Happy reading....
●●●●
Sepuluh hari sudah sejak terakhir kali pertemuanku dengan Heru, yang sama sekali tidak ada kabar lagi darinya. Aku bukannya tidak ingin memulai menghubunginya, namun dari pengalamanku yang dulu-dulu dan juga dari teman-temanku. Aku tidak boleh terlihat sangat tertarik padanya, karena itu akan membuat laki-laki langsung bosan karena tidak ada tantangan dalam menaklukan calon pacarnya. Dan aku melakukan hal itu, walaupun tanganku sudah gatal ingin menghubunginya atau sekedar mengirimkan pesan menanyakan kabarnya.
Hingga pada akhirnya tanganku hanya terkulai lemas setiap kali memegang ponsel. Aku tahu tidak ada harapan untuk hubungan ini. Mungkin Heru menyadari bahwa masih banyak perempuan lain yang lebih dari diriku dan saat ini sedang menyesali kenapa dia sempat memberikan janji-janji manis padaku tentang pergi memancing bersama.
Huh… aku mendesah berat sambil berbaring menatap ke arah langit-langit kamarku. Aku benci dengan rasa sesak ini, rasa sesak yang sudah lama sekali tidak aku rasakan. Ini adalah alasan kenapa aku tidak ingin berdekatan dengan laki-laki. Dan kelemahan terbesarku adalah aku terlalu mudah untuk tertarik pada seorang laki-laki, aku terlalu mudah untuk menyukai dan semudah itu juga untuk bisa membuat hatiku terluka. Aku sadar, bahwa di sini akulah yang bersikap bodoh, terlalu mudah untuk melibatkan hati. Makanya aku selalu merasa sakit hati dan kecewa pada akhirnya. Karena faktanya, semua laki-laki pada dasarnya memang memberikan janji-janji manis dan kata-kata manis untuk memikat dan setelahnya mereka bahkan lupa dengan apa yang mereka ucapkan. Makanya lelaki itu yang dipegang adalah kata-katanya.
Bodoh!
Aku hanya bisa mengumpati diriku sendiri yang terlalu bodoh. Karena terlalu memikirkan Heru aku sampai tidak pernah lagi menonton anime kesukaanku. Hal baiknya saat ini aku disibukkan dengan mengirim lamaran-lamaran kerja.
Ada satu harapan untukku bisa bekerja, itu lowongan dari teman Kakak Kalista yang memiliki sebuah yayasan TK dan membutuhkan seorang guru, karena ada guru yang berhenti bekerja mendadak, mantan Ibu guru itu tidak bisa bekerja karena dalam kondisi hamil tujuh bulan yang seminggu lalu harus membuatnya masuk rumah sakit dan membuatnya terpaksa harus istirahat total dan hal itu langsung membuat suaminya melayangkan perintah untuk tidak bekerja lagi. Aku sudah mengajukan lamaranku dua hari yang lalu, dan mereka memintaku untuk menunggu telepon dari mereka. Katanya paling lambat tiga hari setelah lamaran diantarkan, dan ini hari terakhirku untuk menungguku.
Aku kesepian di rumah karena Mami pergi bersama Papi mengantar barang pesanan karena sekalian ingin bertemu temannya yang menjadi mandor untuk proyek pembangunan sekolah. Sementara Mbak Raya sedang sibuk dengan calon suaminya untuk mengecek baju pernikahan sekaligus undangan. Karena kakakku itu memang akan menikah bulan depan. Dan Mas Raka sudah lebih dulu menikah dan sudah hampir satu tahun, dan saat ini Mbak Rika sedang hamil dengan usia kandungannya memasuki bulan ketujuh dan diprediksi akan melahirkan awal tahun depan, dan ini adalah anak pertama mereka. Itulah alasan kenapa Mami, Mas Raka dan Mbak Raya mencemaskan kehidupan cintaku, karena mereka sudah pada menemukan masa depan, sedangkan aku masih diam di tempat saja.
Tok… tok... tok…
Aku diam dan berpura-pura untuk tidur, aku sedang malas berhubungan dengan siapapun, karena aku sedang mencoba untuk menemukan kepingan-kepingan hatiku yang sepertinya sudah berserakan dan tidak tahu jatuh dimana saja. Bahkan mungkin sudah diambil oleh laki-laki bernama Heru Langit Basri itu! Sial!
Kembali ketukan itu kudengar, namun kembali aku abaikan. Paling juga Bi Ipah mau nyuruh aku makan siang, karena hari ini aku off mengunjungi dapur. Sudah aku katakan aku sedang menata kembali kepingan hatiku, yang membuatku malas untuk melakukan apapun.
“Mbak Tere, ada tamu nyari Mbak Tere.” Panggil Bibi.
Tamu? Aku tidak pernah janjian untuk bertemu dengan temanku siang ini. Lagi pula jika itu temanku, Bi Ipah pasti tidak akan mengatakan kata ‘tamu’ karena beliau mengenal semua teman-teman dekatku.
“Itu ada Mas Heru, Mbak.”
Demi mendengar nama itu aku langsung bangkit dari tempat tidur dengan tergesa-gesa, sampai kakiku terlilit selimut yang membuatku terjatuh dengan bunyi yang cukup gaduh.
“Mbak Tere?! Mbak Tere nggak apa-apa?!” Aku bisa mendengar bahwa Bi Ipah cemas.
“Nggak apa-apa, Bi. Bilang aja sama tamunya buat nunggu, bentar lagi aku turun.”
“Iya, Mbak.”
Aku meringis memegang lututku yang sakit, karena jatuhku dalam posisi merangkak. Aku mencoba untuk berdiri dan menahan rasa sakit di lututku, menatap cermin yang memantulkan sosokku yang terlihat mengenaskan. Aku meringis, kali ini bukan karena sakit dikedua lututku tapi karena melihat betapa mengerikannya aku. Rambutku terlihat acak-acakan, belum lagi mukaku yang kusam banget. Dengan mengabaikan rasa sakit di lututku, aku bergegas menuju kamar mandi dan mencuci wajahku, mengganti pakaianku dan merapikan rambutku dengan ikatan tinggi ekor kuda. Tidak lupa dengan sedikit memoleskan bedak dan lipstik mate pink favoritku.
Oke, aku siap menatap dunia!
Aku melangkah dengan senyuman dan percaya diri keluar dari kamar, sebelum pikiran buruk merasuk dan mengingatkanku bagaimana jika dia kemari sebagai formalitas untuk menolak perjodohan itu?
Aku menggeleng cepat, membuat jauh pikiran itu dan langsung menghampiri Heru yang duduk di ruang tamu dengan segelas teh yang asapnya masih mengepul di depannya.
Dia mengangkat wajahnya dan tersenyum menatapku. “Hai…”
“Hai…” Aku membalasnya dengan canggung dan mengambil tempat duduk di sofa di depannya.
“Kamu apa kabar?”
Aku diam, merasa aneh dengan pertanyaannya. Kalau dia ingin tahu tentang kabarku, aku pikir dia bisa menggunakan ponselnya untuk menghubungi, setidaknya seminggu yang lalu dan ini sudah sepuluh hari.
“Baik, kamu gimana?” tanyaku balik, sebagai sopan santun.
Dia mengangguk. “Baik. Orang rumah pada kemana?”
“Mami sama Papi ke tempat temennya, Mbak Raya lagi ngecek baju sama undangan nikah sama Mas Faiz.”
“Kakak kamu mau menikah?”
“Iya, bulan depan,” jawabku pelan, “Kamu ngapain kemari?” Oke, mungkin itu terdengar kasar, karena kau memang tidak bisa menyimpan lebih lama lagi pertanyaan itu. “Kamu mau nolak perjodohan kita?”
Dia diam menatapku lama dan dalam, membuatku merasa bersalah dengan pertanyaanku sendiri, dan ucapan maaf sudah berada diujung lidahku.
“Kenapa kamu selalu berpikir kalau saya mau menolak perjodohan kita?”
Aku mengedipkan mataku beberapa kali, bingung menjawab pertanyaan itu. Aku belum cukup dekat dengannya untuk bisa menceritakan perasaanku. Mungkin kalau bukan dari pengalaman dulu, aku akan kembali menjadi bodoh dan menjawab pertanyaannya dengan jujur.
“Feeling.” Jawabku akhirnya, mencoba mengambil langkah aman.
“Saya rasa kamu kurang peka sebagai perempuan.”
Aku mendelik tajam kearahnya, tahu apa Anda tentang perempuan, Tuan? Sombong sekali! Dan kata-kata itu hanya berputar di kepalaku.
“Saya kesini mau minta maaf-”
“Tuh, mau nolak kan?” Potongku langsung.
Dia menghela napas, terlihat kesal dan membuatku langsung bungkam.
“Terena Melani Kresna, bisakan biarin saya bicara dulu?”
Aku menunduk malu mendengarnya menegurku dengan menyebut nama lengkapku. “Maaf, silahkan dilanjutkan, Bapak Heru.” Ucapku pelan.
“Saya mau minta maaf karena tidak bisa menghubungi kamu selama sepuluh hari ini. Ada masalah di rumah sakit."

KAMU SEDANG MEMBACA
Terena
RomanceKenalin tokoh cerita kita, Terena Melani Kresna. Anak bontot di keluarga Kresna. Dan anak yang paling dicemaskan masa depannya. Bagaimana tudak, jika Terena diusia 24 dia masih menjadi pengangguran, belum lagi dia tidak memiliki pasangan. Maminya se...