《Pahitnya Sebuah Realita》

376 43 18
                                    

Chapter 4: Pahitnya Sebuah Realita.

Di ruangan tempat dimana Chopper biasa bekerja sambil melakukan penelitian, telah terjadi sebuah situasi yang membingungkan disana.

"Maaf, tapi kamu siapa?" Nami bertanya dengan ekspresi bingungnya ketika melihat wajah daripada sang kapten.

Luffy terkejut dengan pertanyaan yang Nami tujukan kepadanya.

"Apa maksudmu Nami? Aku Luffy, kaptenmu," Luffy mencoba tuk menjelaskan, tapi nampaknya Nami masih sulit untuk mencernanya.

"Kapten?" Nami masih merasa bingung dengan apa yang terjadi dengannya.. dia sama sekali tak bisa mengingat satupun hal yang bersangkutan dengan seorang remaja bernama Luffy yang mengaku sebagai kaptennya tersebut.

Nami kemudian menatap Chopper dan Robin yang kini berada di samping Luffy. Anehnya, dia bisa mengingat mereka berdua..

"Robin, Chopper.. sedang apa kalian disini?" Tanya Nami kepada mereka yang ditanyakan.

Semua yang ada disana dibuat bingung mengenai kondisi Nami.

Robin dan juga Chopper mengetahui bahwa semua ini semakin rumit, dan melihat kaptennya yang harus menerima ujian yang berat ini membuat mereka berdua merasa kasihan dengannya sebab Robin dan Chopper sekarang tahu apa yang tengah menjadi permasalahan Nami.

Namun, Robin dan Chopper mengesampingkan terlebih dahulu hal tersebut dan menjawab pertanyaan Nami sebelumnya.

"Kami disini untuk merawat kondisimu, Nami. Semuanya mengkhawatirkan dirimu, sama halnya seperti Luffy yang juga cemas akan keadaanmu," tutur Robin menjelaskan.

Nami tak menanggapi namun ia mengerti dengan penjelasan dari Robin. Lalu, perhatiannya kini kembali kepada Luffy yang sedaritadi terdiam memperhatikan dengan tatapan yang penuh kekecewaan.

Nami berusaha mencoba tuk mengingat kembali segala hal tentang Luffy, namun semakin dia mencoba.. semakin ia merasakan rasa linu menjalar di otaknya.

"Auch.." rintih Nami sambil memegangi kepalanya.

"Ada apa Nami? Apa kau merasa sakit di kepalamu?" Tanya Chopper yang langsung bertindak saat melihat Nami kesakitan.

"Y-Ya.. aku merasakan linu di otakku ketika mencoba tuk mengingat sesuatu," ungkap Nami.

Tak lama, kini giliran sang arkeolog yang berbicara. "Sebaiknya jangan dipaksakan, Nami."

"Robin benar, sebaiknya kau beristirahat kembali agar kondisimu cepat pulih," Chopper menyarankan sambil membantu Nami berbaring lagi.

Di sisi lain, Luffy merasa bahwa dirinya terabaikan dan pada akhirnya, Luffy memutuskan untuk keluar dari sana dengan berat hati sebab tak ada lagi yang perlu ia lakukan disana.

Melihat sang navigator kembali pun sudah membuat Luffy tenang sehingga perasaan cemas dalam hatinya mulai terobati walau ia harus membohongi dirinya sendiri.

Jujur, ada rasa sakit yang Luffy rasakan ketika mendengar bahwa Nami tak dapat mengingatnya sama sekali. Hatinya terpecah belah bak sebuah kaca yang dijatuhkan dan kemudian hancur lebur berkeping-keping hingga tak lagi ia berwujud.

Melihat Luffy yang beranjak keluar dari sana, membuat Robin khawatir akan dirinya.

Robin pun memutuskan untuk menyusul Luffy yang kini sudah berada diluar.

Luffy sedang berjalan menuju ke geladak kapal dekat tiang utama dan disusul oleh Robin dibelakangnya.

"Luffy, tunggu!" Panggil Robin.

Namun yang dipanggil namanya tak menolehkan kepalanya sama sekali. Mau tak mau, Robin harus berlari menghampirinya lebih dekat lagi.

"Luffy!" Panggil Robin sekali lagi sambil menepuk bahu Luffy.

4. Jangan LupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang