"Bagaimana tiga hari ini Bama?" Dokter Daniel melipat tangannya di atas meja."Baik dok." Bama mengangguk. Setelah pulang kampus, malamnya ia ada sesi konsultasi dengan Dokter Daniel. Bama menceritakan bahwa awalnya sangat berat untuk menghirup kembali aroma rumahnya, kamarnya, tapi ia bilang sudah mulai terbiasa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bama juga menceritakan kecemasannya saat awal kembali masuk kuliah.
"Kecemasan adalah rasa khawatir yang berlebih. Kekhawatiran anda tentang teman-teman anda itu yang membuat diri anda cemas. Tapi apakah hal buruk yang dipikirkan terjadi? Tidak kan?"
Bama mengangguk. Ia juga mulai berinteraksi, membuka diri untuk bercerita kepada teman dekatnya. Dokter Daniel itu awalan yang bagus. Dengan begitu Bama tidak menyimpan perasaannya sendiri.
"Yang diceritakan jangan selalu hal-hal sakit yang mengganggu. Hal-hal bahagia juga bisa diceritakan."
Di akhir konsultasi Bama hanya banyak mendengarkan dan mengangguk. Dokter Daniel lebih banyak bercerita dan memberi nasihat. Ia juga disuruh menghabiskan obatnya dan kembali menemui Dokter Daniel pada hari senin.
"Terima kasih dok."
Bama meninggalkan ruang konsultasi dengan Dokter Daniel dan mendapati mama papanya sedang duduk di ruang tunggu. Mereka bersiap untuk check up luka fisik Bama, mulai dari kepala, tulang rusuk, dan kakinya. Bersyukur sekali kepalanya sudah tidak berasa sakit, jadi hasil rongtennya juga baik, begitu juga pada rongten kakinya. Tulang rusuknya masih harus menjalani beberapa perawatan karena luka serius ada di sana. Tulangnya belum cukup pulih dan mungkin akan kembali normal dalam dua bulan sampai tiga bulan ke depan. Tapi tidak ada yang harus dikhawatirkan. Mama papanya menghela nafas lega. Mamanya mengecup puncak kepala Bama berkali-kali setelah dokter memberikan resep obat baru dan vitamin tulang yang akan ditukarkan di farmasi setelah selesai check up.
"Dadanya masih suka sakit tapi?" Tanya papanya di kursi tunggu, mamanya sedang mengambil obat di loket farmasi.
"Dikit. Sakit kalo Bama capek aja pa, tapi nggak yang sakit banget." Bama menggeleng.
"Kok nggak pernah bilang mama papa?"
"Soalnya sakitnya sama sih kayak pas masih di rumah sakit. Jadi, Bama kira nggak papa nggak usah bilang. Kenapa pa?"
"Nggak papa. Bilang aja kalo sakit Bam, biar mama papa tau." Papanya khawatir.
"Iya pa." Bama murung. Ia jadi ingat kalau papanya ini jarang menunjukkan rasa khawatir pada kedua anaknya kalau tidak bertanya ke istrinya dulu.
"Papa takut kalo Bama sakit lagi." Lanjut papanya membuat Bama sedikit mencelos. "Papa nggak mau kehilangan lagi."
Bama terdiam lama, menunduk, memainkan jarinya. Benar, Papa selalu terlihat semua baik-baik saja untuk kedua orang yang sedang ada di rumah yang sama-sama memiliki perasaan sakit yang mendalam.
"Iya pa. Bama bakal jaga diri. Papa sama mama gak usah khawatir."
"Gimana nih bangsat." Faris mengumpat. Bama dan Haikal yang baru datang menyelesaikan kelasnya siang ini bingung.
"Kenapa lo?" Tanya Haikal.
"Gue bangun kesiangan. Lupa nggak kelas anjir, praktik. Gimana nilai gue." Faris mengusap wajahnya kasar. "Gue lupa set alarm."
"Lo udah coba bilang dosennya?" Bama mencoba mencarikan jalan keluar.
"Belom, gue takut." Wajah Faris tertekuk, suram. "Soalnya dosennya galak anjir, gue takut."
"Coba dulu chat atau datengin ke kantor, Ris." Tambah Batara. "Coba jelasin alasan lo kenapa lo sampe kesiangan, lupa set alarm."
Haikal dan Bama saling pandang. "Emangnya lo kenapa sampe kesiangan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Turning Pages
Fiksi PenggemarSetiap hari aku selalu memastikan halaman-halaman dalam kehidupanku dipenuhi dengan pelangi, matahari, langit biru, bunga bermekaran, seperti taman bunga. Aku benar-benar menikmati hidupku. Saudara yang baik, mama papa yang menyayangi kami berdua, t...