Waring ⚠️
Emotional numbness, violence, suicide.-
Sejak kecil aku terbiasa diam. Membisu disaat yang lain membicarakan masa depanku. Menurut disaat yang lain sibuk menuntutku untuk melakukan semua yang mereka mau. Dan perlahan mereka menumpahkan ambisinya padaku.
Aku yang baru saja datang untuk makan malam bersama, langsung di sambut oleh seorang wanita parubaya yang sudah sampai lebih dulu di ruang makan. Wanita itu adalah ibuku.
"Duduk lah, sebentar lagi makanan siap" ucapnya.
Aku melihat ke arah dapur yang langsung terhubung ke ruang makan, terlihat bibi yang tengah memasak untuk kami disana. Namun, orang yang sebenarnya aku cari tak ada dimana pun. Kemana dia?
"Bu, kakak mana?" tanyaku,
Tak perlu waktu lama untuk menunggu makan malam siap, bibi dengan telaten menata makanan di atas meja.
"katanya hari ini dia ada tugas di kampus jadi akan pulang malam" jawab ibu dengan tangan yang sibuk menghidangkan makanan ke atas piringnya. dan aku hanya ber 'oh' ria setelah mendengar jawabannya.
Ibu menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya kepadaku, tanpa berkata aku langsung menerimanya.
"Dek sebentar lagi kamu lulus sekolah kan?..." ucapnya di tengah acara makan malam ini. aku yang mendengarnya sejenak terdiam dan kembali melanjutkan kegiatan makanku.
".... Setelah lulus SMA kau harus kuliah. Kalau perlu kuliah lah di luar negeri, dengan jurusan yang memiliki pekerjaan yang pasti. Setelah lulus kau harus kerja, kerja lah di perusahaan yang besar, yang hebat. Banggakan ibu dengan kesuksesan mu. Kau harus lebih sukses anakku". Ucapnya dengan bangga.
Dalam diam ku tatap dirinya. Apa hidupku harus selalu di atur oleh nya? Apa mimpiku harus selalu ia yang tentukan? Bisa kah aku memilih untuk istirahat saja? Sebentar saja. Aku lelah... Aku lelah dengan semua tuntutan yang ia berikan.
"Aku udah kenyang. Makasih makanannya, Bi..." dapat kulihat senyum bibi sebagai balasan tanda terima kasihku. Sebelum akhirnya pandanganku beralih kepada ibu.
"Bu, aku ke kamar duluan ya" ujarku setelah napsu makanku hilang begitu saja.
Setiap kali beliau membicarakan kesuksesan, aku selalu bingung. Kesuksesan seperti apa yang beliau maksud? Kesuksesan seperti apa yang beliau mau? Bahkan jika aku mengabulkannya, aku yakin... baginya itu belum cukup. Kenapa harus aku?! Kenapa harus aku yang menanggung kesuksesannya itu?!
-
Sejak kecil aku terbiasa menutup telinga, tuli dari hal-hal yang tak ingin aku dengar. Tuli dari hal hal yang membuat otakku berteriak meminta pertolongan. Jeritan, tangisan yang terdengar sampai gendang telinga ku ingin pecah. Aku tuli karenanya.
Malam itu pertama kalinya Liam membawa seorang wanita ke rumah dengan keadaan yang tak baik-baik saja. Penampilan yang berantakan serta bau alkohol yang menyeruak memenuhi ruangan membuat ibu yang melihat itu tercengang. Sedangkan aku hanya diam melihat aksi kakak yang tak biasa.
Aku sadar, kesabaran ada batasnya. Dia yang mulai gelisah kini berani menentang yang berkuasa. Menjadi pemberontak yang memperjuangkan takdir yang ingin ia genggam oleh tangannya sendiri.
"Dek, masuk ke kamar. Sekarang!" setelah mendengar titahnya aku langsung pergi menuju kamar.
Kamarku tak jauh dari ruang tamu, jadi meskipun aku masuk suara mereka pasti masih bisa ku dengar. Maka dari itu, aku memakai earphone dengan harapan agar keributan yang akan datang tak bisa aku rasakan.
"Liam, berani-beraninya kamu ngelakuin hal kaya gini di depan mamah?! Darimana kamu bawa jalang ini, hah?!" sentak ibu yang terkejut melihat kelakuan putra yang selalu ia bangga-banggakan.
Earphone tak guna. Karenanya aku masih bisa mendengar suara lantang ibu yang membentak kakak. Seketika hatiku mulai tak tenang, rasanya aku ingin berteriak juga, memperingati mereka agar berhenti saat aku bersuara. Namun sial, aku masih tak mampu tuk melakukannya.
"Liam, jawab ibu!" Bentaknya sekali lagi. "Apa sih bu, ganggu aja!" jawab kakak dengan keadaan yang tak karuan.
"Berani ya kamu sama ibu!" Tangannya mulai terangkat, melayangkan sebuah tamparan keras yang berhail mengenai pipi kanan kaka. Pasti sakit.
"Cukup!!" sentak kakak. Ini pertama kalinya aku melihat ibu yang murka, dan kakak yang membangkang.
"Aku gak peduli ibu mau bilang apa yang jelas aku capek, bu. Liam capek kalau harus nurutin semua keinginan ibu. Dan mungkin ini terakhir kalinya aku mengikuti keinginan ibu. Liam akan berhenti sampai disini, bu" ucapnya dengan yakin, seperti tak ada rasa penyesalan dalam dirinya. Setelahnya kakak pergi dengan wanita itu, dan sepertinya ia tak akan kembali lagi.
Hening....
Apa perangnya sudah selesai?
Tidak!
Setelah Liam pergi, ibu mulai memporak-porandakan rumah seperti orang tak waras. Sampai akhirnya setengah jam berlalu dan suasana kembali hening. Aku yang penasaran mulai membuka pintu kamar dan melihat keadaan. Sangat kacau. Banyak barang yang berserakan di lantai, terutama serpihan keramik yang mungkin saja bisa melukai ku sekarang.
Namun ibu tak ada disana. Kemana dia? Kucari dia ke seluruh ruangan, kemudian tepat saat aku membuka pintu kamar ibu aku jadi tahu....
Bagaimana mereka memilih garis hidup mereka sendiri. Kakak yang lelah pada sang ibu dan ibu yang lelah pada dunia.
-
Sejak saat itu aku mulai menutup mata. Buta akan hal-hal yang tidak ingin 'ku lihat, buta dengan hal-hal yang aku hadapi di depan mata. Pertengkaran, penganiayaan, pelecehan, bahkan pada kematian sekalipun. Karenanya aku hanyalah boneka tak berperasa.
Kala keheningan malam yang kelam setelah pertengkaran hebat menyelimuti rumah, saat itu pula aku melihat ibu yang diam menggantung dengan tali yang melilit lehernya kencang.
Karenanya aku sadar bahwa kematian kita, bisa kita yang tentukan. Namun Apa kematian yang seperti itu pun disebut dengan takdir Tuhan? Seperti... ia di takdirkan untuk membunuh dirinya sendiri, dan aku sebagai anak di takdirkan menyaksikan kematiannya.
Ku hampiri ibu yang sudah tak bernyawa. Tatapan kosong ku berikan pada jasadnya yang telah membiru; pucat. Tak ada rasa takut, tak ada rasa kalut. Aku pun tak merasa berduka, atau pun gembira. Yang ada hanya kehampaan tak berujung.
Jadi begini akhirnya? Jadi begini akhir dari takdir yang selalu 'kau rencanakan? Jadi begini akhir dari takdir yang selalu 'kau impikan? Apakah ini takdir yang 'kau inginkan? Menjadikan ini akhir dari segalanya.
Kau yang selalu tegar akhirnya menyerah juga. Dan dia yang lelah akhirnya menyerang juga. Dan aku... yang hanya sebuah boneka tak berperasa yang tak lagi memiliki tuan. Menatapmu tanpa perasaan.
-
Bersamanya aku mati. Karenanya aku bukanlah manusia lagi. Manusia mana yang tak memiliki perasaan? Manusia mana yang tak menangis di pemakaman ibunya sendiri? Bahkan hewan pun bersedih disaat keluarganya mati. Tapi aku...
"Kakak gak sedih ibu pergi?" ujarku, sebelum aku mengangkat gelas sloki yang aku mainkan sedari tadi. Ini pertama kalinya aku 'minum', namun tidak dengan kakak. Lihatlah dirinya, setengah botol dia habiskan dengan cepat. Aku jadi penasaran bagaimana dia menyembunyikan semua rahasianya dari ibu.
"Entah lah. Dibandingkan itu aku merasa bersalah padanya..." Ku tatap matanya, dan bisa kulihat ada setitik rasa bersalah disana.
"Kau sendiri, bagaimana perasaanmu setelah ibu pergi... ah ralat, bagaimana perasaanmu setelah melihat ibu gantung diri?" Tanya kakak menatapku dengan tajam.
Saat itu juga mata kami bertemu. Tak ada jawaban yang keluar dan hanya keheningan yang menyelimuti rumah yang kelam.
Bagiku 'tak ada yang waras di rumah ini. Kami membunuh diri kami sendiri. Kepercayaan ibu pada anaknya membuat dia terbunuh. Mimpi yang aku terima dari ibu pun, perlahan membunuhku. Dan untuk kakak, kelak kepintarannya akan membunuhnya. Itulah Karmanya.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin Hati
Short Storykumpulan prosa yang menceritakan tentang komplikasi cinta yang tak biasa dan sudut pandang yang berbeda. . . [!!! Plagiat Dilarang Mendekat !!!]