Joanna sudah berbaring di atas ranjang. Dengan tangan kanan yang sudah diinfus sekarang. Di dalam kamar.Hanya berdua saja. Bersama ibunya yang kini masih menangis di atas sofa. Membuat Joanna yang masih lemas karena kehilangan banyak darah mulai membuka suara. Ingin mengusir ibunya karena dia ingin istirahat.
"Aku baik-baik saja. Dulu, aku pernah seperti ini juga. Tapi bisa bisa bertahan sampai sekarang akhirnya. Aku mau istirahat, Ma. Kalau mau lanjut menangis di kamar saja. Aku jadi tidak bisa tidur karena Mama."
Tangis Liana berangsur-angsur reda. Dia mulai menyeka air mata dan menatap Joanna yang kini bersiap tidur sungguhan. Dengan selimut yang sudah membalut tubuhnya dari kaki hingga lehernya.
"Kenapa kamu selalu jahat pada Mama? Tidak mau patuh dengan ucapan Mama. Tidak mau---"
"Mama pikir aku mau patuh pada orang yang telah berbuat jahat sebelumnya? Tidak pernah meminta maaf dan merasa bersalah pula. Mama selingkuh dari Papa, dari Papa masih ada hingga meninggal. Kemudian menikah dengan si selingkuhan pada 40 hari meninggalnya Papa."
"Mama melakukan semua ini demi kamu! Supaya kamu sembuh!"
"Aku lebih baik mati saat itu daripada harus melihat Mama selingkuh di depan mataku. Melihat Papa kecelakaan ketika akan menjemputku. Itu sebabnya Mama merusak motorku, karena Mama takut aku mengalami kecelakan seperti Papa dulu. Tapi sayangnya hal itu tidak membuatku tersentuh. Mama sudah terlalu jauh mengecewakanku. Mama sudah jahat pada Papa, Rosa dan Tante Sandra. Mungkin ini balasan yang harus kutanggung. Karena telah membuat Mama menyakiti orang-orang itu."
Air mata Liana kembali membasahi pipi. Kini, dia langsung pergi dari kamar ini. Enggan berlama-lama di sini. Karena dia tidak sanggup jika harus mendengar kata-kata menyakitkan itu dari anaknya lagi.
5. 30 AM
Joanna baru saja membuka mata. Dia melihat air infusnya yang kembali full seperti sebelum dipasang. Membuatnya langsung bisa menebak jika ibunya baru saja datang.
Namun Joanna tampak tidak senang. Membuatnya langsung melepas jarum infus dan lekas bersiap untuk keluar rumah. Sebab ada sesuatu yang ingin dilakukan.
"Itu Joanna bukan?"
Tanya Maraka yang kini sedang menyetir mobil Teressa. Mengingat semalam mereka menginap di rumahnya. Sehingga kini, dia harus mengantar Teressa kembali ka apartemennya sebelum kerja.
Teressa yang masih mengantuk langsung membulatkan mata. Dia menatap wanita bergaun hitam tanpa lengan yang sedang berdiri di pinggir jalan. Dengan rambut pirang dengan poni yang membingkai wajah.
Tubuh wanita itu mungil karena tidak terlalu tinggi. Namun dada dan pantatnya tampak sekal sekali. Sangat menggoda bagi pria hidung belang yang melihati.
Maraka memundurkan mobil. Berhenti di depan wanita yang sebelumnya dikira mirip Joanna. Sebab perawakan dan fitur wajahnya mirip dirinya.
"Joanna?"
Tanya Maraka sembari menurunkan kaca jendela. Membuat wanita tadi langsung memutar bola mata malas dan mundur beberapa langkah. Lalu memasuki taksi yang berhenti di belakang mobil Teressa.
"Kamu lihat? Mirip Joanna, kan? Tattonya, kamu pernah lihat, kan? Seperti itu juga?"
Tanya Maraka sembari menatap Teressa yang kesusahan menelan ludah. Entah karena apa. Namun yang jelas, dia tampak terkejut sekarang. Bagai melihat hantu di pagi buta.
"Iya! Tattonya sama! Itu Joanna! Ayo kejar!"
Maraka langsung melajukan mobil Teressa. Mengikuti taksi yang membawa wanita sebelumnya. Sebab mereka begitu penasaran.
Mengingat setahu mereka, Joanna itu anak baik-baik dan tidak akan berani macam-macam. Tidak mungkin dia sampai berani memakai pakaian mini di punggir jalan. Di pagi buta pula.
Dari sini, kalian masih ngira kalo Joanna dan Bianca itu orang yang sama?
Karena masih sepi, jadi aku pendekin :)
Tbc...