Malam semakin larut, kebisingan kota mulai mereda, namun di kamarnya dengan penerangan lampu yang temaram lelaki berkacamata itu belum bersedia untuk memejamkan matanya walau tubuhnya sudah cukup lelah telah bekerja dirumah sakit seharian. Mimpinya dua malam lalu membuat Azzam rasa penasaran menyelimuti nya sehingga membuat isi kepalanya tidak bisa berhenti berputar.
"Meski udah sepuluh tahun lalu, sejelas itu ingatan gue? Apa karena gue ketemu Alea jadi tiba-tiba keinget acara pemakaman adeknya?" Azzam memutar-mutar bulpoin ditangannya sembari berfikir.
Lelaki berkacamata yang kini seusai dengan Alea, dua puluh tujuh tahun. Sama seperti Alea yang sudah berubah menjadi seorang kepala bagian marketing, Azzam pun sudah bukan lelaki SMA lagi. Ia sekarang merupakan seorang dokter umum disalah satu rumah sakit ternama di kota yang sedang merencanakan untuk ambil spesialis.
Meski memiliki kecerdasan diatas rata-rata sebenarnya Azzam orang yang cukup pelupa apalagi untuk urusan kenangan. Lelaki itu selalu berfikir apa yang sudah berlalu biarlah berlalu dan segera ia lupakan. Toh, seberapa pun kenangan melekat dalam jiwanya itu sudah berlalu tidak akan membawa nya kemanapun selain masuk kedalam angan-angan yang menyebabkan nya tidak bertumbuh.
Itulah yang membuat Azzam penasaran bagaimana ia ingat sebaik itu kejadian sepuluh tahun lalu sehingga tergambar jelas dalam mimpinya dua hari terakhir sementara dirinya sendiri sudah lupa detail kejadian paling menghebohkan minggu lalu dirumah sakit perkara ada tersangka pembunuhan yang sedang dalam masa tahanan namun sakit, dilarikan kerumah sakit dan justru mengancam perawat yang sedang bertugas.
"Apa karena ini berhubungan dengan Alea?" Azzam mengulang kalimatnya sendiri. Ia mengakui kalau dirinya memang cukup aneh—ia pelupa pada banyak hal yang telah terjadi namun pada saat yang sama ia justru tidak lupa sedikit pun pada sosok gadis yang selalu ceria dan bertengkar dengan teman sebangkunya—Alea.
Tidak peduli berapa tahun lamanya tidak bertemu dengan gadis itu. Karena ia bersekolah di kota yang berbeda dengan Alea sebelum nya, Azzam tetap masih mengingat nya dengan baik. Ia bahkan sudah mengenali siapa yang tiba ditaman pagi itu sehingga lantas ia tawari duduk bersama. Tentu saja dengan keramah-tamahan seperti dua orang asing karena dugaanya ternyata benar—Alea tidak ingat padanya bahkan lebih parah Alea justru mengajaknya berkenalan seolah mereka adalah dua pertama kali bertemu.
Azzam memaklumi hal tersebut, hampir tujuh tahun dirinya tidak berjumpa dengan Alea serta sudah banyak perubahan juga pada dirinya secara fisik. Pantas Alea tidak mengenalinya. Karena sebetulnya, Azzam pun sedikit pangling pada Alea masa kini. Satu-satunya yang tidak berubah daru gadis itu yaitu mata matanya yang masih saja terlihat sendu.
"Alessa Deana, gimana bisa dia masih sama kayak dulu. Termasuk mata sendu penuh kesedihan itu. Apa luka itu masih belum sembuh?"
Selain dua sahabat nya, Altaf dan Azura, Azzam sebenarnya menjadi orang ketiga yang tahu dengan pasti bagaimana hancurnya hidup Alea di masa SMA. Dan mimpinya malam itu semakin membuatnya kembali benar-benar mengingat sepenuhnya betapa pilunya mendengar tangis Alea hari itu. Tangis yang membuat lelaki itu merasa sesak, sesak yang sudah lama tidak singgah dihatinya.
Azzam membenarkan posisi kacamata nya, ia menunduk untuk melihat catatannya. Itu sebuah alur perjalanan kegiatan nya selama dua haru lalu lalu.
Sebelum dirinya bermimpi tentang kematian adek Alea, yang Azzam lakukan adalah bertemu dengan gadis itu, menemukan jam pasir, dibuang sembilan diberikan satu pada Alea.
Setelah itu ia beraktivitas seperti hari libur biasanya, malam hari sebelum tidur sekitar pukul sembilan malam. Azzam mendengar suara desir pasir seperti dipantai dan kemudian dirinya tiba-tiba berada di rumah Alea bersama dengan Altaf dan Azura selama dua hari berturut-turut.Itu mungkin saja mimpi berdasarkan alogoritma kenangan yang ada di bagian penyimpanan memori di otaknya yang memproyeksikan mimpi tersebut dengan trigger Alea. Tetapi yang menjadi pikiran Azzam adalah mengapa mimpi itu begitu nyata dan ketika bangun lelaki itu memegang sapu tangan lama miliknya yang seingatnya bekas di pakai Azura serta sudah hilang beberapa tahun lalu.
Kini sapu tangan itu kembali padanya, ada di hadapannya tergeletak begitu saja di meja belajar.
"Suara desir pasir itu pembuka lorong waktu? Tapi kenapa kembalinya ke masa-masa terkelam hidup Alea?"
Sekali lagi Azzam membenarkan posisi kacamata nya. Selanjutnya lelaki itu melihat ke arah jam, waktu menunjukkan pukul dua belas dan tiba-tiba dirinya kembali mendengar suara desir pasir itu. Ia belum berniat tidur padahal—tapi baiklah mari kita coba hipotesis gue kalau bener berarti—
Azzam menggercap matanya beberapa kali, kini dirinya bukan lagi berada di kamar rumah pribadi nya melainkan dikamar lamanya yang penuh dengan poster anime kesukaannya pada tahun itu namun masih dengan jam yang sama. Pukul dua belas malam. —perjalanan waktu itu benar adanya.
.
Alea tidak ingat kapan terakhir dirinya mendengar suara kokok ayam, namun pagi ini ia terbangun karena hal itu.
Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu kamarnya, ia sambut oleh pemandangan anggota keluarganya yang memenuhi ruangan alih-alih kekosongan seperti biasa. Dan tunggu, ini bukan apartemen milik Alea. Ini rumah lamanya. Dan jelas bukan ini di kota Bandung tempat tinggalnya selama ini melainkan disebuah desa yang cukup dekat dengan pusat kota kecil namun tetap saja di sebut perkampungan.—tempat tinggalnya dulu.
"Alessa, ayo cepetan sarapan nanti kamu telat sekolah!" Seru seorang lelaki paruh baya.
"Kak Essa ayolah, aku udah dihukum kemarin gara-gara kakak"
Alea terdiam, dia ingat betul semalam dirinya adalah gadis berusia dua puluh tujuh tahun sebatang kara tapi pagi ini? Alea memperhatikan seluruh tubuhnya yang dibalut dengan seragam SMA. Kapan ia bersiap? Dirinya merasa baru saja bangun.
—Apa ini mimpi aneh itu lagi?
"Mau sampe kapan kamu berdiri di depan pintu kayak gitu, dek?" Jidan melangkah dihadapan Alea sembari mengacak rambut Alea. Hal yang biasanya akan membuat Alea mengamuk namun kini justru tidak reaksi darinya.
Karena Alea bergeming, Jidan justru berbalik. Ia memegang dahi Alea seenaknya bahkan hingga membuat kepala Alea mundur beberapa senti ke belakang.
"Kamu gak sakit ah, kok tumben diem aja?"
Tanpa berkata-kata lagi Alea justru memeluk sang kakak, kegiatan yang tidak pernah Alea lakukan dulu karena gengsi.
"Kak, aku kangen banget sama kakak!"
Jidan merentangkan tangannya, ia tidak memeluk Alea balik. "Wow, wow ada apa ini? Dek kamu beneran gak apa-apa? Kita baru berantem tadi malem loh? Ngapain juga kamu kangen sama kakak."
Alea tidak peduli seisi rumah memandang nya dengan aneh karena tingkahnya. Ia melepaskan pelukan Jidan, beralih pada kedua adik kembarnya lalu memeluk lantas mencium pipi mereka. Rindu sekali rasanya.
Semuanya terasa sangat nyata, aroma masakan ibu, perintah tegas ayah, wangi parfum kakak dan adiknya dan yang terpenting jam tangan yang ia gunakan kini berdetak menunjukkan waktu yang berjalan.
—APA PERJALANAN ANTAR WAKTU ITU MEMANG ADA?!
.
Bersambung...
.
KAMU SEDANG MEMBACA
U-turn
Narrativa generalePenerimaan adalah satu-satunya yang tidak Alea miliki di usianya yang ke dua puluh tujuh tahun ini. Gadis itu kerap kali bertanya-tanya apa hidup akan berjalan lebih baik saat mesin waktu itu betulan ada dan bisa memperbaiki banyak kesalahan. Sampai...