17

570 77 3
                                    

Aku melangkah tergesa memasuki kamarku, ya setelah meninggalkan Johnny beruntung ada sopir bus yg baik hati dan mau mengantarku pulang.

Aku membanting tubuhku ke ranjang. Kepalaku pusing bukan main. Biasanya ini akan terjadi jika aku telah mengingat hal-hal itu. Rasanya aku mati rasa.

Mataku menangkap sebotol pil yang diberikan Johnny kemarin. Aku segera meraihnya ke tanganku beberapa butir lalu menegaknya. Aku cukup tau berapa dosis yang aku butuhkan.

Aku memejamkan mataku. Kudengar derap langkah seseorang mendekat dan mungkin itu ibuku, tiba2 saja ranjang yang kutiduri bergoyang.

Ibu? Pikirku Sosok yg kukira adalah ibuku bergabung bersamaku.

Aku sedikit terkejut, tangan kekar ini? Johnny? Aku berbalik dan benar saja Johnny ada didepanku saat ini tanpa banyak bicara aku menenggelamkan wajahku di dadanya.

"Maaf," bisiknya seraya mengecup puncak kepalaku.

Aku mendesah pelan mencoba mencari kenyamanan.

Dapat kurasakan ia mendekap tubuhku lebih dalam. Menghirup rambutku dengan hidung mancungnya.

"Aku pusing," ujarku.

"Tapi kau harus makan," bisiknya.

"Kepalaku sakit, John... bisakah nanti?"

"Aku sudah membawakannya."

Hell, kenapa dia tiba2 jadi se-care ini? Tadi dia tidak berusaha mengejarku dan sekarang dia ada dirumahku bahkan sudah membawakanku makanan.

Mataku mengerjap, tubuhku menjauh dari dekapannya. Kulirik sepiring nasi dan segelas susu di atas nampan. Ia tersenyum samar dan meraihnya.

"Ayo makan?!" Ia meraih sesendok nasi dan menyodorkannya ke arahku.

Aku menggeleng. "Aku pusing."

"Justru itu kau harus makan, y/n." Ia terus memaksa hingga pada akhirnya aku membuka mulutku.

Menerima beberapa suap nasi yang ia sodorkan.

Aku mendengus kesal, Johnny masih menatapku dengan tatapan dinginnya. Ia menyodorkan sesendok nasi ke arahku namun aku mengalihkan pandanganku.

"Selera makanku telah hilang."

Dapat kudengar helaan nafasnya, Ia mengusap tanganku.

Meraihnya ke dalam genggamannya.

"Apa kamu masih marah?" tanyanya dengan nada yg sangat lembut.

Tiba2 pipiku memanas. Aku menoleh ke arahnya.

"Apa?"

"Kau masih marah."

"Marah apa?" dengusku.

Ia terkekeh, "Ayo makan lagi."

Aku menggeleng, "Aku sudah kenyang."

"Berapa kali lagi aku harus memaksa? Aaa... ayo makan." Ia menyodorkannya lagi ke arahku.

Aku mendesah dan dengan terpaksa memasukkannya ke dalam mulutku. Dengan berat hati aku mengunyahnya perlahan.

"Bagus." Ia tersenyum puas.

Selesai makan, kami mulai berkemas memasukkan tas dan barang2 kami ke dalam bagasi mobil, Ya ya Johnny mengajakku ke rumah kakaknya katanya ada pesta malam ini dan Mom juga mengizinkanku lagi asal jangan lama2.

Sebenarnya aku tidak ingin ikut tetapi dia sangat memaksa bahkan mengancam hell, dia benar2.

Tampak Joy tengah menunggu di dalam mobil Johnny. Adanya Joy, itu membuatku tak dapat memperbaiki mood.

Gadis itu, dia satu mobil denganku dan Johnny, Dewi batinku menggeram tak terima.

Aku masuk ke dalam mobil ketika Johnny pun telah duduk di kursi kemudi. Sedangkan Joy, ia duduk di kursi belakang.

Aku hanya dapat mengalihkan pandanganku ke luar kaca mobil tanpa angkat bicara selama perjalanan.

Jengah rasanya mendengar ocehan Joy sedari tadi. Dan Johnny, sialnya... selalu menjawabnya.

Aku merogoh iPod dari dalam tasku. Memasang headset dan menyalakan musik dengan volume tinggi. Berharap pendengaranku dapat teralihkan. Hingga musik berdentum itu membuatku terlelap.

Aku mendesah pelan ketika merasakan tepukan di pipiku, Mataku mengerjap beberapa kali dan akhirnya aku dapat memperjelas penglihatanku.

Kuraba kepalaku yang tadinya terpasang headset. Kini tak ada apapun yang menempel di kepalaku.

"Aku menyimpannya," ujar Johnny.

Aku hanya menguap, "Kenapa membangunkanku?"

"Lihatlah pemandangannya. Di sini cukup bagus, kau pasti suka." Ia mengulurkan tangannya.

Aku menyimpan tanganku di tangannya. Ia membantuku keluar dari mobilnya.

Mataku membelalak dengan sempurna ketika menangkap pemandangan yang begitu indah. Semilir angin berhembus menerpa wajahku, Aku memeluk tubuhku sendiri merasa kedinginan.

Tiba2 kurasakan jaket kulit yang Johnny kenakan membungkus tubuhku, Aku menoleh ke arahnya.

Ia tampak tengah tersenyum samar. Tangannya terulur menyelipkan beberapa anak rambut yang menutupi wajahku.

"Udaranya cukup dingin."

"Ya."

Kurasakan kini tangannya melingkar di perutku.

Ia memelukku dari belakang, Tubuhku awalnya menegang namun pada akhirnya aku meremas kedua tangannya dengan tanganku. Ia menyimpan dagunya di bahuku.

Kupu2 di perutku rasanya berterbangan, Hatiku menghangat dengan perlakuannya. Pipiku terasa memanas ketika ia mengecupnya sekilas.

Sial... aku tak pernah mendapat perhatian seperti ini sebelumnya, Aku bagaikan benar2 miliknya. Ia mencintaiku tapi aku tak tau bagaimana dengan perasaanku.

Johnny tak mengizinkanku untuk mencintainya. Tapi bagaimana jika aku mencintainya, nanti?

Aku semakin meremas jemarinya. Angin berhembus cukup kencang membuatku benar2 kedinginan.

"Ke mana Joy?" Tanyaku penasaran.

"Dia telah pergi lebih awal, Mungkin telah sampai." Ia menjeda ucapannya sejenak,

"Tadi dia dijemput kakakku, Joy tau sifatmu, ia cukup mengerti dan sadar diri."

Aku mendengus, "Lalu kau menyalahkanku? Dan kau merasa kesepian Joy memutusk..."

"Apa yang kau bicarakan?" Potong Johnny cepat.

Ia membawa jemariku ke dalam genggamannya, Kini ia yang menggenggam jemariku lebih erat.

"Maksudku... kau kesepian mungkin karena Joy tak ada," lirihku pelan.

Ia terkekeh, "Katakanlah bahwa kau cemburu."

"Ti-dak! Tentu saja tidak!" Elakku.

"Lalu jika kau tak cemburu kenapa kau mendengarkan musik begitu berdentum? Aku khawatir dengan pendengaranmu, Nona." Ia berbisik tepat di indra pendengaranku.

Nafas hangatnya menggelitik membuat darahku berdesir.

"Ssh...," desahku pelan.

"Y/n... "

Aku membuka mataku, "Kenapa?"

"Berjanjilah bahwa kau tidak akan mencintaiku." Ia membalikkan tubuhku menghadapnya.

Bagaimana bisa aku tidak mencintainya jika ia memperlakukanku bagaikan aku aphroditenya?

"Aku..."

"Kau tak boleh mencintaiku."

"Kenapa?" lirihku kecewa.

"Karena...," ia menjeda ucapannya dengan desahan,

"karena kau terlalu berharga untuk mencintai pria sepertiku."

Aku tak mengatakan apapun dan memilih memeluknya dan Ia membalas pelukanku.


TBC

Yours Trully ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang