10. The Truth (2)

853 109 177
                                    


Satu minggu kemudian.

Stevan sudah dimakamkan di belakang rumah. Sama seperti apa yang telah dikatakan pada Sandra dan Liana sebelum meninggal. Jika dia ingin disemayamkan di belakang rumah saja. Agar dekat dengan mereka.

Selama satu minggu ini Joanna tidak kerja. Sama seperti Rosa. Namun tidak ada kesedihan di wajahnya. Tidak seperti Sandra, Rosa dan ibunya yang terus saja menangis jika ingat Stevan.

Bukannya tidak memiliki empati, ini karena Joanna tidak dekat dengan Stevan selama ini. Dia juga tidak pernah berbincang dengannya secara intens barang sekali. Tidak heran jika dia tidak merasa kehilangan sama sekali.

Keadaan rumah Stevan mulai sepi. Tidak seramai kemarin-kemarin. Mengingat mereka sudah tidak open house lagi. Karangan bunga di sekitar rumah juga sudah dibereskan saat ini. Karena masa berkabung telah usai dan kini, mereka harus membuka lembaran baru lagi.

"TIDAK! AKU TIDAK PERCAYA! PAPA TIDAK MUNGKIN SETEGA ITU PADA ANAK KANDUNGNYA!"

Pekik Rosa sembari berdiri dari duduknya. Dia menatap Joanna tajam. Seolah marah padanya karena mengira Joanna dan Liana telah bersekokongkol dengan notaris yang membawa surat wasiat Stevan.

"LUCAS! DIBAYAR BERAPA KAMU OLEH LIANA!? TEGA KAMU MENGKHIANATI KITA DEMI JALANG INI DAN ANAKNYA?!"

Lucas, selaku notaris yang telah bekerja dengan Stevan sejak lima tahun ke belakang mulai menggeleng pelan. Lalu tersenyum getir setelahnya. Sebab dia memang tidak dibayar apalagi bersekongkol dengan Joanna dan ibunya.

"Maaf, Bu Sandra. Tapi ini benar-benar dokumen asli dari mendiang Pak Stevan. Bu Liana, Joanna dan Rosa sama-sama mendapat bagian 30 persen dan Ibu Sandra mendapat 10 persen."

Kedua mata Sandra berkaca-kaca. Dia tidak terima karena telah kalah oleh Liana. Istri Stevan yang bahkan tidak tercatat oleh negara. Namun bisa mendapat bagian yang lebih banyak darinya. Bersama anaknya pula.

"Aku ingin Joanna menggantikan Rosa di perusahaan. Tidak perlu cepat-cepat. Kamu butuh beradaptasi, kan?"

Liana merangkul Joanna yang duduk di sampingnya. Senyum tipis juga tersungging di bibirnya. Karena dia begitu senang setelah mendapat apa yang selama ini diincar. Harta Stevan agar anaknya bisa hidup enak di masa depan.

Rosa dan Sandra saling tatap. Mereka tampak tidak terima dengan apa yang baru saja Liana ucapkan.

"Anakku digantikan dengan anakmu? Hah! Bermimpi saja! Dunia juga tahu jika anakku jauh lebih kompeten daripada anakmu! TIDAK! LUCAS! KAU TAHU KINERJA ROSA SANGAT HEBAT, BUKAN? DIGANTIKAN ORANG LAIN SAJA BELUM TENTU BISA SEHEBAT DIA! APALAGI ANAK JALANG ITU YANG HANYA LULUSAN UNIVERSITAS TERBUKA!"

Ucapan Sandra membuat Liana tersulut. Membuatnya lekas bangun dan berkacak pinggang di depan Sandra yang tampak menatangnya saat itu. Merendahkan anaknya yang telah dikandung dan dirawat dengan penuh perjuangan tanpa mereka tahu.

"HANYA KATAMU? ANAKKU MEMANG TIDAK SEPINTAR ANAKMU YANG LULUSAN LUAR NEGERI! TAPI ANAKKU YANG PALING BERHAK MEMIMPIN PERUSAHAAN INI!"

"Iya, Bu Sandra. Benar apa kata Bu Liana. Menurut pembagian warisan, Joanna memang yang lebih berhak memimpin perusahaan. Ada baiknya jika kita beri kesempatan. Kalaupun hasilnya kurang memuaskan, baru kita ganti lagi dengan Rosa."

Ucapan Lucas membut Rosa langsung menatap Joanna nyalang. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata. Karena dia benar-benar merasa jika Joanna telah merebut semua hal dari hidupnya. Harta mendiang ayahnya, pria yang disuka dan sekarang, pekerjaan yang dicinta juga.

"Aku tidak berminat memimpin perusahaan apalagi menggantikan Rosa. Kalau perlu, aku ingin resign saja. Jadi karyawan sangat melelahkan."

Joanna yang sejak tadi diam kini mulai buka suara. Bangun dari duduknya dan berniat meninggalkan ruang keluarga. Ingin lekas menuju kamar guna beristirahat. Sebab kepalanya terasa pusing tiba-tiba.

"TIDAK! KAMU HARUS MENGGANTIKAN ROSA! SELAMA INI MAMA SUDAH BERJUANG MATI-MATIAN UNTUK MENDAPATKAN INI SEMUA! MAMA TIDAK AKAN RELA JIKA DIA TETAP MENJADI PEMIMPIN DI PERUSAHAAN!"

"Kalau Mama tidak rela Rosa yang memimpin perusahaan, kenapa tidak Mama saja yang gantikan? Jangan paksa-paksa aku lagi mulai sekarang!"

PLAK...

Joanna mendapat tamparan dari ibunya. Liana jelas kecewa pada anaknya. Karena Joanna telah begitu tega berkata seperti itu padanya. Padahal, selama ini dia telah berjuang demi dirinya.

Diam-diam selingkuh dengan Stevan agar bisa mendapat uang untuk operasi sumsum tulang. Hingga akhirnya membawa Joanna hidup mewah dan tidak lagi sakit seperti sebelumnya. Selama ini, Liana juga bertahan mati-matian ketika direndahkan orang.

Semua ini dilakukan demi Joanna. Demi anak kandungnya. Namun justru seperti ini balasannya.

Joanna terus saja menentang apapun yang diminta. Tidak mau menuruti ucapannya. Seolah anak itu tidak ingin membahagiakan dirinya.

"KAMU---"

Ucapan Liana terjeda ketika melihat Joanna mimisan. Tidak sedikit. Namun banyak, hingga menetes di lantai ruang keluarga. Padahal, Joanna sudah memakai kedua tangan untuk menutupnya.

Sandra dan Rosa menatap Joanna sembari bergidik ngeri. Namun tidak dengan Liana yang kini menegang di tempat. Menatap Joanna dengan air mata yang sudah membasahi wajah. Karena dia tahu jika penyakit lama Joanna yang seharusnya hilang telah kembali datang.

Lucas langsung menelepon dokter keluarga. Meminta agar dia datang segera. Sebab pendarahan di hidung Joanna semakin parah. Apalagi setelah Joanna mendongakkan kepala. Berharap pendarahannya berhenti seketika.

Namun hal itu tidak berbuah apa-apa. Justru semakin parah karena darah dari hidung Joanna mulai mengalir membasahi wajah dan pakaian yang dikenakan.

Dengan tangan gemetar, Liana mulai meraih tubuh Joanna. Dipeluknya tubuh anaknya yang ternyata tampak lebih kurus tanpa dia sadar. Membuat tangisnya tidak lagi bisa dibendung sekarang. Dia meraung seperti orang kesetanan. Menyalahkan Tuhan karena telah mendatangkan penyakit ini lagi pada anaknya.

Makin sepi, ya? Apa kupublish di karyakarsa aja?

Tbc...

THE STORY BEHIND [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang