SEMBILAN

3 0 0
                                    

Happy reading...

*****

Meli menyambut kedatanganku dengan antusias, dan sebisa mungkin aku mengabaikan hatiku yang terluka.
 
Suasana rumah sedang sepi karena orang tua mereka sedang berada di luar kota karena ada urusan pekerjaan kata meli saat aku bertanya kenapa tidak melihat Tante Lusi. Om Aryo merupakan mandor di beberapa proyek pembangunan, dan saat ini sedang bekerja untuk pembangunan perumahan di Jambi, sementara Tante Lusi memiliki toko bahan kue yang ternyata sering aku datangi dan Mami tidak pernah menyebut apapun tentang mengenal toko bahan kue Basri.

Teman...
satu kata itu terus muncul di kepalaku dan sangat mengganggu sekali.
 
Aku menghela napas yang entah kenapa terasa berat sekali dan mencoba untuk kembali memfokuskan pikiranku untuk mengajarkan Meli tahapan untuk membuat isian lumpia step by step, lalu bagaimana cara menggulung kulit lumpianya. Aku memberikan contoh tiga kali, selebihnya Meli yang meminta untuk aku duduk santai dan membiarkan dia menyelesaikannya.
 
Aku duduk di ruang makan yang menyatu dengan dapur, dan menatap Meli yang terlihat puas dengan hasilnya buatannya, dan hal itu membuat senyumku muncul, entah kenapa aku suka membagikan ilmu yang kumiliki dengan orang lain, apa lagi bisa bermanfaat untuk orang lain.
 
Selesai menggoreng Meli dengan senyuman lebarnya yang manis menyajikan hasil lumpianya dengan bangga di depanku, lalu ikut duduk di sampingku.
 
Tanganku masih ingin meraih satu lumpia namun terhenti ketika mendengar pertanyaan Meli dengan suara lembutnya, “Mbak Tere kenapa?”
 
Aku tidak tahu kenapa air mataku bisa kembali mengalir cuma karena mendengar pertanyaan hati-hati dari Meli yang takut menyinggungku, namun dengan jelas terdengar dia juga khawatir.
 
Dia mendekatkan kursi dan langsung memelukku erat, “Ada masalah ya sama Mas Heru? Cerita aja Mbak, biar aku bilang sama Mama biar Mas Heru dimarahi.”
 
Aku menggeleng cepat, dia tidak salah. Aku yang salah karena terlalu berharap padanya, sementara dia memang tidak pernah menjanjikan apapun padaku.
 
“Terus kenapa Mbak nggak semangat dan nangis begini kalau bukan karena Mas Heru?”
 
Aku pelepaskan pelukan Meli, mencoba menghapus air mataku yang masih mengalir tanpa ada tanda-tanda akan berhenti, dan tertawa merasa bodoh dengan tingkahku saat ini. bagaimana aku bisa menangis di depan orang yang baru beberapa kali aku temui. Tidak seharusnya Meli melihat sisi lemahku seperti ini.
 
“Maaf ya.”
 
“Kenapa malah minta maaf. Nangis kan salah satu luapan perasaan. Mbak mau cerita sama aku?”
 
Aku diam, mencoba untuk menimbang apakah aku harus cerita atau tidak. Sebagian diriku merasa ini masalahku dengan Heru, keluarga kami memang sudah bertemu saat di Pemancingan waktu itu tapi kami masih belum dalam tahapan serius. Tapi sebagian lagi diriku merasa bahwa aku harusn bertanya pada Meli tentang perempuan itu.
 
Dengan menghela napas pelan aku menatap Meli serius, aku ingin tahu tentang Heru dan Perempuan itu, mungkin saja Meli tahu. “Kamu…. Kenal sama teman Mas Heru yang namanya Rahmi?”
 
Aku bisa melihat perubahan raut wajah Meli, “Mbak Rahmi?!” Ada nada tidak suka dibalik suaranya. “Dia mantannya Mas Heru… mungkin sekitar lima tahun yang lalu, dan ninggalin Mas Heru karena dia dijodohin. Padahal Mas Heru cinta banget sama dia, tapi itu dulu kok Mbak, sekarang kan udah ada Mbak Tere,” jelasnya, “Eh, tapi kok Mbak tau tentang Rahmi? Dia nggak mencoba untuk ngerebut Mas Heru dari Mbak, kan?!” Meli terlihat panik sekaligus kesal.
 
Aku mengangkat bahu sambil menggeleng, “Tadi ketemu di sekolah. Mbak lagi nemenin murid PAUD yang belum dijemput dan saat Mas kamu datang, Mbak minta dia buat ikut nungguin. Dan ternyata mamanya anak itu Rahmi.” Aku bisa melihat ekspresi terkejut Meli. “Sebelum Rahmi datang, anaknya Bila cerita yang intinya mamanya single parent, karena papanya pergi.”
 
“Bagus deh, pasti dia nyesal udah ngelepasin Mas Heru. Itu karma karena dia menyia-nyiakan Mas Heru, akhirnya dia juga disia-siain.”
 
“Dan dia masih cinta sama Mas kamu, Meli.”
 
“Aku nggak peduli, aku nggak suka sama dia! Sejak dia ninggalin Mas Heru begitu aja. Aku, Mama sama Papa malah mendukung Mbak sama Mas Heru!” jelasnya dengan berapi-api.
 
Aku tersenyum tipis menatap Meli, “Tapi kan yang jalanin Mbak sama Mas kamu, Meli. Dan dia cuma anggap Mbak sebagai teman aja waktu dia ngenalin Mbak sama Rahmi.”
 
“Kurang ajar banget sih, Mas Heru. Emang dia pikir tindakan dia selama ini yang perhatian, ngantar jemput Mbak, semua SMS dan nelpon itu apa artinya sih kalau bukan in relationship!” Meli berdiri dari duduknya, terlihat kesal, “Tenang Mbak, aku bakalan menyadarkan Mas Heru, cuma karena ketemu perempuan itu dia langsung goyah. Mas Heru itu kalau nggak disadarkan bisa nggak sadar juga. Ditinggal baru, sibuk nyariin.”
 
Aku tertawa pelan melihat bagaimana pedulinya Meli padaku, sekaligus bersyukur ada yang mendukungku untuk bisa bersama Heru. “Biar dia yang sadar sendiri Meli. Biar dia meyakini sendiri gimana perasaan dia selama ini sama Mbak. Kalau memang nggak ada cinta, mungkin dia bukan jodoh, Mbak.”
 
Meli kembali duduk dan menatapku dengan sedih, “Mbak kok bisa baik banget gini sih, kalau aja aku cowok udah aku bawa Mbak ke KUA sekarang juga.”
 
“Mbak nggak mau ambil pusing. Walaupun sebenarnya ini nyesek juga.” Aku mengakui sambil memaksakan senyum yang aku yakin terlihat menyedihkan.
 
“Aku benaran sayang sama Mbak, Mama sama Papa juga. Tapi kalau menurut Mbak, Mas Heru nggak baik buat Mbak, aku setuju kalau Mbak ngelepas Mas Heru. Mbak kan juga perlu bahagia. Tinggalin aja laki-laki nggak ada perasaannya kayak Mas Heru itu, di pikir hati perempuan cuma buat main-main aja apa. Udahlah Mbak putusin aja dia sekarang, nanti aku cariin laki-laki yang lebih keren dan hebat dari Masku yang bego itu, sekalian kita pamerin kalau Mbak bahagia.”
 
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Meli, menceritakannya pada Meli membuatku sedikit merasa lebih baik. Setidaknya dengan menceritakan pada Meli aku menjadi tahu tentang siapa itu Rahmi. Walaupun aku merasa tidak ada manfaatnya juga untuk mengetahui tentang perempuan itu. Tapi aku perlu tahu siapa sainganku. Huh, apa ini bisa disebut persaingan. Bagaimana jika mereka berdua memang masih saling menyimpan rasa? Apa itu artinya aku yang menjadi orang ketiga?

Aku menggeleng kepala cepat mencoba untuk mengenyahkan pikiran itu. Apapun yang  terjadi, aku akan baik-baik saja. Apapun itu hasilnya, It's okay.
 
menoleh kearah jam yang sudah menunjukkan pukul tiga sore aku memutuskan untuk berpamitan, “Mbak balik dulu ya, Mel.”
 
Aku merasakan getaran ponsel Meli diatas meja dan dia langsung meraih ponselnya, diam untuk beberapa detik membaca pesan yang mungkin masuk, “Aku tahu Mbak lagi nggak mau ketemu Mas Heru, tapi mau kan aku anterin, kita pake supir aja, aku juga nggak bisa nyetir soalnya.”
 
Aku tersenyum, sepertinya Heru mengirimkan pesan pada Meli, aku mengangguk setuju dengan tawarannya.

 
*****

bersambung...

Sagaara24_
 

TerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang