Everything Changes

54 4 0
                                    

Central Park, Manhattan, New York City - 5:00 PM

"Ahh, shit! Kenapa aku masih mengingat si brengsek itu lagi sih?" rutuknya kesal.

Lena mengumpat kesal karena setiap kali dia duduk melamun di bangku taman dan mendongakkan kepalanya ke langit maka hal yang di alami nya 2 tahun silam otomatis berputar kembali di otaknya persis seperti film.

Selalu seperti itu dan Lena sangat menyesali cara berpikir otaknya yang kadang tidak sinkron dengan hatinya.

Semenjak kejadian itu, Lena tidak se-ceria biasanya. Orang tua dan sahabat nya pun bingung dengan perubahan sikap dan sifat dari orang yang biasanya di kenal sebagai pembuat onar itu menjadi orang yang sangat pendiam.

Bagaimana tidak, karena dia yang biasanya selalu membuat kegaduhan di rumah kini menjadi seorang gadis yang pendiam dan sangat bertolak belakang dengan sifat asli nya.

Bagaimana tidak, dia yang biasanya menjadi mood booster untuk sahabat nya kini menjadi sosok yang dingin dan jarang berkomunikasi.

Dan penyebab dari semua perubahan Lena baru mereka sadari ketika sebuah undangan pernikahan yang sampai di rumah mereka. Undangan pernikahan Marco Diaz dan Shilla Wijaya.

Berbagai cara telah mereka lakukan untuk mengembalikan Lena seperti dulu. Seperti dengan mengajak nya ke rumah nenek dan kakek nya di Bali. Tapi tetap saja tidak ada perubahan dan justru Lena menjadi semakin pendiam.

Waktu tetap berjalan, hingga di bulan ke-6 Lena mendapatkan tawaran beasiswa untuk melanjutkan studi nya di New York.

Tentu saja dia tidak menolak karena New York adalah negara pertama yang ada di daftar negara-negara yang akan di kunjungi nya suatu saat nanti.

Dan disinilah Lena sekarang, duduk melamun di bangku taman dengan di temani kanvas dan peralatan lukis lainnya.

Lena mengangkat tangan kirinya dan menatap sekilas pada jam tangannya si putih Alba.

"What? Oh my God, aku telat sekarang. Bagaimana ini? Jangan sampai kamu di pecat Lena karena telat lagi." Lena merapikan alat-alat lukisnya kemudian memasukkannya kedalam tas.

"Alasan apa lagi yang harus aku katakan ke Mr. William kali ini? Arrghh... bego banget sih, Len!"

Lena tidak berhenti mengoceh sepanjang jalan menuju Café yang belakangan ini menjadi tempat Lena mencari tambahan biaya untuk membeli kebutuhan hidup lainnya.

Sebenarnya Lena termasuk orang berada karena orang tuanya selalu mengirimi Lena uang saku bulanan, tetapi dia lebih memilih untuk bekerja part time hanya untuk sekedar mencari kesibukan lain dan uang saku tambahan yang bisa digunakannya di waktu kepepet misalnya.

"Semoga, kali ini Dewi Fortuna berpihak kepadaku. Untung saja jarak dari Café ke taman tidak begitu jauh jadi aku bisa jalan kaki."

Dengan langkah gontai Lena berjalan ke arah Café. Dia sudah bisa menebak jika dia tidak akan luput dari amukan sang manager Café. Siapa lagi kalau bukan Mr. William si perut buncit itu.

Yah, itulah sapaan yang di berikan Lena ketika pertama kali bekerja dan bertemu dengan manager nya.
Tentu saja Mr. William tidak tahu apa artinya karena Lena menggunakan Bahasa Indonesia.

"Oh my God, Ms Pereira! What time is it? Alasan apa lagi sekarang yang mau kamu sampaikan kali ini?" tanya Jorge William sang manager dari arah pantry saat melihat orang yang di tunggu-tunggu nya dari sejam yang lalu.

"Maafkan saya Mr. William, saya janji ini yang terakhir kali. Saya mendapat telpon dari orang tua saya tadi, mere-..."

"Mereka mencemaskan keadaan saya yang tidak pernah menghubungi mereka. Itu yang mau kamu bilang? Saya sudah mendengar alasan yang sama saja ini selama 3 hari berturut-turut dan 1 minggu yang lalu Ms. Pereira."

Love NotesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang