Bama membuka pintu rumahnya dengan kencang. Mamanya yang sedang melipat baju di ruang depan terkejut."Bam." Haikal menyusul.
"Ada apa ini?" Mama Bama hendak menarik lengan anaknya tapi ditepis pelan olehnya. Bama langsung pergi ke kamarnya. "Haikal, ada apa ini?"
Haikal menceritakan apa yang baru saja terjadi di kantin tentang Raka yang hendak berbicara pada Bama mengenai Gita. Haikal juga tidak tahu pasti siapa itu Gita. Yang ia tau Raka menyebut 'ceweknya Tama' berarti merujuk pada Gita adalah pacar Tama. Mama Bama terkejut. Ia langsung menyusul Bama yang sudah mendebamkan pintu kamarnya. Haikal mengekori di belakangnya.
"Bama, nak buka pintunya." Wanita itu mengetuk-ngetuk pintu kamar anaknya. Di dalam terdengar isakan dan teriakan dari anaknya, disusul dengan suara barang-barang yang dibanting. "Bama! Sayang buka pintunya nak!" Mamanya semakin khawatir.
"Bam, plis." Haikal menekan engsel pintu Bama yang dikunci rapat itu. "Bam jangan kayak gini Bam."
"Gue benci! Gue benci gue!" Jeritnya.
"Ada apa ini ma?" Papanya datang, masih dengan sepatu terpasang sempurna di kakinya.
"Bama pa. Tolong dobrakin pintunya pa. Mama takut Bama ngapa-ngapain. Kuncinya nggantung, jadi nggak bisa dibuka pake kunci cadangan, pa." Mamanya itu sudah bergetar histeris.
Papanya itu mengusap wajah dengan kasar. Kemudian turun menuju garasi dan kembali dengan linggis di tangannya. Dalam lima menit, engsel pintu Bama sudah rusak dan pintunya sudah terbuka. Bama memeluk dirinya sendiri di pojok kamarnya. Semua barangnya berserakan, foto-foto yang tergantung di dinding (tidak ada foto Tama tentunya, sudah disimpan oleh mamanya) juga pecah. Pecahan kacanya berserakan dimana-mana. Terdapat bercak darah dan cap kaki berdarah yang diduga adalah kaki Bama menginjak pecahan kaca tersebut.
"Biar papa yang bicara sama Bama ma. Haikal, tolong ambilin air putih ya." Haikal mengangguk mantap dan segera turun ke dapur untuk mengambil dua gelas air putih, satu untuk Bama, satu untuk mamanya Bama.
Papanya melangkah pelan, menghindari barang-barang yang berserakan di lantai. Menyingkirkannya dengan kaki dan meletakkan beberapa buku dan alat tulis di atas meja.
"Bama." Panggil papanya. Sesenggukan anaknya semakin menjadi-jadi. "Bama kenapa nak?" Papanya berhasil menariknya ke dalam pelukan. "Bama ada apa? Cerita sama papa.
Bama menekan wajahnya pada pundak papanya. Bahunya naik turun. Keringat dan air mata menjadi satu di wajahnya.
"Ada masalah apa? Ada masalah sama Haikal?"
Bama menggeleng. Ia terdiam lama lalu mulai bersuara.
"Kasian Tama pa..." Ucapnya tergugu. "Harusnya nggak kayak gini." Lanjutnya lagi. "Harusnya nggak berakhir kayak gini pa, semua gara-gara Bama." Ia menggeleng kuat dalam pelukan papanya.
"Apa yang nggak berakhir kayak gini? Bama yang nggak boleh kayak gini." Balas Papanya.
"Pa, mama aja." Mamanya datang.
Kemudian papanya itu mengangkat tubuh Bama yang ringan sekali ke kasur. Membiarkannya berbicara dengan mamanya ditemani Haikal. Papanya juga setia di sana.
"Minum dulu Bam." Haikal menyodorkan segelas air putih pada Bama. Bama menatap Haikal sebentar sebelum meneguk air putihnya.
"Tarik nafas nak." Mamanya mengusap-usap dada Bama. Bama mengikuti perintah mamanya. Namun bersamaan dengan itu air mata yang ada di pelupuk matanya jatuh perlahan. Kembali membasahi pipinya yang sudah lengket dengan keringat.
"Lo lebih nyaman gue tinggal?" Haikal hendak berpamitan untuk memberikan privasi pasa Bama dan kedua orang tuanya. Tapi Bama menggeleng.
"Lo jangan pergi Kal." Ucapnya pelan. "Di sini aja." Lanjutnya. Haikal mengangguk dan kembali duduk di samping Bama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Turning Pages
FanficSetiap hari aku selalu memastikan halaman-halaman dalam kehidupanku dipenuhi dengan pelangi, matahari, langit biru, bunga bermekaran, seperti taman bunga. Aku benar-benar menikmati hidupku. Saudara yang baik, mama papa yang menyayangi kami berdua, t...