02

231 29 4
                                    


Bama menggerakkan kepalanya ketika nyeri hebat datang, ia baru saja tersadar. Penciumannya menangkap beberapa bau obat menyengat tidak enak. Matanya ia buka perlahan dan mendapati mamanya sedang duduk tertidur dengan menggenggam tangan kanannya, papanya di samping kirinya juga tertidur.

"Mah..." Bama berusaha mengeluarkan suaranya. Tapi hanya angin yang bisa keluar dari tenggorokannya.

"Mama." Tangannya ia gerakkan sedikit.

"Bama? Bama sayang." Mamanya langsung bangun dan memeluk erat anaknya. Menciumi pipi, mata, dan luka perban di dahi yang dibebat kencang hingga kepalanya berdenyut.
"Pa.." mamanya itu menggoyang-goyangkan badan papanya. "Panggil dokter pa."

Bama diperiksa beberapa menit oleh dokter dan perawat. Bama pasrah saja, lagipula badannya terasa sakit semua jika digerakkan.

"Aku kenapa ma?"

Mamanya tidak menjawab. Ia membuka plastik wrap yang menutupi mangkuk berisi sayur.

"Pa, Tama mana pa?

Papanya mengusap puncak kepala Bama dengan lembut, menatapnya dengan tatapan iba.

"Aku habis kecelakaan kan ma? Pa? Tama mana? Udah sembuh?"

Tidak ada yang menjawab.

"Suruh Tama ke sini dong ma, pa. Mau minta maaf, soalnya Bama yang suruh Tama nyetir, padahal Tama masih gaenak badan." Katanya sambil menggoyangkan tangan papanya.

"Ma? Mama kok nangis? Maafin Bama ya ma. Mama pasti khawatir. Pa, maafin Bama ya pa, Tama gapapa kan tapi?"

Mamanya mengusap air mata di ujung matanya. Bama baru sadar, mata mamanya bengkak sekali. Apakah habis menangis lama? Kenapa? Apakah dirinya membuat mama dan papanya ini khawatir terlalu berlebih?

"Sekarang aja ma, Tama suruh jenguk Bama. Nggak mungkin lagi kuliah kan ma?"

Mamanya mengaduk sayur yang baru saja ia campur dengan nasi. Menyuapkan se sendok ke mulut Bama.

"Pa? Ya pa? Tama suruh ke sini dong. Bama mau minta maaf." Bama menjauhkan dirinya ketika sendok mulai mendekat pada mulutnya.

Papanya menunduk lama sambil mengusap lembut punggung tangan Bama.

"Bam." Suara papanya bergetar. "Tama sudah nggak ada." Lanjutnya.

"Nggak ada? M-maksudnya?" Dahinya berkerut.

Mamanya kembali terisak. Kembali meletakkan mangkuk di atas nakas lalu menutup mulutnya, menahan suara tangis yang tidak ingin pecah di hadapan anaknya.

"Maksudnya apa ma? Ma, papa ngomong apa?" Bama menggoyang-goyangkan pundak mamanya. "Maksudnya Tama nggak ada apa pa?" Kepalanya pening sekali saat ini. "JAWAB PA!! APA MAKSUDNYA TAMA UDAH NGGAK ADA?!!"

Mamanya memeluk Bama erat sambil mengusap-usap bahunya pelan.

"Tama meninggal sehari setelah kecelakaan."

Dada Bama serasa dipukul keras. Darahnya dari kepala terasa meluncur ke bawah. Pening di kepalanya semakin menjadi-jadi. Perban di kepalanya serasa dibebat lebih erat hingga mati rasa.

"Kamu yang sabar sayang." Mamanya memeluk Bama lebih erat lagi.

"NGGAK! NGGAK MUNGKIN!!!" Bama meronta-ronta. "TAMA! NGGAK MUNGKIN LO SELEMAH ITU TAM! NGGAK MUNGKIN LO MATI!" Ia melepas pelukan mamanya kasar. "NGGAK MUNGKIN LO NINGGALIN GUE SENDIRIAN!" Papanya balik menahan Bama.

"Bama. Bama nggak boleh gini." Papanya merengkuh Bama. Tapi kekuatan emosi Bama yang besar, rengkuhan papanya itu ia lepas dalam sekali hentak.

"TAMA ANJENG LO!" Infusnya ia tarik kasar hingga darah dari tangannya memuncrat.

Turning PagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang