Happy Reading...
*****
Selepas magrib aku ingin menghubungi Heru, mencoba mencari tahu obrolannya dengan Papi, sebelum aku urungkan niatku karena baru mengingat ponselku yang masih tidak tahu di mana keberadaannya. Mungkin aku terlihat santai, karena memang aku sudah cukup sering teledor dalam meletakkan ponselku, namun ajaibnya akan selalu ada jalan dia kembali padaku, jadi aku hanya bisa memasrahkan keberadaannya, setelah membongkar seluruh isi rumah dan masih belum menemukannya.
Menghentikan pencarian terhadap ponselku, aku memilih untuk duduk di samping Papi yang sedang menonton berita malam. Tidak biisa mengorek informasi dari Heru tentang obrolannya dengan Papi, aku mengmbil langkah untuk mendekati Papi.Aku melirik Papi yang duduk di sampingku menatap ke layar televisi yang menayangkan berita hari ini.
"Kenapa sih, Dek?" tanya Papi tanpa sedikit pun menoleh ke arahku, aku pikir Papi memang bisa merasakan tatapanku sejak tadi.
"Papi ngomong apa tadi sama Heru?"
"Obrolan laki-laki lah. Kamu nggak ngerti juga," jawab Papi malas.
Aku semakin menatap Papi dengan curiga, aku yakin obrolan laki-laki itu ada sedikit melibatkan ancaman, tuntutan, atau paksaan Papi pada Heru.
Papi mendesah sebelum akhirnya menoleh ke arahku, "Yang pasti kita ngobrol santai," ucap Papi pelan. "Nggak usah lihat Papi kayak Papi ngancem dia ya." Papi mendelik kesal.
Aku langsung cemberut, masih tidak percaya dengan ucapan Papi. Pasti ada sesuatu, karena aku bisa merasakan aura mencurigakan dari Papi.
Pandangan aku dan Papi teralihkan menuju ruang tamu, saat kami mendengar ketukan dari pintu depan sebelum disusul dengan suara salam. "Assalamu'alaikum..."
"Bukain tuh pintunya." Suruh Papi cepat.
Aku beranjak malas, namun mendengar salam kedua yang diucapkan dengan suara yang terdengar familier membuatku langsung bergegas ke ruang depan dan membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam..." Aku tersenyum menatap Heru yang berdiri di depan pintu, sebelum mengalihkan pandanganku dan menemukan Meli yang berdiri di samping Heru dengan senyuman yang terlihat sangat lebar.
"Hai, Meli. Ayo masuk." Aku membuka pintu lebih lebar dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam. "Ke dalam aja yuk, bareng Papi yang lagi nonton." Ajakku.
"Loh Heru toh. Ayo duduk sini." Papi mempersilahkan, membuat Heru dan Meli langsung mengambil tempat duduk, "Meli gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, baik Om." Jawabnya, "Ini mau nganterin HP nya Kak Terena, tadi ketinggalan di rumah."
Ah, HP ku, akhirnya kutemukan keberadaanmu. Aku bernapas lega, ini yang aku sebutkan selalu ada jalan untuk dia kembali padaku. Ya, selagi dia masih menjadi rejekiku dia akan datang padaku. Semoga saja lelaki di depanku ini menjadi rejekiku juga, aamiin. Pemikiran itu membuat senyumku muncul.
"Dek buatin kopi 2 ya, Meli maunya minum apa?."
"Nggak usah repot-repot Om." Heru mencoba menolak dengan halus, begitu pun Meli.
"Nggak repot kok, kan tinggal minta Terena aja." Papi tertawa pelan sambil menatapku jahil.
Aku beranjak menuju dapur untuk membuatkan minum.
"Mbak Tere." Meli menepuk pelan pundakku, ada senyum di wajahnya yang sejak tadi belum juga pudar. Sepertinya hari ini dia sangat bahagia, aku bisa merasakan aura bahagianya menular padaku, membuatku juga ikut tersenyum.
"Kamu mau minum apa, Mel?" Tanyaku padanya.
Meli hanya tersenyum menatapku, kali ini aku bisa melihat kilatan jahil di matanya, dengan main-main dia menepuk pundakku pelan.
"Kenapa sih?" Aku menatapnya bingung tapi tidak juga bisa marah melihatnya yang tersenyum begitu manis.
"Cieee..." Godanya langsung, "Mas Heru udah cerita tadi di rumah."
Demi mendengar itu aku langsung menghentikan gerakan tanganku yang ingin menuang air panas, dan melirik ke arah Meli. Penasaran dengan apa saja yang Heru katakan pada adiknya ini.
"Selamat ya Mbak, aku senang dengarnya. Semoga dilancarkan segala urusan ke depannya, aamiin." Ucapan tulus dari Meli membuat senyumku makin lebar dan langsung kuaminkan juga.
Mencoba bersikap biasa aku kembali fokus untuk menuangkan air panas ke gelas, "Emang, Mas kamu ngomong apa aja?" Aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
"Tadi sore pas nyampe rumah Mas Heru senyum-senyum mulu. Aku yang kesal langsung jutekin dia, ingat gimana Mbak yang tadi nangis terus mikir jangan-jangan dia senyum karena ketemu si mantan itu." Ada rasa marah setiap kali Meli menyebut tentang Rahmi.
Mungkin terdengar jahat karena aku senang ada yang membelaku dari sisi keluarga Heru, tapi menyukaiku karena Meli membenci Rahmi juga tidak sepenuhnya terdengar benar. Aku tidak sepenuhnya tahu apa yang dialami Heru, dan dampaknya pada keluarganya setelah dia berakhir dengan Rahmi. Tapi jika mengingat bahwa dia pernah mencintai wanita itu bahkan sampai memutuskan ingin melangkah ke jenjang lebih serius, membuatku mau tidak mau merasakan iri. Wanita itu pernah begitu spesial, dan pikiran tentang itu tiba-tiba mengusikku dan membuatku tidak nyaman.
"...Mas Heru bilang kalau dia mau serius sama Mbak, jadi lagi nunggu Mama Papa pulang untuk minta pendapatnya gimana baiknya."
Aku melewatkan beberapa cerita Meli karena terlalu larut dengan pikiranku. Membuang jauh pikiran negatif, aku lebih memilih untuk memfokuskan pikiranku pada keadaan saat ini. Aku tidak ingin memikir apa yang telah berlalu antara Heru dan Rahmi, aku harus lebih fokus pada apa yang ada sekarang dan apa yang ingin aku rencanakan untuk masa depanku.
"Dan sebenarnya, aku liat HP Mbak ketinggalan di mobil. Aku pengin balikin tapi pas liat nama Mas Heru yang nelpon aku langsung punya ide buat bikin Mas Heru kelimpungan nyariin Mbak. Dan aku senang, karena ternyata berhasil."
Ah, sekarang aku tahu maksudnya senyumannya itu. Ada senyuman puas setelah mengerjai Heru dan sekaligus senang karena akhirnya apa yang dia inginkan terjadi. Heru menjadi lebih jujur padaku dan membuat hubunganku dengan Masnya jadi lebih jelas.
"Terima kasih untuk bantuannya." Aku tersenyum tulus ke arah Meli, memiliki seorang pendukung yang begitu antusias untuk hubunganku dan Heru, membuatku tidak bisa merasa sangat beruntung.
Aku beranjak menuju kulkas dan langsung mengeluarkan dua cup ukuran kecil es krim coklat. "Mau ini?" Tawarku pada Meli yang langsung mendapat anggukan setuju darinya dengan cepat.
Menyajikan minuman di meja aku langsung duduk di samping Meli yang sudah menikmati es krimnya lebih dulu. Aku melirik ke arah Heru yang ternyata sedang menatapku dengan senyum tipisnya dan langsung membisikkan ucapan terima kasih untuk kopinya, yang kujawab dengan anggukan dan senyuman malu. Ya Tuhan kenapa aku jadi seperti anak abege yang tidak bisa menahan senyumku.
Meli menyikutku pelan membuat fokusku kembali dan mendengarkannya yang menanyakan tentang drama korea menarik yang sedang tayang saat ini. Sedikit banyak saat bertemu siang tadi kami menemukan beberapa kesamaan, kami menyukai drama korea dan sama-sama penggemar dari boyband korea Super Junior. Mungkin tidak banyak yang mengenal mereka karena memang mereka boyband dari generasi ke dua.
Aku akhirnya larut dengan obrolan seru seputar drama korea dengan Meli. Sambil sesekali mencuri lihat ke arah Heru yang juga terlibat obrolan seru dengan Papi tentang politik. Sesekali kami bertemu pandang saat aku mencuri lihat ke arahnya yang membuat kami sama-sama tidak bisa menyembunyikan senyum malu kami.
Ya Tuhan, aku jatuh cinta pada makhluk ciptaan-Mu ini...*****
bersambung...
Sagaara24_

KAMU SEDANG MEMBACA
Terena
RomanceKenalin tokoh cerita kita, Terena Melani Kresna. Anak bontot di keluarga Kresna. Dan anak yang paling dicemaskan masa depannya. Bagaimana tudak, jika Terena diusia 24 dia masih menjadi pengangguran, belum lagi dia tidak memiliki pasangan. Maminya se...