1. Pertemuan Pertama

282 11 8
                                    

Perpustakaan universitas dibuka mulai pukul delapan pagi, bersiap melayani ribuan mahasiswa yang datang dengan niat yang berbeda-beda. Beberapa dari mereka sedang mencari buku penunjang proses belajar, lainnya tengah mencari referensi para ilmuwan untuk menjawab sekumpulan tugas, sisanya lagi mencari buku yang dapat memenuhi hasrat ingin tahu. Apa pun alasannya, lembaran usang dan baru yang tertata rapi di setiap rak perpustakaan sudah tak sabar untuk dibaca.

Tidak ada kelas hari ini melatarbelakangi keputusan Renata untuk pergi ke perpustakaan kampus setiap Jumat pagi. Seperti kegiatan mahasiswa normal ketika pergi ke tempat itu, ia mengambil sejumlah buku materi untuk menambah wawasan. Gadis berambut pendek tersebut bisa menghabiskan waktu sehari semalam tenggelam dalam buku yang dibacanya andai perpustakaan buka hingga larut.

Renata bukan tipe mahasiswa yang menolak pertemanan. Ia bisa berkomunikasi baik dengan siapa saja. Meskipun begitu, ia hanya punya satu sahabat sejak SMA hingga kuliah, Naomi namanya. Berbeda dengan Renata yang berkuliah di jurusan Psikologi, Naomi mengambil jurusan Sastra Cina. Kedua gadis tersebut berkuliah di kampus yang sama di Malang. Walaupun begitu, kedekatan keduanya tidak lantas membuat Renata menghabiskan waktu Jumat paginya bersama si sahabat, pasalnya Naomi selalu sibuk dengan jadwal kuliah dan organisasi.

"Tumben dia nggak ke perpus? Padahal udah jam 10." Renata duduk dengan gelisah. Tanpa disadari sepatunya mengetuk-ketuk lantai dengan keras.

Bikin kepikiran deh. Apa dia lagi sakit? batin gadis itu.

Renata lalu mengingat sebuah pesan, kira-kira berbunyi seperti ini. Saya pasti ke perpustakaan setiap Jumat pagi, jikalau saya tidak kemari, mungkin memang terjadi sesuatu.

Pesan tersebut disampaikan oleh lelaki misterius yang menjadi teman duduknya setiap hari Jumat di perpustakaan universitas. Pertemuan mereka dimulai dua bulan yang lalu, saat itu Renata sedang berkonsentrasi penuh pada buku bacaannya, lalu tiba-tiba seorang lelaki datang.

"Apa saya boleh duduk di sini?" Lelaki itu berdiri di sebelah Renata.

Tanpa pikir panjang mahasiswi semester tiga itu menjawab, "Boleh." sambil menatap lawan bicara.

Gadis itu sempat menangkap senyum samar dari si lelaki sebelum ia duduk di kursi seberang, membuat keduanya saling berhadapan. Renata juga tidak pikir panjang mengenai alasan lelaki itu berbagi meja dengannya padahal masih banyak tempat kosong di halaman depan perpustakaan. Gadis itu sendiri memilih duduk di halaman depan karena peraturan membacanya tidak seketat di dalam.

Renata juga tidak memperhatikan bagaimana cara lelaki itu berpakaian atau buku apa yang sedang dibawanya. Bila gadis itu mengurangi fokusnya pada buku yang tengah dibaca, mungkin ia akan menangkap figur seorang remaja yang biasanya mendapat predikat culun dan kuno. Bagaimana tidak, lelaki tampan itu mengenakan kemeja polos berwarna cokelat yang diselipkan ke dalam celana jeans panjang, bagian lengannya dilipat tiga kali, ditambah kacamata ber-frame lebar. Buku yang dibawanya pun menambah kesan kuno, berjudul Tenggelamnja Kapal van der Wijck karya Hamka.

Si gadis berambut pendek lama-lama merasa tidak sopan. Renata menaruh bukunya, kemudian berniat memperkenalkan diri karena satu-satunya kata yang ia ucapkan sejak bertemu lelaki itu hanyalah "boleh".

"Astaga." Renata sedikit terperanjat begitu melihat sampul buku lelaki yang berbagi meja dengannya. Sampul jingga dengan gambar kapal layar yang sudah separuhnya tenggelam. "Bukannya edisi itu dicetak sekitar 60 tahun yang lalu?" lanjutnya.

"Benar," jawab lelaki itu sambil memperbaiki kacamata yang sedikit melorot. "Kamu tahu banyak tentang sejarah novel, ya?"

"Nggak juga, sih. Tahu sedikit aja. Aku nggak pernah tahu kalau koleksi perpustakaan kita selengkap itu sampai simpan novel yang dicetak puluhan tahun lalu, biasanya kan cuma ada cetakan terbaru."

Setelahnya Renata baru memperhatikan gaya berpakaian lawan bicaranya itu. Jika dipikir-pikir, mereka berdua terlihat cukup cocok. Renata sendiri suka mengenakan gaun motif polkadot yang panjangnya selutut, ditambah gaya rambut bob dan sepatu hitam tanpa hak. Keduanya jadi tampak seperti pasangan kekasih tahun 80-an yang sedang berkencan di perpustakaan kampus.

Kita berdua pasti terlahir di zaman yang salah, batin Renata.

"Oh, iya, aku Renata." Gadis itu menyodorkan telapak tangannya.

Lelaki itu pun menjabat tangan yang diarahkan kepadanya, sambil mengembangkan senyum paling ramah di dunia, tetapi tanpa berkata apa-apa. Ekspektasi saling menyebutkan nama seketika sirna dari benak Renata, tetapi ia tak mempermasalahkannya. Karena lawan bicara tak tampak tertarik untuk mengobrol atau berkenalan, mereka berdua kembali sibuk dengan bacaan masing-masing.

Renata pulang pada pukul empat sore, tepat ketika perpustakaan universitas tutup. Ia sudah mendapat banyak referensi untuk mengerjakan tugas, juga berbagai pengetahuan baru. Lelaki yang bersalaman tetapi tidak menyebutkan nama itu juga sudah pergi entah ke mana.

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang