Chapter 10

5.8K 175 3
                                    

Ayna POV

Aku menatap awan-awan yang berarak di sampingku. Menatap apa saja yang bisa ku tatap dari balik jendela pesawat ini. Hari ini aku berencana akan liburan ke Bali bersama Brian. Aku sudah mengambil cuti seminggu untuk menghibur Brian yang sedang terpuruk.

Awalnya mama dan papa murka mendengar keputusanku yang pergi ke Bali bersama Brian. Tapi mau bagaimana lagi? Aku juga tak mungkin membiarkan Brian sedih dan terpuruk begitu saja setelah kehilangan mamanya.

Brian yang sekarang sedang duduk di sampingku terlihat sangat menyedihkan dengan raut wajah kuyu dan tatapan mata kosong. Brian yang dulu selalu ceria dan banyak tertawa, sekarang berubah menjadi Brian yang pendiam dan pemurung.

Dulu ketika aku sedang sedih atau tertimpa masalah, Brian akan selalu ada untuk menghibur dan mendukungku. Membantu ku melewati semua masalah yang ku hadapi. Kini, sekarang giliran ku yang akan menghibur Brian selayaknya Ia yang selalu menghibur ku dulu.

"Brian, kamu nggak mau pesan apa-apa? Nggak mau pesan kopi kesukaan kamu?" aku berusaha mengajaknya berbicara untuk menyadarkannya dari lamunannya. Tapi Brian tetap diam saja seolah tak mendengar ku berbicara.

"Sayang, jawab aku dong. Kamu jangan ngelamun aja. Kamu ngelamunin apa sih?" aku tetap berusaha untuk mengajaknya berbicara. Bahkan sekarang aku sudah menyandarkan kepala ku di bahunya untuk mengalihkan perhatiannya.

"Briaaannnn" aku merajuk karena tetap tak mendapatkan respon darinya.

Karena kesal melihat dia tetap melamun, akhirnya aku nekat untuk mencium pipinya. Siapa tau Ia akan segera sadar setelah ku cium seperti sleeping beauty haha

Sepertinya ciuman ku berhasil. Karena sekarang Brian sudah mengalihkan tatapan kosong nya untuk menatapku. Aku segera memasang tampang tak berdosa milikku.

"Kamu lagi ngelamunin apa sih, sayang?" aku bertanya dengan senyum tulus yang tak lepas dari wajahku.

"Nggak. Aku nggak ngelamunin apa-apa kok sayang" dia menjawabku disertai sebuah senyuman yang di paksakan.

"Aku tau kamu bohong. Kalau kamu sedih atau senang, berbagi lah sama aku. Jangan kamu simpan sendiri. Kamu masih punya aku yang selalu bersedia di samping kamu" aku berusaha membujuknya.

Sesaat, Brian terlihat seperti sedang menerawang sesuatu.

"Aku belum terbiasa hidup tanpa mama ku, Na. Aku masih belum bisa percaya kalau mama ku udah nggak ada" lirihnya.

"Aku selalu keingetan semua kenangan ku sama mama. Dulu waktu aku kecil, mama selalu buatin aku cookies. Sesibuk apapun mama bekerja, mama selalu punya waktu untukku. Mama selalu kuat. Bahkan dia membesarkan aku sendirian hingga aku nggak pernah ngerasa sedih atau sendirian hidup tanpa ayah. Aku ngerasa cukup meskipun hanya hidup berdua bersama mama. Mama selalu ada buat aku. Tapi sekarang mama ku udah nggak ada, Na. Aku masih nggak percaya mama ku pergi secepat ini" Ia mencurahkan isi hatinya yang membuatku juga turut merasa sedih.

"Tadinya aku sempat berpikir dan ketakutan buat hidup sendirian tanpa mama. Tapi setelah kamu janji akan selalu ada bersama ku, rasanya aku bisa sedikit tenang. Seenggaknya masih ada satu orang yang masih mau menemani ku dan menyayangi ku. Buat aku nggak ngerasa sendirian lagi. Thanks, Na. I'm grateful to have you" Ia berkata disertai senyum pedih lalu berubah menjadi senyum tulus ketika menatapku.

"Sama-sama, Brian. Aku janji nggak akan pernah ngebiarin kamu sendirian. Mulai sekarang aku akan selalu ada dan buat kamu tetap merasa bahagia meskipun tanpa mama kamu" kataku sembari memeluknya erat.

"Thanks, Na. I'll keep your promise" balas Brian memelukku.

Tuhan...
Semoga aku selalu bisa menepati janji ku

Disaster WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang