"Oy, Bam." Batara masuk dan menyapa Bama yang masih duduk di sofa rumahnya dengan wajah sembab. "Makan dulu ya."Haikal membawa empat kresek berisi makanan. "Belom makan siang kan lo? Nih kita berdua bawain ayam kremes. Ambilin piring dong Bat."
Mereka duduk di lantai lalu menyantap makan siangnya bersama-sama. Bama masih diam saja sambil sedikit demi sedikit menelan makanannya.
"Lo mau nambah kremesnya nggak?" Haikal yang sudah paham tipikal Bama yang selalu minta dobel porsi kremes itu menawarkan kremes ayam miliknya. "Gue minta porsi dobel kremes tapi katanya tinggal dikit, jadi gak boleh"
"Nggak usah Kal. Makasih." Ucapnya sambil menggeleng. "Sorry ya..."
"Apaan anjing sorry sorry." Haikal ngegas.
"Gue ngerepot-,"
"Nggak ada kayak gitu." Batara langsung memotong kalimat Bama. "Lo sama sekali gak bikin gue repot, bikin kita repot. Gak sama sekali."
"Jangan gitu dong Bam. Gue gasuka kalo lo ngerasa jadi beban gitu." Faris menyenggol bahu Bama dengan bahunya. "Lo kan temen gue jadi gue mau ada buat lo karena sebelum-sebelumnya juga lo selalu ada buat gue." Lanjut Faris. "Contohnya kalo nyokap bokap gue telat transfer duit makan atau duit kosan, lo selalu bantu gue. Lo talangin dulu, lo traktir gue makan, lo ajak gue ke rumah lo buat makan. Ya sekarang waktunya gue yang ada buat lo karena lo lagi butuh sesuatu." Lanjutnya lagi sambil mengaduk sambalnya. "Lo lagi butuh kita."
Bama malah terisak.
"Gue berusaha..." ucapannya tersenggal-senggal. "Gue berusaha buat mencoba baik-baik aja." Matanya ia tutupi dengan tangan kirinya yang bersih. "Baik-baik aja dan mau coba nerima..." ia menarik nafas panjang. "Kalo- kalo Tama udah nggak ada." Isakan panjang mengakhiri kalimatnya.
"Iya gue tau. Jangan berusaha baik-baik aja Bam. Lo pendem sendirian dong kalo gitu? Itu yang bikin hati lo makin sakit, kepala lo makin sesek, perasaan lo makin gaenak, gak nyaman. Lo nggak baik-baik aja juga nggak papa. Lo jujur sama perasaan lo kalo lo lagi kenapa-napa." Batara merangkul pundak Bama.
"Nggak ada yang baik-baik aja ditinggal sodaranya." Haikal menambahi, ikut merengkuh bahu Bama yang semakin terisak, pundaknya naik turun.
"Lo bisa cerita ke mama lo, papa lo. Kalo lo malu atau lo nggak pingin cerita ke mereka, lo punya gue, lo punya Faris, lo punya Haikal." Lanjut Batara. "Oke?"
Bama mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang basah dengan tangan kirinya.
"Udah ya. Masih ada yang ngganjel?" Tanya Haikal sambil memberikan segelas air putih kepada Bama.
"Nggak ada. Udah lega dikit." Balasnya disertai hembusan nafas pelan dan sedikit senyum di wajahnya.
"Kalo ada apa-apa telpon gue." Faris menambahi sambil menyantap makanannya.
"Siap."
"Mama?" Bama mendapati mamanya yang sedang tertidur di sampingnya, di kamarnya. Ya, setelah makan siang dan meminum obatnya, Bama diantar ketiga sahabatnya ke kamar untuk tidur siang. Mereka menemani Bama hingga mamanya datang. Batara yang memberi kabar. Haikal juga menceritakan yang terjadi di kampus, Faris juga menceritakan yang terjadi di rumah ketika menemukan Bama berteriak histeris. "Mama di sini?" Ia menjauhkan wajahnya untuk melihat mamanya lebih jelas. Mamanya terkejut ketika satu tangannya yang memeluk anak semata wayangnya itu disingkirkan sedikit olehnya.
"Nak?" Mamanya itu langsung duduk. "Bama nggak papa?" Beliau mengelus rambut Bama yang menutupi dahi dan matanya.
Bama mengangguk.
"Maafin Bama ya ma."
"Nggak papa sayang." Mamanya menangis lalu memeluk Bama lagi lama sekali sambil mencium rambut anaknya. "Maafin mama, mama lupa bilang kalo harus ambil surat rawat jalan kamu di rumah sakit. Terus mama sama papa ke tempat asuransi mobil. Mama lupa kalo Bama pulangnya siang."
"Nggak papa ma." Ucapnya menenangkan mamanya.
"Bama masih mual? Perutnya masih sakit?"
"Enggak kok ma, sudah gak sakit." Ia menggeleng sambil tersenyum. "Papa mana?"
"Papa masih di kantor. Habis ini pulang." Mamanya melihat jam dinding di kamar Bama yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Oke ma. Bama mau mandi dulu ya."
"Iya. Mama ke bawah ya, mau siapin makan buat papa. Kamu kalo laper makan lagi juga nggak papa." Mamanya beranjak turun dari kasur.
Bama memandang halaman belakang rumah dari jendela kamarnya. Hari sudah sangat gelap dan bulan bersinar amat terang hingga membuat pantulan pada jendelanya. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Setelah menyicil tugas-tugas yang tertinggal, meminum obat, tertidur sejenak hingga alarm yang sengaja ia setting pukul 10.30 itu berbunyi.
Ia menatap nanar pantulan wajahnya di jendela. Wajahnya semakin tirus, rambutnya panjang dan berantakan. Warna pucat pada bibirnya tidak berubah sejak hari pertama dari rumah sakit.
"Stop lah Bam." Ia menghembuskan nafas berat. "Buat apa lo bangun malem-malem cuman buat mikirin hal yang makin nyiksa lo." Ucapnya pada diri sendiri. Bama pun beranjak dari kursi belajarnya dan membuka pintu kamarnya. Menuruni tangga, pergi ke dapur untuk mengambil sekotak susu coklat yang selalu disediakan mama papanya. Satu kardus untuk Bama sendiri.
"Aneh lo gak suka susu." Bama mencemooh Tama yang sedang meneguk minuman bersoda malam-malam ketika mereka baru saja selesai mengerjakan tugasnya masing-masing.
"Eneg." Ia menggeleng sambil bergidik. "Lo yang aneh, tiap hari susu susu susu susu terus. Bocil."
"Njing." Bama mendorong botol minuman bersoda yang sedang diteguk Tama, membuatnya tersedak.
"ANJING TAM SORRY! SUMPAH GAK BERMAKSUD!" Bama menepuk-nepuk bahu Tama yang masih tersedak.
"Sakit bangsat." Ucapnya sambil terbatuk dan setengah tertawa.
"Sumpah sorry sorry sorry sorry." Bama mengambilkan segelas air putih dan memberikannya pada Tama.
"Gimana kalo gue mati, su." Umpatnya.
Bama tertawa. "Mati kesedak soda."
"Ketawa lo. Ntar gue beneran mati, nangis lo." Tama balik tertawa sambil mengusap soda yang masih membanjiri meja makan.
Bama tersenyum tipis. "Setengah gila gue, gak cuman nangis."
Tidak bisa dipercaya kalau terkadang yang ku tulis adalah sebuah kenyataan
--
Malem semwanya💕💕💕
Selamat hari minggu dan mau ngingetin kalo besok senin🤩Hv a great minggu ea
Don't forget vote and comments
-Alfa

KAMU SEDANG MEMBACA
Turning Pages
FanfictionSetiap hari aku selalu memastikan halaman-halaman dalam kehidupanku dipenuhi dengan pelangi, matahari, langit biru, bunga bermekaran, seperti taman bunga. Aku benar-benar menikmati hidupku. Saudara yang baik, mama papa yang menyayangi kami berdua, t...