Spin-off chapter 9. Bisa baca ulang kalau lupa biar feel-nya dapet lagi. Enjoy <3
Shani
Sepertinya Gracia sudah muak padaku.
Pada sikapku, maksudnya. Yah, aku tidak heran sih. Jangankan dia, aku pun muak pada diriku sendiri. Pada diriku yang terkadang menjadi begitu jahat pada orang-orang yang sudah begitu baik padaku.
Perasaan ini... sialan.
Andai aku diberi satu permintaan yang pasti dikabulkan, tanpa ragu akan akan meminta kemampuan untuk berkuasa sepenuhnya atas perasaanku. Agar tidak usah jahat begini. Atau tidak perlu seluar biasa itu, cukup enyahkan saja satu perasaan laknat ini dari diriku. Jangan biarkan aku merasakannya lagi.
Terlalu berat. Terlalu tidak bisa kuatur.
Perasaan yang membuatku seperti orang jahat. Mendorong orang yang tak bersalah menjauh dari hidupku, meski kadang hanya sementara.
Ah, sudahlah. Sepanjang apa pun aku becuap, mungkin kalian tak akan mengerti. Atau mungkin kalian sudah menghakimiku sekehendak hati. Terserah. Itu hak kalian.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah hanya aku di dunia ini yang "dikaruniai" perasaan jahanam ini? Well, jika iya, mungkin ini yang lebih cocok dijuluki "one of a kind". Hanya saja versi jahatnya.
Ugh.
"Shani, Gracia, ready ya?"
Aku dan Gracia mengangguk saja. Ya, ya, aku yakin kami sudah memahami benar briefing singkat yang disampaikan Kak Putri, staff yang bertanggung jawab untuk syuting konten kali ini.
"Sesuai briefing aja kan, Kak?"
Aku menahan diri untuk tak mendengus malas mendengar pertanyaan Gracia. Ya jelas seharusnya sesuai briefing, kan? Memangnya dia mau berimprovisasi atau apa? Aneh-aneh saja pertanyaannya itu.
"Iya, pokoknya kalian tinggal jawab pertanyaan yang saya kasih. Spontan aja."
Nyatanya frasa terakhir Kak Putri mengundang semua orang di tempat syuting itu kompak menyahut, "Uhuyyy!"
Aku tertawa mendengar respons kompak itu, tetapi seketika rasa lucu itu pudar, berganti kekesalan saat aku melihat Gracia yang juga tertawa bebas. Entah kenapa semua yang ia lakukan tampaknya salah di mataku. Padahal dia hanya menampilkan senyum manis seperti biasa, lengkap dengan gigi gingsulnya yang biasa membuatku gemas. Dia juga tidak melakukan hal-hal menjengkelkan yang bisa menjadi alasanku begitu sinis padanya.
Percayalah, aku pun tak mengerti mengapa aku dapat berpikir seperti ini. Sejahat ini.
Sepertinya sebentar lagi aku akan gila karena pertentangan pikiranku dengan pikiranku sendiri. Aneh, kan? Memang. Bayangkan pusingnya aku yang bukan hanya sekali-dua kali mengalami kejadian ini.
It sucks.
Setelah memastikan diriku, Gracia, dan semua staff telah siap, kak Putri pun memulai sesi interview ala-ala untuk konten YouTube channel kami—aku dan Gracia. Konsep konten kali ini adalah QnA. Kami hanya perlu menjawab pertanyaan yang diajukan para staff.
"Pertanyaan pertama: kalian kan deket banget nih ya. Apa sih satu hal yang bisa menunjukkan bahwa orang di samping kalian emang sedekat itu sama kalian? Mungkin yang membuat dia beda dari orang lain gitu?"
Pancingan kak Putri membuatku berpikir keras. Mungkin pada situasi biasa, aku dapat dengan lancar jaya menjawab pertanyaan itu. Mudah saja seharusnya. Namun, tidak sekarang, dengan kepalaku yang penuh dengan berbagai hal negatif tentang Gracia. Lebih baik aku dipaksa bungee jumping, melawan rasa takut ketinggianku, daripada harus memikirkan hal baik mengenai perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Language
ChickLitSebuah cerita mengenai dua manusia dewasa yang saling mendukung untuk bertumbuh seiring pertambahan usia. Bertahun-tahun mengeksplor dunia yang sama, mendekam dalam bubble yang sama, dan mendapat banyak tuntutan yang sama mengenai cara menjalani hid...