Mereka bilang, dengan mendapatkan teman akan membuatmu merasa senang. Mereka bilang, dengan menjalin pertemanan membuatmu tidak akan merasa kesepian.
Namun, kenapa yang ku dapat tak seperti apa yang mereka bilang?!
Kenapa yang ku dapat tak seperti apa yang mereka rasakan?!
Selama aku berteman dengannya, tak pernah sedikit pun aku merasakan kebahagiaan yang nyata dalam ikatan pertemanan.
Dia Nadia. Gadis cantik yang senang dipuji. Gadis pintar yang cukup terkenal dan memiliki banyak akal. Bagi mereka, dia itu sempurna. Sedangkan aku yang selalu berada di sisinya, hanya bisa bungkam dan meng-iya-kan setiap perkataannya. "Bodoh" pikirku. Mengingatnya saja membuatku malu pada diriku sendiri.
Semua bermula saat aku masih menganggapnya sebagai sahabat. Persahabatan kami sudah berjalan selama enam tahun. Cukup lama bukan? Mungkin karena dia adalah teman pertamaku dan temanku satu-satunya kala itu, menjadi alasanku menganggap dirinya sebagai sahabat. Alasan yang terlalu sederhana untuk sebuah gelar yang bermakna.
Hampir setiap hari aku tak pernah absen untuk mengunjungi rumahnya. Jika bukan aku yang ingin, maka dia akan memintaku untuk datang, menemaninya bermain di rumahnya seharian. aku yang tak keberatan pun mengabulkan permintaanya itu. Sampai suatu hari saat aku bermain di rumahnya, ia berkata padaku.
"Rani, aku punya satu keinginan" ucapnya kala itu. sekilas aku menatapnya "Keinginan apa?" Tanyaku padanya.
"Kamu jangan main sama orang lain ya. Cukup main sama aku aja" mendengar ucapannya membuatku terdiam. Aku menatapnya, meminta penjelasan lebih akan pernyataannya itu.
"Maksud kamu apa?" Tanyaku padanya. Ia menatapku lalu berkata "aku takut kamu pergi. Kamu tahu kan, aku gak punya temen selain kamu" jawabnya.
Dan lagi aku kembali terdiam. Ia masih menatapku, menunggu jawaban dariku. Bodohnya aku mengangguk. Itu adalah kesalahan pertamak, dan aku menyesali itu.
Beberapa minggu kemudian, aku mendengar kabar jika Nadia sedang sakit dan tidak diizinkan bermain oleh ibunya. Sejak saat itu aku lebih suka diam di rumah. Namun sepertinya hal itu membuat ibuku sedikit khawatir, beliau menyarankan aku untuk bermain dengan yang lain. Esok harinya seseorang datang ke rumahku, dia adalah Desti. Rumah kami berhadapan jadi aku sering melihatnya bermain bersama anak-anak yang lain.
Ia datang dengan masksud ingin mengajakku main bersama, dan dengan senang hati aku menerimanya. Ia memperkenalkanku kepada teman-temannya yang lain. Kami bermain di lapangan, memainkan permainan yang jarang aku dan Nadia lakukan, karena mungkin kami lebih sering bermain di dalam rumah dibandingkan di tempat terbuka seperti ini. Tentu saja rasanya sangat berbeda saat aku bermain dengan mereka. Terasa bebas dan aku merasa senang karenanya. Sampai hari menjelang sore kami pulang ke rumah.
Tak sengaja aku melewati rumah Nadia, dan sekilas aku melihatnya di balik jendela. Menatapku dengan tatapan tak suka. Itu pertama kalinya aku melihat Nadia menatapku seperti itu. Aku mencoba untuk mengabaikannya, dan terus berjalan menuju rumah.
Beberapa hari setelahnya, Nadia memintaku untuk menemaninya bermain di rumah sepulang sekolah. Aku hanya mengangguk. Sesuai janji aku datang ke rumahnya, saat itu ia sedang bermain dengan bonekanya. Aku dengan santai menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
"Sudah ku bilang bukan, jangan bermain dengan siapapun" ucapnya begitu datar. 'Apa dia marah?' pikirku. Aku masih terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
"Kamu pikir aku gak tahu selama aku sakit kamu main sama orang lain" ucapnya, kini suaranya sedikit meninggi. "Aku setiap hari liat kamu main sama mereka. Kemana janjimu itu." Ucapnya dengan emosi yang meluap.
Aku masih terdiam, ia menatapku dengan emosi meluap. Lalu aku berkata "Maaf" kata itu keluar dengan sendirinya dari mulutku. Dan itu, menjadi kesalahan keduaku.
Tak seperti biasanya, setelah pembicaraan itu aku lebih memilih untuk pulang dan tak terlalu memikirkan masalah yang baru saja terjadi.
Beberapa hari berlalu begitu saja. selama itu aku tak keluar rumah dan selama itu juga aku tak pernah menemuinya. Sampai akhirnya, aku keluar rumah hanya untuk sekedar pergi ke warung. Dan sialnya aku melewati rumah Nadia untuk sampai ke sana. Kenapa sial? Karena tepat saat aku melewati rumahnya, aku melihat Nadia sedang bermain bersama Desti dan yang lain di halaman rumahnya.
Dengan cepat aku melewati rumahnya, pergi ke warung sesuai rencana dan kembali melalui jalan memutar. "Jangan melewati rumahnya", rapalku selama perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah aku langsung bergegas ke kamar dan seketika tangisku pecah. Selama perjalan pulang aku selalu berpikir, 'siapa yang salah disini?' rasanya sakit mengetahui sikapnya seperti itu kepadaku, seakan hanya aku lah yang salah disini. Padahal waktu itu dia melarangku bermain dengan mereka, tapi sekarang... dia sendiri yang bermain dengan mereka.
Dia datang dengan sendirinya kedalam hidupku, menarikku pada dunianya dan membuatku terjebak di dalamnya. Di dalam labirin pertemanan yang ia ciptakan.
Apakah ada jalan keluar dari labirinnya?
Bagaimana caraku keluar?
Sikapnya itu menimbulkan trust issue pada diriku terhadap orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin Hati
Short Storykumpulan prosa yang menceritakan tentang komplikasi cinta yang tak biasa dan sudut pandang yang berbeda. . . [!!! Plagiat Dilarang Mendekat !!!]