"Saya selalu melihat bayangan Tama dengan jelas, dok. Sampai sangat jelasnya benar-benar terlihat hidup, benar-benar Tama. Terkadang ia juga mencoba mendekat, tapi berakhir menghilang ketika saya semakin menyadari keberaannya. Suaranya juga masih sama. Beberapa kali Tama menjawab pertanyaan atau mengajak saya berbicara. Beberapa kali juga saya ingin sekali menyadari bahwa kejadian buruk ini adalah mimpi buruk saya dan saya berharap segera terbangun." Bama memainkan kuku tangannya. Tidak menatap dokter Daniel yang menatapnya lekat-lekat. Ia tidak suka dikasihani, terlebih sekarang.
"Saya paham saya masih belum bisa menerima kepergian Tama. Mungkin sudah berkali-kali saya bilang kalau saya juga tidak mau melupakan Tama karena memang saya tidak ingin melupakan saudara saya." Suaranya perlahan bergetar.
Ruang kamar lengang sebentar.
"Karena anda masih merindukan Tama, jadi seakan-akan Tama ada di sini. Karena anda masih memikirkan Tama, jadi seakan-akan Tama datang. Hal tersebut biasa terjadi, Bama, apalagi ketika kasusnya seperti ini. Itu sangat wajar." Dokter Daniel berbicara.
Bama mengangguk pelan.
"Kepergian memang yang paling pedih, Bama. Saya juga pernah mengalaminya, jadi kalau anda berkata saya tidak paham posisi anda, anda salah. Merelakan memang pedih, mengikhlaskan memang menyakitkan, tapi saya harap semua yang terjadi ini tidak membuat diri anda menyesali semuanya."
Bama mengangguk lagi. Kini bulir air matanya turun mengenai pipi. Pundaknya tergugu pelan.
"Anda mengalami trauma berat atas meninggalnya saudara anda. Hal ini bisa disebut sebagai post-traumatic stress disorder yang dapat dipicu salah satunya kehilangan orang terkasih, kasusnya di sini adalah Tama. Pada dasarnya hal ini timbul dari kecemasan yang menyebabkan trauma diri pada suatu peristiwa sehingga muncul pikiran negatif, trauma, dan emosi tidak stabil. Jadi, untuk saat ini saya akan meresepkan antidepresian, diminum teratur sekali sehari pada malam hari dalam kurun 14 hari. Jangan beraktivitas berat setelah minum obatnya karena menyebabkan kantuk. Setelah 14 hari, kita bertemu lagi. Tapi dalam 14 hari itu kita punya waktu 4 kali untuk bertemu, saya akan memantau perkembangan anda."
Bama mengangguk. Mengingat-ingat dosis pakai obatnya.
"Perbanyak komunikasi dengan orang terdekat Bama. Mama papa kamu dan teman-teman kamu."
Bama mengangguk.
"Saya permisi, selamat beristirahat."
"Terima kasih dok."
Bama kembali merebahkan kepalanya setelah dokter Daniel keluar dari ruangan. Hari sudah mulai gelap, hordeng putih kamarnya masih tersinari cahaya oren tua, sebentar lagi malam datang.
"Kepalanya masih sakit sayang?" Suara mamanya menyadarkan Bama dari lamunan.
"Sudah enggak ma." Tadi sebelum dokter Daniel datang kepalanya sempat sedikit berat, namun rupanya saat ini sudah tidak lagi. "Bama kapan boleh pulang ma? Bosen."
"Nanti dulu ya. Tunggu dadanya sembuh dulu, masih rawan kalo nggak sering-sering dipantau itu tulang rusuknya Bama." Ucap mamanya sambil duduk di kursi samping ranjang Bama, mengusap rambut anaknya yang sedikir berantakan.
"Rawat jalan aja dong ma. Bama janji nggak bakal kemana-mana, bakal di rumah aja. Bama beneran bosen banget di sini. Bama kangen rumah."
"Sabar dulu nak."
Bama hanya bisa melenguh sambil memajukan bibirnya. Lalu ia teringat ucapan dokter Daniel.
"Mah.."
"Iya?"
"Boleh pinjem HP-nya? Mau kabarin Haikal, Bama kangen."
"Haikal kayaknya ganti nomer. Soalnya mama WA centang satu terus. Kalo Batara mama punya, mau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Turning Pages
FanfictionSetiap hari aku selalu memastikan halaman-halaman dalam kehidupanku dipenuhi dengan pelangi, matahari, langit biru, bunga bermekaran, seperti taman bunga. Aku benar-benar menikmati hidupku. Saudara yang baik, mama papa yang menyayangi kami berdua, t...