Dikara Cinta

12 1 0
                                    


Tiga tahun berlalu sejak aku mulai tinggal bersamanya, di rumah sederhana yang terletak di pinggir kota. Dia tak pernah menuntut apapun padaku, dia juga tak pernah memarahiku ataupun bertanya padaku jika aku pulang larut malam, tapi setiap aku pulang dia selalu tertidur di sofa dengan televisi menyala. Seakan dia menungguku pulang, seperti sekarang. Ah, aku jadi merasa bersalah dibuatnya.

"Bu, ibu bangun..." aku tepuk bahunya pelan. Ibu yang sedang tertidur perlahan mengejapkan matanya. "Kamu sudah pulang, nak?" ucapnya setengah sadar. "Iya, baru saja, bu. Ibu tidurnya pinda ke kamar ya, jangan di sini nanti badan ibu bisa sakit" ucapku pelan.

Dengan wajah setengah mengantuk ibu mulai bangkit dari posisinya. Hening. Nyatanya ibu tak langsung pergi. Sesaat dia terdiam, berdiri di hadapanku seraya menggenggam tanganku. Saat itu aku menyadari sesuatu, tangan ibu terasa kasar. Wanita ini, dia sudah bekerja terlalu keras untukku.

"Kau terlihat lelah, kau pasti sibuk di kampus, kan. Hari ini tidur dikamar ibu saja, ya" entah sejak kapan kalimat itu mejadi alasan bagi ibu untuk bisa tidur bersamaku, padahal kamar kami hanya berbeda satu laintai saja. Meski begitu aku tak bisa menolaknya.

Andai saja dia tahu jika aku tak bisa menentangnya dalam hal apapun. Andai saja dia tahu jika diri ini rela melakukan apapun yang ia mau. Andai saja dia tahu itu.

Selama berjalan menuju kamar aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Rasanya seperti mimpi mengetahui bahwa wanita di hadapanku ini adalah ibuku.

Aku selalu berpikir kenapa Tuhan begitu baik kepadaku? 

Pertemuanku dengannya adalah salah satu hal yang sangat aku syukuri, dan aku tak pernah menyesali itu. Meskipun dia bukan sosok ibu yang melahirkanku tapi dia adalah sosok ibu yang aku mau. 

Karenanya aku yang dulu terjebak diantara hitam-putihnya dunia akhirnya menemukan secercah cahaya. Cahaya yang menuntunku pulang menuju 'rumah'.

Ibu... jika saja kau tahu bahwa anak yang jarang menangis ini, bahkan anak yang tak menangis di pemakaman orangtuanya ini bisa menangis hanya dengan melihatmu. Jika saja kau tahu bahwa dirimulah kelemahanku.

Tuhan... bolehkah aku menjadi egois untuk kali ini saja. Aku benar-benar tak ingin kehilangannya.

'Aku mencintainmu. Sungguh, aku mencintaimu... ibu.'

The End.

-

Dalama proses pembuatannya saya terinspirasi dari hubungan harmonis antara sosok ibu dan anak angkatnya. Namun nilai minusnya mungkin dalam cerita ini saya tak terlalu menceritakan hubungan sang anak dengan orang tua kandungnya (mungkin itu akan saya bahas di cerita lain).

Dan Alasan saya mengambil judul "dikara cinta" karena dikara memiliki arti Indah ; mulia. Melalui kata itu saya hanya ingin menyampaikan bahwa hubungan Cinta antara orantua dan anak adalah hal yang indah dan mulia. Dan soal ikatan yang erat tak harus ada sebab hubungan darah.

Labirin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang