Setelah malam itu semuanya kembali seperti semula, Marsha dengan sandiwaranya yang terlihat baik- baik saja di hadapan kedua orang tuanya, dan Zee yang masih setengah gila.
"Mabok ga nyelesaiin masalah anjing" dari arah pantry, Adel menghampiri Zee dan mengambil satu kaleng minuman alcohol yang hendak Zee buka.
Zee menatap Adel, lalu ia dengan pasrah menghempaskan punggungnya kembali ke senderan sofa.
"Sakit bangat anjing. Lo ngerti ga si? Rasanya kaya gua pengen bawa kabur Marsha tapi gua ga bisa egois" ujar Zee sambil mengusap wajahnya kasar.
Adel menaruh dua kaleng soda dan chiki di meja, lalu ikut duduk di sofa.
"Kabur bukan pilihan yang baik, malah makin bikin mamah nya ga suka sama lo.." balas Adel.
Zee hanya diam setelahnya.
Tersisa beberapa jam lagi sebelum malam datang dan pertunangan itu dimulai.
Jika boleh egois, Zee ingin sekali menghancurkan acara itu, membawa Marsha pergi, lalu memeluk Marsha setelahnya.
Namun seperti mau Marsha, Zee tidak bisa melakukan itu, karena Marsha yang tidak ingin mengecewakan mamah dan bundanya, dia lebih memilih menghancurkan dirinya sendiri.
"Tonight i will lose her forever" lirih suara Zee membuat Adel menatap iba.
Marsha menatap dirinya sendiri di kaca kamar mandi, matanya sembab karena sejak Zee pergi ia tidak bisa mengatasi rasa sakit di hatinya.
Marsha mengusap tanda merah di dada dan lehernya, tanda yang Zee berikan dengan kasar dan penuh amarah, tanda yang tidak akan pernah Marsha dapatkan lagi nantinya.
Beribu- ribu maaf Marsha ucapkan untuk Zee, karena lagi- lagi ada rasa tidak rela yang menghigapinya.
Saat menangis begini, ketukan di pintu kamar mandi mengejutkan Marsha, terburu- burulah dia mengusap matanya dan wajahnya, berharap menghilangkan jejak jejak bekas tangisan.
Merasa cukup tersamarkan, ia pun membuka pintu kamar mandinya, lalu Marsha meliha bundanya, ternyata bundanya lah yang mengetuk pintu.
Cindy tersenyum melihat Marsha yang juga tersenyum walau tipis. Cindy tanpa kata menarik tangan Marsha untuk mengikutinya.
Marsha bingung namun juga tidak banyak kata.
Keduanya pun duduk di kasur Marsha.
Cindy memainkan tangannya di tangan Marsha. Lalu dirinya tersenyum.
"Kamu sudah sebesar ini, bunda jadi sedih.. dulu jari- jari mu ini ga lebih besar dari jari kelingking bunda tau!" Ujar Cindy masih memainkan jari- jarinya dengan jari Marsha.
Marsha tersenyum mendengar itu.
"Ada apa bunda?? Ga biasa nya bunda begini" kata Marsha yang sebenarnya hanya ingin bertanya, namun malah membuat Cindy tersenyum sedih.
"Sedih deh kamu ngomong begitu.. emangnya ga boleh bunda seperti ini sama anak bunda sendiri? Iya deh iya kamu kan deketnya sama Jinan doang" rajuk Cindy.
Marsha terbahak melihat itu.
"Ih bunda kok malah ngambek?? Aku ga ada tuh sebut nama mamah" balas Marsha, namun Cindy tetap membuat raut merajuk khas anak kecilnya itu, melupakan fakta bahwa dirinya sudah berumur.
"Ya tapi kan emang kamu dari dulu deketnya sama mamah kamu.. heran deh, padahal bunda yang kerja keras keluarin kamu dari perut ishh"
Marsha menggeleng- gelengkan kepalanya, lalu memeluk bundanya cepat.
"Nooo.. jangan mikir begitu, aku sayang kalian sama besarnya kok, jadi bunda ga usah iri sama mamah.." kata Marsha dengan senyum sendunya. Iya, dirinya menyayangi orang tuanya begitu besar, sampai ia tega meninggalkan cintanya.
"Sha.." Panggil Cindy yang masih di peluk Marsha itu.
Marsha lalu melepas pelukan pada mamah nya itu lalu menatap mamahnya bertanya.
"Kenapa?"
Cindy mengusap wajah Marsha, mengusap mata cantik masih menyisakan jejak tangisan.
"Bunda ga suka" kata Cindy yang tidak Marsha mengerti.
Cindy mencium pipi anaknya itu sayang.
"Katanya, membohongi orang tua itu adalah kesia- siaan, dan memang betul, karena sehebat apapun kamu menipu semua orang, bunda tau kamu berbohong Marsha" ujaran Cindy itu membuat Marsha terdiam dengan banyak pikiran.
"U love her kan? Azizi.." jantung Marsha berdetak kencang saat bundanya bertanya begitu padanya.
"Bun.." Marsha bingung ingin menjawab apa.
"Its oke sayang its oke, jawab aja dengan jujur" kata Cindy menenangkan Marsha.
Merasa bundanya memberi rasa nyaman padanya untuk jujur, maka Marsha pun mengangguk.
"I love her bun.. i love azizi very much"
Mendengar itu Cindy pun tersenyum.
"Kalo gitu jangan menyerah, bisa?"
Marsha menatap bundanya yang masih dengan senyuman manisnya.
"Aku ga bisa.. aku ga mau bikin mamah dan bunda kecewa.. kalian ga mau kan aku berhubungan sama Zee, makannya aku ga mau egois, aku cinta Azizi, tapi kalian segalanya buat aku" tanpa sadar, saat berkata begitu Marsha lagi- lagi menangis.
Cindy menatap iba pada anaknya. Anak memang selalu tau caranya untuk tahu diri dengan tidak memikirkan maunya sendiri, tetapi orang tua selalu lupa caranya untuk sadar bahwa anak mereka juga punya keinginan mereka sendiri.
Cindy usap air bening yang keluar dari pelupuk mata anaknya itu.
"Bunda sudah bilang tadi, bunda ga suka. Bunda ga suka kamu kesakitan begini Marsha.. maaf bunda selama ini hanya diam. Semua itu karena bunda bingung harus bagaimana, selama ini bunda pikir bunda hanya harus diam untuk adil, karena kamu maupun mamah mu sama sama terluka. Tapi makin kesini bunda sadar, sakit kamu lebih besar dari sakit yang mamah mu rasakan, dan kamu ga pantes untuk menanggung luka yang asalnya dari masa lalu. Kamu anak bunda, dan bunda orang tua kamu, ga seharusnya seorang anak lebih- lebih terluka dari orang tuanya sayang.. jadi gapapa, jangan menyerah, kejar lagi cinta mu itu, perkara mamah mu biar bunda yang urus. Lagipula kamu itu anak bunda, bunda yang lahirin kamu, jadi lebih nurutnya sama bunda jangan ke mamah mu yang jelek sifat nya itu"
Marsha menatap bundanya tidak percaya. Dia bingung namun merasa lega.
Cindy mengangguk menatap tatapan tidak percaya dari Marsha itu.
"Iya.. gapapa, kejar lagi sana mantan pacar mu itu." Kata Cindy sambil memeluk Marsha.
"Dan ajak ketemu bunda kalo sudah baikan, soalnya mau bunda marahi, masih kecil kok berani bikin tanda merah begitu" bisik Cindy pada Marsha, membuat Marsha tersenyum malu dan canggung.
Cindy terkekeh, lalu keluar dari kamar Marsha.
Marsha yang merasa nyawa nya kembali lagi itu pun tersenyum lebar. Memang kunci dari semua masalah itu adalah berbicara.
Kangen Zee:(((
KAMU SEDANG MEMBACA
Enemies to Lovers [zeesha ff]
Fanfickalo kata orang si, kebanyakan ribut bisa jadi cinta, dan kalo terlalu cinta bisa jadi ribut. jadi hati- hati aja si ya buat Azizi Asadel si ketua MPK sama Marsha Lenathea si ketua osis yang sering bangat ribut, bisa jadi nih ya, dari musuh adu meka...