsapp masuk membuat bunyi berisik dan getar di HP barunya. Ada pesan dari grup chat kelasnya yang masih terus tersingkron, membicarakan tugas-tugas dan bergurau, pesan chat dari perpustakaan terkait pengembalian buku yang sudah terlambat satu minggu, pesan dari mantannya yang tanpa ia buka pun Bama tau, mantannya sedang menyampaikan belasungkawa.

'Yang tabah Bam'

Ia meremat HPnya.

Lalu berpuluh-puluh personal chat dari teman-teman dan beberapa nomor yang tidak ia simpan sehingga tak bernama itu juga menunjukkan chat yang sama.

'Yang kuat Bama'
'Bam, turut berduka soal Tama'
'Tama orang baik, semua sayang Tama'
'Turut berduka cita Bam'
'Innalillahi, turut berduka cita ya Bam'
'Nggak nyangka, Tama..'
'Turut berduka buat Tama. Lo cepet sembuh ya'
'Halo Bama, ini temennya Tama. Turut berduka ya..'

Kepalanya ia tekan keras-keras dengan kedua tangannya. Kepalanya pening dan telinganya berdengung.

"Bangsat." Bama menutup telinganya. "Asu Tam. Anjing lo Tam." Kepalanya semakin ia himpit dengan kedua tangannya. Telinganya masih berdering lama. Matanya ia pejamkan erat-erat hingga air matanya merembes dari kelopak matanya.

Tahan Bam
Tahan, lo gak boleh gini. Inget mama papa, temen-temen, inget semuanya.

Ia ulang kalimat itu berkali-kali dalam kepalanya. Sepuluh menit berlalu ia mencoba mengatur nafas dan melepas himpitan tangan pada kepalanya. Wajahnya merah disertai titik-titik keringat mulai muncul memenuhi dahinya. Bama menarik nafas panjang sekali lagi. Membiarkan air matanya mengalir deras tanpa emosi berlebihan. Hari ini air mata itu keluar untuk semua kekosongan yang akan mengisi hari-harinya kedepan, tanpa Tama. Tanpa menyesali dirinya dan keadaan. Bama memeluk dirinya sendiri, menekuk lutut, dan merengkuhnya kuat-kuat.

Turning PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang