TUJUH

7 1 0
                                    

Happy reading...

*****

Akhirnya hari pernikahan Mbak Raya tiba juga, dan aku yang malah deg-degan nemenin Mbak Raya di kamarnya menunggu prosesi ijab qabul selesai. Setelah mendengar suara sah, aku merasa terharu. Waktu pernikahan Mas Raka aku nggak sepeduli ini. Kalau nggak salah pas proses ijab qabul Mas Raka, aku sedang makan di dapur rumah Mbak Rika, yang langsung ditegur Tante Nara –Adik Papi- dan memaksaku untuk ikutan ngeliat Mas Raka.
 
Aku bersyukur karena ternyata kebayanya pas sama Mbak Raya, yang membuat Mbak Raya langsung kembali semangat.
 
Aku memeluk Mbak Raya erat, “Selamat ya, Mbak. Udah sah jadi istrinya Mas Faiz.”
 
Aku melihat sebulir air mata jatuh dari pipi Mbak Raya,”Adek…” Dia mengerek sambil memelukku, membuatku memberikan tepukan pelan di punggungnya untuk menenangkan.
 
“Mbak…” Panggil Mami sambil memasuki kamar Mbak Raya. Aku bisa melihat mata Mami yang sembab.
 
Mbak Raya langsung berdiri dan memeluk Mami.
 
“Udah jangan nangis, udah jadi istri juga. Jadi istri yang baik ya Mbak. Apa kata suami di dengarin, jangan melawan kecuali Faiz memang salah ambil keputusan, dan jangan lupa untuk saling mengingatkan untuk bisa menjadi lebih baik. Mbak juga jangan pendam sendiri kalau ada masalah, ceritain sama Faiz ya, komunikasi itu penting, Mbak.” Mami kembali memberikan wejangan untuk Mbak Raya.
 
Padahal tadi malam aku tahu Mbak Raya tidur di kamar Mami dan Papi, sambil memberikan wejangan untuk menjadi istri yang baik.
 
Aku menghapus air mataku. Kalau sudah momen seperti ini aku bisa menghabiskan banyak tisu. Nonton anime yang judulnya Anohana aja aku menghabiskan satu kotak tisu. Itu anime memang menguras air mata ditiap episodenya.
 
“Ayo keluar, udah ditunggu sama suami.”
 
Aku dan Mami berjalan di sisi Mbak Raya, menuntunnya untuk keluar menuju suaminya.
 
“Kok kamu sih yang nangisnya begitu banget, Dek.” Mbak Raya tertawa pelan sambil menahan air matanya melihatku yang sudah menangis, bukan lagi sekedar terharu.
 
Aku ikut tertawa dengan air mata yang masih mengalir, “Nggak tahu, Mbak. Aku juga bingung kenapa aku bisa nangis kayak begini.”
 
“Malu tuh dilihat Heru, Dek.” Mami mengingatkan.
 
Aku langsung menyapukan pandanganku ke arah tamu-tamu yang menyaksikan prosesi ijab qabul itu dan menemukan Heru yang menatapku lekat. Aku memberikan senyuman tipis ke arah sambil kembali menghapus air mataku.
 
Aku memilih menghampiri Heru, setelah membantu menuntun Mbak Raya ke tempat Mas Faiz duduk.
 
“Hai,” sapaku, “Katanya kamu nggak bisa datang.” Suaraku terdengar serak karena tangisanku.
 
“Kenapa jadi kamu yang ngerebut adegan tangis-tangisannya Mbak Raya, Terena?”
 
Aku terkekeh pelan, “Nggak tahu, air matanya nggak mau berhenti, Heru.” Dan aku kembali menunduk mencoba untuk menyembunyikan tangisku.
 
Dia menepuk pelan punggungku, “Udah, make up kamu udah luntur tuh.”
 
Aku mencoba untuk menenangkan hatiku sambil menghapus sisa air mataku, dan langsung tersenyum menatap Heru, “Kamu kapan baliknya?”
 
“Tengah malam tadi, aku pikir nggak bisa datang, ternyata seminarnya bisa cepat selesai, jadi aku langsung ambil penerbangan malam.”
 
Aku menatapnya lembut, rasanya lidahku sudah gatal untuk meminta keputusannya tentang bagaimana hubungan kami saat ini, apakah sudah berubah atau masih jalan di tempat. Tapi sebenarnya, aku yang belum siap untuk menerima jawabannya jika itu berarti sebuah penolakan. Karena itu artinya aku harus memulai dari awal lagi, kembali menyatukan kepingan hatiku, dan memaksanya untuk mengembalikan sebagian besar kepingan yang sudah dibawanya.
 
Aku tersenyum ke arahnya dan mengalihkan pandanganku ke arah Mbak Raya dan Mas Faiz yang sedang menandatangani buku nikahnya. Kapan aku bisa punya buku spesial itu.
 
Selesai semua prosesi yang menggunakan adat jawa, Mbak Raya dan Mas Faiz sedang mengganti pakaiannya untuk acara resepsi yang akan dimulai jam sebelas, dan itu 30 menit lagi. Resepsinya berada di halaman depan sampai halaman samping rumah kami.
 
Aku membawa Heru duduk di ayunan di halaman belakang. Mencoba menyingkir sejenak dari keramaian. Aku ingin menikmati duduk berdua dengannya. Lagi pula aku sebenarnya kabur karena mendapatkan tatapan penasaran dari semua Bude dan Tante yang datang, aku kan belum punya jawaban kalau ditanyain status, jadi mending aku mengambil langkah aman dengan menghilang ke belakang.
 
Aku asyik menikmati es krim coklat yang kuambil dari meja hidangan dessert sebelum kemari, dan Heru hanya menggeleng ketika aku menawarkan padanya.
 
“Terena…” panggilnya pelan.
 
“Iya, Heru?”
 
“Aku lapar.” Bisiknya.
 
Aku tertawa pelan menyadari kemungkinan dia tidak sempat sarapan karena buru-buru kemari. “Maaf, aku lupa nawarin kamu. Rendang gimana?”
 
Dia mengangguk antusias, aku pikir dia benar-benar lapar, aku langsung menyodorkan es krimku untuk dipegangnya, “Biar aku yang ambilin kamu tunggu di sini aja.” Aku langsung bergegas turun dari ayunan.
 
“Dek, itu Heru nggak kamu kasih makan?” tanya Mami saat bertemu denganku di dapur.
 
“Iya, Mi. Ini mau aku ambilin makanannya.”
 
Mami menatapku menyelidik. “Kalian kenapa berdua di belakang. Nggak macem-macem, kan?!”
 
“Ih, Mami. Nggak lah.” Protesku langsung, “Lagian semua Bude sama Tante natapnya kepo banget, aku nggak mau buat dia ngerasa nggak nyaman makanya aku bawa ke halaman belakang, Mi.” Aku menjelaskan.
 
Mami akhirnya mengangguk, “Lagian semua Bude sama Tante kamu juga tahu kok kalau dokter kayak Heru begitu perlu mikir lama untuk memutuskan buat nikah sama orang kayak kamu, Dek.”
 
Aku mencoba melapangkan hatiku, kata-kata kejam Mami sudah kembali ternyata. “Mami ini nggak pernah dukung anaknya deh, dijelekin mulu.”
 
“Mami kan mencoba jujur dan menerima kenyataan, Dek.” Kilah Mami, “Walaupun Mami udah suka banget sama Heru, tapi kalau dia nggak mau sama kamu, yah terpaksa Mami harus pakai cara sesat dengan pelet dia.”
 
Seperti kata orang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Aku nggak tahu apa Mas Raka yang mencoba untuk mendoktrin pikiran Mami tentang dunia perpeletan, atau malah Mami sudah lebih dulu terjun dalam dunia itu.
 
“Kalau Mami sepengin itu untuk dapat menantu dokter, ntar aku cariin dokter-dokter yang lain. Lagian dokter nggak cuma Heru doang.”
 
“Tapi kan Mami maunya Heru, Dek. Lagian emang dokter-dokter yang lain mau sama kamu, orang Heru aja nggak mau sama kamu, Dek.” Aku cuma bisa mengelus dada mendengar ucapan Mami yang bikin nyesek itu, “Atau kamu jebak gitu kayak disinetron-sinetron itu loh, Dek.”
 
Kali ini aku mendesah keras, “Mami kebanyakan nonton sinetron nih! Pikirannya jadi ngawur banget! Kebanyak gaul juga sama Mas Raka yang otaknya rada error,” keluhku merasa sangat frustasi, “Udah ah, aku mau ambilin makanan Heru dulu.”
 
“Perlu pelet nggak, Dek?”
 
Aku langsung melirik Mami dongkol.
 
“Pelet ikan maksudnya, Dek. Kamu ini sensitif banget.” Mami tertawa puas melihatku yang kesal dan dengan langkah riangnya meninggalkanku yang sudah dongkol banget. Mencoba melepaskan rasa kesalku menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan perlahan, aku kembali melangkah menuju tempat hidangan tersaji.
 
Ditanganku sudah tersedia sepiring nasi dengan rendang dan satu gelas air mineral, yang saat mengambilnya itu perlu perjuangan banget karena ditanyain siapa Heru sama Bude dan Tanteku yang kepo abis kalau lagi ada acara besar begini.
 
Tahun kemarin pas nikahan Mas Raka aku ditanyain soal kerjaan, kenapa masih nganggur dan mau jadi apa di masa depan, sampai pertanyaan-pertanyaan itu berubah jadi ceramah panjang lebar. Dan sekarang ketika aku sudah dapat pekerjaan, pertanyaan mereka masih seputar hidupku, cuma gantinya ditanya kapan nikah, itu laki-laki siapa, kerjaannya apa, anaknya siapa, dan lain-lain. Yang semua hanya aku jawaban dengan senyuman lebar polosku. Aku membiarkan Mami yang menjelaskannya, dan dengan langkah cepat aku langsung berlari ke belakang untuk kembali menghilang.
 
Aku melihat Heru yang menikmati es krim coklatku, sepertinya aku terlalu lama menghilang sampai membuatnya tidak tahan dengan godaan es krimku.
 
Aku menyodorkan makananya ke arahnya dan meletakkan gelas di meja yang berada di samping ayunan. Dan dia mengembalikan es krimku yang tersisa setengah.
 
“Maaf aku makan es krimnya, ternyata enak.”
 
Aku hanya mengangguk dan kembali menikmati es krim coklatku.
 
“Kamu nggak makan?”
 
“Aku masih kenyang.”
 
“Mau aku suapin?” Tawarnya sambil menyodorkan seendok nasi dan potongan rendang ke arahku.
 
Aku menggeleng pelan, dan langsung mencoba menenangkan jantungku yang berdetak kegirangan saat ini.
 
Kami saling diam dengan menikmati masing-masing makanan kami, sebuah diam yang terasa nyaman, tanpa ada rasa canggung seperti di awal pertemuan kami dulu.

*****

bersambung...

Sagaara24_

TerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang