ENAM

2 1 0
                                    

Happy reading...

*****

"Terena... bangun, kita sudah sampai..." Aku mencoba untuk membuka mataku, saat merasakan tangan Heru mengguncang bahuku. Aku masih mengantuk dan aku butuh tidur. Rasanya hari ini benar-benar melelahkan.

Aku melihatnya yang tersenyum penuh perhatian ke arahku. "Sudah sampai." Bisiknya lagi.

Pulang dari pemancingan aku satu mobil dengan Heru. Iya, kali ini berdua doang. Papi sama Mami naik mobil Mas Raka yang mau menjemput Mbak Rika, sekalian Mami Papi mau ikut ke rumah besan karena sudah lama tidak bersilahturahmi. Mungkin Mami yang maksa, karena aku tahu Mami mencoba memberi sedikit ruang untuk aku dan Heru berdua, setelah kencan kami dibajak ramai-ramai.

Diberi kesempatan itu aku malah menyia-nyiakannya dengan tertidur sepanjang perjalanan. Sungguh sempurna hariku ini, berantakannya tidak tanggung-tanggung.

"Maaf ya, aku ketiduran."

"Kalau ngantuk ya tidur, Terena. Masa aku maksa kamu buat terus melek. Pasti capek banget ya hari ini. Besok libur istirahat gih, mumpung minggu. Senin kan harus segar lagi buat ngajar." Dia mengingatkanku.

Aku tersenyum senang dengan perhatiannya. Mau dong tiap hari diperhatikan kayak gini. Bahkan ini lidah rasanya udah mau resek buat ngeluarin kata-kata 'nikah yuk?!'

"Aku turun ya, kamu hati-hati di jalan."

"Tunggu, ikannya kelupaan." Dia mengingatkanku dengan ikan hasil tanggapannya, dia sukses mendapat dua ekor ikan, Papi dua, Mas Raka dan Om Hendrawan masing-masing tiga. Hasil dari kesabaran selama hampir dua jam. Ikan yang lain udah pada di masak di sana, cuma ikan hasil mancing Heru yang nggak dimasak, karena aku langsung mengklaimnya, untuk membuat bekal makan siang Heru besok. Aku libur jadi aku bisa mengantar makan siang untuknya.

"Kalau kamu masih capek, istirahat aja di rumah, nggak usah nganterin bekal buat aku besok ya."

"Aku emang suka masak kok." Jelasku, "Kamu, hati-hati di jalan ya, Heru..."

Deg!
Aku menatap Heru bingung, saat melihat tangannya yang memegang lenganku, mencegah gerakan tanganku yang akan membuka pintu mobil.

"Ini pertama kalinya kamu manggil nama aku."

Oh.
Aku baru menyadarinya.

"Aku suka dengar kamu manggil nama aku."

Jantung... jantung... jantung... detaknya kok kencang banget sih sampai ngebuat aku mendadak grogi begini, udah kayak anak ABG di drama-drama sekolah yang aku tonton.

"Kalau gitu nanti aku bakalan lebih sering sebut nama kamu.... Heru."

Aduh itu senyum kok manis banget sih, ini nyatakan? Kalo mimpi tolong jangan dibangunin ya sampai happy ending ntar.

Tangannya terangkat dan mengacak rambut dengan gemas.

"Oke, sekarang aku turun ya."

Dia mengangguk dan aku melambai ke arahnya sampai mobil itu menghilang dari pandanganku.

Aku melangkah dengan riang memasuki perkarangan rumah yang ditatap bingung oleh Mbak Raya yang hari itu menikmati waktu liburnya di rumah, karena tadi tidak mau ikut saat diajak Mami untuk ikut.

"Semoga jodoh ya, Dek. Nggak sampai hati Mbak liat kamu kalau harus patah hati."

Bruk! Aku mendadak merasa terjatuh dari kesenanganku beberapa menit yang lalu, karena mendengar ucapan Mbak Raya. Aku tahu sebenarnya nggak ada maksud apapun dari ucapan Mbak Raya itu, dia hanya mencoba mengingatkanku untuk tetap berpijak pada bumi, jangan terus-terusan main di awan. Tapi apalah dayaku, hati aku suka lemah sama sedikit aja perhatian dari Heru.

******

Hubunganku dengan Heru masih jalan di tempat. Dia sibuk dengan jadwal rumah sakit dan beberapa pertemuan dokter yang mengharusnya dinas keluar kota. Dan aku sibuk dengan jadwal akhir semester murid-murid menggemaskanku itu, aku harus menyiapkan nilai untuk mengisi raport mereka, belum lagi membantu menenangkan kecemasan Mbak Raya yang tiga hari lagi akan melepas status single-nya.

Meli juga belum mulai belajar membuat lumpia denganku, karena dia masih menikmati masa-masa meet up dengan teman-teman sekolahnya dulu, dan dia juga mengerti dengan kesibukanku, jadi memutuskan untuk menunda belajarnya sampai pernikahan Mbak Raya selesai.

Heru masih di luar kota, dan dia sudah meminta maaf padaku karena sepertinya tidak akan bisa memenuhi undanganku untuk datang ke pernikahan Mbak Raya. Kami memang masih tetap berkomunikasi, tapi karena kesibukannya, aku mengerti bahwa dia mulai mengurangi intensitas komunikasi kami. Dan aku juga tidak ingin mengganggunya dengan pesan singkatku yang tidak penting. Terlebih mengingat kami masih belum dalam tahap untuk saling mencampuri urusan masing-masing. Dia memberikanku privasi dan aku juga memberikannya privasi. Aku bahkan tidak tahu, apa dia tetap berkenalan dengan perempuan lain selain aku diluar sana. Karena aku tidak tahu batasan untuk jenis hubungan kami. Mungkin hubungan ini bisa dikatakan sebagai teman tapi sedikit lebih. Huh, aku bingung.

Aku mencoba untuk mengurangi pikiran negatifku dan mempercayai semuanya pada takdir saja. Takdir tidak mungkin salah dalam memasangkanku dengan jodohku. Kalau aku pikirkan, bisa-bisa aku pusing sendiri, tanpa bisa menyelesaikan apapun.

"Adek..." Mbak Raya masuk ke kamarku, dia sudah mengambil cuti dan sekarang dalam masa pingitan.

"Kenapa lagi Mbak?" tanyaku karena sepuluh menit yang lalu Mbak Raya juga muncul ke kamarku dan merengek sedih karena merindukan Mas Faiz.

"Kayaknya Mbak gendutan deh, Dek. Gimana kalau bajunya nggak muat lagi?"

Baju kebaya untuk ijab qabul Mbak Raya yang dicobanya dua minggu lalu ternyata kekecilan, dan dia menyalahkanku karena sering membuat cemilan yang membuat dia jadi ikut makan.

"Pasti muat kok, lagian Mbak kan udah diet, aku juga udah nggak buat cemilan sore lagi." Iya, aku memang nggak masak lagi, demi kelancaran pernikahan Mbakku tercinta ini.

Mbak Raya mengambil tempat untuk duduk di atas tempat tidurku, dan aku langsung menggeser kursiku untuk menghadap ke arahnya, siap menjadi pendengar yang baik, karena nanti setelah menikah aku pasti bakal kangen sama Mbak Raya yang harus pindah ke rumah barunya.

"Kamar kamu masih sama aja sejak dari SMP dulu, dicat ulang juga warnanya putih mulu." Aku memperhatikan Mbak Raya mengamati kamarku.

Aku memang menyukai warna putih karena membuat suasana kamarku menjadi lebih terang dan itu membuatnya merasa nyaman dan aman. Aku tidur tidak pernah mematikan lampu, aku takut dengan kegelapan, kecuali mati lampu, karena mau nggak mau kan aku harus terima, itu juga pasti nggak lama, karena selanjutnya Papi bakalan ke gudang dan menghidupkan mesin genset yang ribut itu.

"Kamu sama Heru gimana, Dek?"

Entah kenapa aku lelah mendengar pertanyaan itu, semua orang seperti kompakan untuk menanyakan status hubungan kami.

"Yah... begitu-begitu aja sih, Mbak." Dari tatapan Mbak Raya aku tahu dia mendengar nada sedih yang tersirat dari ucapanku itu.

"Kok dia belum ngasih kepastian juga, Dek? Kan kalian udah sebulan lebih loh saling kenalnya."

Aku hanya mengangkat bahuku pasrah, "Kita juga udah jarang komunikasi, dia lagi sibuk dengan kerjaannya dan aku juga lagi sibuk dengan kegiatan aku. Beberapa hari ini sih, aku ngerasa kita ada jarak."

"Kenapa nggak coba kamu hubungi dia."

"Takut ganggu, Mbak. Lagian kita masih dalam tahap saling mengenal, masa aku kepoin dia, ntar yang ada dia malah ngerasa risih sama aku." Jelasku, yang menjadi sumber kegalauanku selama ini.

"Kamu kan tinggal minta kepastian dia aja, Dek."

Aku menghela napas pelan, "Aku sih ikut dia aja, Mbak. Kalau dia mau lanjut, ayo. Kalau dia bilang berhenti, oke. Selama kenal sama dia juga aku udah nunjukin gimana sifat aku, paling cuma perasaan aku aja yang masih sedikit tersamarkan."

"Tapi Mbak bisa lihat jelas loh, kalau kamu udah iya banget sama dia."

Aku tertawa pelan, "Keliatan banget ya, Mbak?"

Mbak Raya mengangguk cepat, "Kalau pun ada yang nggak sadar tentang perasaan kamu, ya cuma Heru. Bahkan aku yakin kok, keluarga dia juga udah bisa lihat kalau kamu tertarik sama Heru. Kalau itu Mami yang cerita, katanya Tante Lusi sama Om Hendrawan udah setuju kalau kalian mau nikah tahun depan."

Aku menatap Mbak Raya tidak percaya. "Semoga jodoh ya, Dek."

Aku mengangguk pelan, "Kalau nggak jodoh juga kan nanti jodoh aku muncul sendiri, Mbak," ucapku pelan, "Lagian aku serahin sama Allah aja, Mbak gimana baiknya. Nggak bisa dipungkiri aku memang berharap itu dia, tapi kalau kata Allah bukan dia, kan aku nggak bisa ngapa-ngapain. Paling cuma bisa berdoa supaya sakit hatinya yang nyesek banget."

Mbak Raya menatapku lembut, "Aku nggak sadar kalau kamu ternyata udah gede, Dek."

Aku tertawa, kenapa kami jadi mendadak mellow seperti ini. "Yah masa aku kecil terus sih, Mbak. Mbak aja udah mau nikah."

"Jangan ngomongin nikah dulu, Dek. Mbak masih galau masalah kebayanya, kalau masih kekecilan kayaknya Mbak harus beli kebaya jadi."

"Pasti muatlah Mbak, Mbak dietnya aja udah ketat banget, ngalahin aku yang dari dulu pengin diet tapi nggak pernah selesai sampai ada hasil, hari ketiga aja aku udah nyerah dan makan sampai kalap."

" Itu cuma kurang motivasi aja, tapi kayaknya kamu udah mulai kurusan loh, Dek."

"Tapi aku masih ngerasa dipenuhi lemak, Mbak."

"Ikut diet kayak Mbak aja, Dek."

Aku menggeleng cepat, "Nggak deh Mbak. Diet nggak mempan sama aku, cuma kalau lagi banyak pikiran aku baru bisa kurus."

"Lah, kalau gitu kan lebih gampang lagi, Dek. Kamu galauin aja dokter ganteng kamu itu."

"Ih, Mbak." Protesku.

Galauin Heru sama aja dengan makan hati, aku lebih suka makan daging dari pada makan hati.


******

bersambung...

Sagaara24_

TerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang