Teressa dan Maraka mengikuti wanita berambut pirang yang sedang menaiki taksi. Menuju bangunan megah yang ada di tengah kota ini. Unit apartemen elit yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang seperti mereka ini.
"Maaf, kami tidak bisa mengizinkan kalian masuk karena---"
"Biarkan mereka masuk! Mereka tamanku!"
Seru Bianca yang baru saja akan memasuki lift. Membuat Maraka dan Teressa terkejut saat ini. Sebab tidak menyangka jika wanita ini akan sadar jika baru saja diikuti.
Maraka dan Teressa langsung berlari ke arah Bianca. Lalu ikut memasuki lift yang baru saja terbuka. Dengan perasaan bingung dan penasaran tentu saja.
"Kamu Joanna, kan? Kamu sungguhan Joanna kita, kan?"
Tanya Teressa sembari memiringkan kepala. Lalu menatap wajah Bianca lekat-lekat. Menelisik bentuk wajah yang mirip semua.
Dari mata, hidung hingga bibirnya. Hanya saja dahi, pipi dan dagunya sedikit berbeda karena wanita ini jelas lebih berisi dari Joanna. Wajahnya juga lebih bersih karena rajin perawatan. Tidak ada bekas jerawat seperti Joanna yang biasa mereka lihat.
"Benar. Ini Joanna. Kamu pasti baru dapat warisan, ya?"
Lagi-lagi Bianca hanya memutar bola mata. Lalu keluar dari lift setelah pintu terbuka. Membuat Maraka dan Teressa langsung mengekori tentu saja. Ikut masuk di unit si wanita.
"Aku bukan Joanna!"
Seru Bianca setelah menjatuhkan diri di atas sofa. Mengikat rambut panjangnya dengan gelang karet warna hitam yang sejak tadi dikenakan. Membuat Teressa dan Maraka jelas terkejut tentu saja. Mengingat wanita ini begitu mirip dengan Joanna.
"Lalu kamu siapa? Kembarannya?"
Tanya Maraka sembari mendekatkan diri. Lalu menatap Bianca yang kini memperlihatkan sesuatu dari ponselnya saat ini. Fotonya bersama Joanna sebelum dia menjalani operasi plastik.
"Aku dan Joanna pernah berteman, dulu. Ketika kita sama-sama tinggal di jalan dan mencari jati diri baru. Hingga akhirnya kita berpisah dan tidak lagi saling bertemu."
"Lalu, wajahmu?"
Kali ini Teressa yang bertanya. Dia menatap Bianca dengan wajah tidak percaya. Sebab dia merasa jika wajah mereka mirip sungguhan. Hanya ada sedikit perbedaan yang mungkin saja bisa menggunakan filler dan botox saja.
"Aku oplas."
Maraka dan Teressa diam saja. Lalu saling tatap. Bingung dengan alasan yang baru saja Bianca katakan yang menurut mereka tidak masuk akal.
"Aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku dulu memang terobsesi ingin seperti Joanna. Dia begitu baik dan sering membantu anak jalanan. Termasuk aku juga. Saat itu dia kabur dari rumah tidak membawa apa-apa. Kecuali kalung dan anting emas saja. Karena kami semua tidak punya uang untuk makan, akhirnya dia menjual kalungnya. Tapi tidak dengan antingnya kerena itu pemberian mendiang ayahnya. Kita semua bisa makan selama tiga bulan tanpa harus repot-repot kerja. Mengamen di jalan dan menjual koran di lampu merah. Hingga akhirnya Joanna pergi setelah uangnya habis tidak tersisa."
Bianca mulai membuka dompetnya. Meletakkan satu anting-anting yang begitu mirip seperti punya Joanna. Tidak ada bedanya. Membuat Maraka dan Teressa tentu saja langsung mengenalinya. Mengingat setiap hari pasti dipakai Joanna kerja.
"Sangking sukanya aku pada Joanna, aku sampai membuat duplikat anting ini dari fotonya. Aku tahu keputusan untuk merubah wajah seperti ini memang salah. Apalagi pekerjaanku tidak halal. Takut juga jika suatu saat Joanna kena getahnya. Itu sebabnya aku mulai menabung agar bisa melakukan oplas lagi tahun depan. Karena hidup menggunkan wajah orang lain sangat membebaniku ternyata. Apalagi setelah aku pindah di Jakarta. Tidak sekali ini aku bertemu orang yang mengenaliku sebagai Joanna. Ah, aku jadi semakin rindu dia. Sekarang, Joanna jadi apa? Dia tidak sering mimisan lagi, kan?"
Tenggorokan Maraka dan Teressa tercekat. Mereka benar-benar bingung sekarang. Bingung ingin bereaksi seperti apa. Mengingat jujur saja, cerita Bianca ini seperti sedang mengada-ngada.
"Jo, sudah lah! Lebih baik kamu mengaku saja! Aku sudah melihat tattomu sebelumnya!"
Seru Teressa karena jengah. Sebab sejak tadi dia tengah meneliti tatto di atas dada Bianca. Disamakan dengan milik Joanna yang pernah dilihatkan padanya.
"Ah, tatto ini. Kita memang membuat ini bersama ketika masih di jalan. Bagus, kan?"
"Kalau kamu bukan Joanna, lalu namamu siapa? Ada tanda pengenal?"
Bianca langsung memberikan dua KTP yang baru saja diambil dari dalam dompetnya. Di sana ada nama dan fotonya. Foto yang menggunakan wajah baru dan wajah lama.
"Joanna tinggal di mana sekarang? Boleh aku minta nomornya? Aku kangen sekali dengan dia. Eh, tapi---sepertinya jangan dulu, ya? Aku takut dia shock ketika melihat wajahku yang mirip dengannya. Rencananya aku mau ubah hidung saja. Supaya lebih mancung ala orang blasteran seperti punya Cinta Laura."
Maraka dan Teressa mulai saling tatap. Mereka tidak habis pikir dengan Bianca. Karena wanita itu agak gila ternyata. Sampai nekat merubah wajah seperti orang lain yang dikenal. Orang yang masih hidup pula.
Di tempat lain, Joanna sedang mendatangi base camp anak jalanan yang dulu pernah menampungnya bersama Bianca. Dia membawa banyak nasi bungkus dan beberapa keperluan seperti sabun dan pembalut juga. Sebab dia ingat jika dulu pernah kesusahan mencari pembalut ketika di jalan.
"KAK JO! EH, MATIKAN ROKOKNYA!"
Seru Haikal, anak laki-laki berusia belasan yang kini berambut hijau tua. Dia tinggal di sini bersama sepuluh temannya. Ada lima laki-laki dan perempuan. Semuanya berasal dari background yang berbeda-beda. Tidak hanya anak yatim piatu saja, namun ada pula anak pejabat yang sedang mencari pelarian karena merasa tidak nyaman berada di rumah.
Baru saja Joanna akan memasuki base camp, tiba-tiba saja ada polisi yang bedatangan. Sepertinya mereka sudah lama mengincar Joanna. Atau lebih tepatnya orang yang telah menyokong kehidupan anak-anak ini di belakang.
Udah kangen Jeffrey, ya? Tenang abis ini ketemu orangnya :)
Tbc...