10. 10 AMJoanna sudah membuka mata. Dia melihat Bianca dan Teressa yang sudah ada di depannya. Dengan mata bengkak karena menangis berjam-jam.
"Kenapa tidak bilang kalau sakit? Joanna, kamu jahat sekali!"
Seru Bianca sembari menangis. Sedangkan Teressa, dia hanya diam dan menutup wajah dengan kedua tangan saat ini. Sebab tidak sanggup jika harus menatap Joanna yang kini sudah membuka mata dengan keadaan seperti ini.
"Dilarang menangis! Semua orang pasti akan mati! Aku bosan melihat Mamaku menangis! Lebih baik pergi jika tidak ingin berhenti!"
Tangis Bianca dan Teressa terdengar semakin kencang. Karena mereka benar-benar takut kehilangan Joanna. Apalagi Bianca yang memang baru sehari bertemu dengannya pasca bertahun-tahun berpisah.
Ceklek...
Pintu tiba-tiba saja dibuka kasar dari luar. Jeffrey pelakunya. Dia memasang wajah panik sekarang. Sebab mengira jika suara tangis yang didengar karena hal fatal yang menyangkut kesehatan Joanna. Bukan karena dua wanita ini yang baru saja diusir Jaonna.
Joanna memalingkan wajah ketika Jeffrey datang. Wajahnya bersemu karena mengingat kejadian semalam. Membuatnya refleks menggigit bibir bawah tanpa dia sadar.
Di tempat lain, Liana sedang mengemasi barang-barang Joanna. Karena dia akan membawa anaknya ke Singapura. Setelah disarankan oleh saudara Jeffrey yang merupakan dokter anak di sana.
Dengan air mata yang masih membasahi wajah, Liana mulai memasukkan pakaian Joanna di dalam koper besar. Sebab dia memang sudah berencana menetap di sana cukup lama. Jika Joanna memang berhasil bertahan lebih lama.
Ketika sedang menarik resleting koper Joanna, kaki Liana tidak sengaja menendang meja kecil yang ada samping ranjang. Membuat anting Joanna yang dulu hilang terlihat di samping meja. Namun Liana tidak sadar dan langsung menarik koper keluar kamar. Namun tidak menguncinya dari luar karena merasa jika di dalam sana tidak ada barang berharga yang akan hilang jika ditinggal.
Matahari semakin tinggi. Saat ini, Joanna sedang menatap Jeffrey yang baru saja mendatangkan orang yang membawa kaca besar dan kursi salon. Kedua benda itu diletakkan di depan ranjang.
Membuat Joanna yang masih rebahan langsung bisa melihat keadaannya yang kini sudah memakai baju rumah sakit tanpa penutup kepala. Sehingga rambutnya yang hampir botak karena kerontokan terlihat. Pantas saja Bianca dan Teressa terus saja menangis ketika menatapnya. Karena mereka kasihan saat melihat rambut Joanna.
"Terima kasih, Pak."
Orang tadi langsung pergi. Sedangkan Jeffrey mulai mencolokkan alat cukur pada stopkontak terdekat. Kemudian meletakkan alat itu di atas meja.
"Ayo!"
Jeffrey membantu Joanna turun dari ranjang. Karena wanita itu tiba-tiba minta dicukur sekarang. Meningkat teman-temannya sudah tahu akam keadaannya. Sehingga dia tidak perlu lagi menyembunyikan kepala.
Jeffrey menggendong Joanna. Lalu didudukkan di atas kursi salon yang memiliki tinggi sepinggang pria dewasa. Dengan Teressa yang kini sudah mendorong tiang infus Joanna.
Bianca, dia hanya menatap dari kejauhan. Karena saat ini dia masih menangis di atas sofa. Namun tanpa suara karena takut diusir Joanna.
Mengerikan sekali.
Ucap Joanna dalam hati. Setelah dia melihat wajahnya di depan kaca. Tubuh kurus dan wajah pucat. Serta, botak karena rambutnya jarang-jarang.
"Sekarang?"
Joanna mengangguk singkat. Membuat Jeffrey lekas memegang alat cukur yang sebelumnya diletakkan di atas meja. Kemudian dihidupkan dan diarahkan pada kepala si wanita.