5. Saya Pasti ke Perpustakaan

56 9 0
                                    

Sejak hari itu Renata jadi sering melamun. Meski tak benar-benar mengenal Renaldi atau siapa pun lelaki itu, kondisinya mengkhawatirkan dan keberadaannya menjadi misteri. Setelah mendapat satu jawaban atas pertanyaan yang sudah lama dilontarkannya, kini ribuan pintu pertanyaan di kepala Renata ikut terbuka.

Fakta itu bukanlah satu-satunya hal yang dikhawatirkan si mahasiswi semester tiga. Sebenarnya, sepulang dari kampus di Jumat sore, ia mendapat panggilan telepon dari salah satu kafe di kotanya. Sosok yang berbicara melalui ponsel pintar itu memberi kabar bahwa Renata baru saja diterima untuk bekerja paruh waktu setiap akhir pekan. Ia akan menjalani masa pelatihan sebagai barista paling tidak selama satu bulan.

Renata memang mendaftar untuk pekerjaan tersebut pada awal semester tiga. Meski tak tertarik pada kegiatan organisasi di kampus, ia berniat mencari pekerjaan sambilan untuk mengisi waktu akhir pekannya sekaligus menambah uang jajan. Dua bulan berlalu sejak wawancara terakhirnya dengan pemilik kafe dan ia tidak mendapat pemberitahuan apa pun selanjutnya.

Lagipula siapa yang mau mempekerjakan karyawan paruh waktu yang kerjanya hari Jumat, Sabtu, dan Minggu aja? sesal Renata satu bulan setelah wawancara kerjanya.

Lalu saat ini, entah dengan alasan apa dan mengapa perlu waktu dua bulan untuk menghubungi Renata kembali, bahwa gadis itu diterima bahkan harus mulai bekerja Jumat depan.

"Aku bahkan hampir lupa pernah lamar kerja di tempat itu, siapa nama pemiliknya, dan berapa gaji yang aku ajuin waktu pemilik kafenya tanya." Gadis itu tengah berbicara sendiri, berhadapan dengan langit-langit kamar yang hanya menatapnya tanpa suara.

Renata lalu duduk di ujung ranjang dengan telapak kaki menyentuh lantai kamarnya yang sedikit dingin. "Lagian kenapa sih aku mikirin cowok itu terus? Kita kan cuma nggak sengaja ketemu di perpus, nggak kenal deket juga. Apa level kejombloanku udah ketinggian sampe mikirin hal nggak penting kayak gini? Sadar Renata!" Gadis itu menepuk pipinya beberapa kali.

Dalam waktu singkat ia memutuskan untuk fokus pada tujuan yang lebih penting dan masuk akal. Kuliah tetap menjadi prioritas utama, selanjutnya adalah pekerjaan paruh waktunya, dan lelaki itu di posisi terakhir. Semoga semuanya lancar, harapnya.

***

Hari-hari berlalu begitu saja. Renata berkuliah seperti biasa, menghabiskan waktu makan siang bersama sahabatnya, lalu mengisi akhir pekan dengan bekerja sebagai barista di sebuah kafe. Mengenai Renaldi, gadis itu sempat meminta bantuan Naomi untuk mencari tahu tentangnya. Tentu saja karena Naomi dan lelaki itu harusnya berasal dari fakultas yang sama, tetapi hasilnya nihil. Minggu pertama tak ada sedikit pun petunjuk mengenai dirinya. Renaldi memang bukan nama yang langka. Namun, setiap kali gadis cantik berambut panjang itu menunjukkan sebuah foto lelaki dengan nama yang sama untuk dikonfirmasi, mereka semua bukan yang Renata cari.

Jika bukan teman yang baik Naomi pasti sudah menyerah. Sejak awal, ciri-ciri dan penjelasan yang sahabatnya berikan terlalu general tetapi tidak masuk akal. Entah butuh berapa banyak Renaldi dari prodi Sastra Indonesia lagi yang perlu Naomi temui untuk memuaskan rasa penasaran Renata, tetapi ia memang gadis yang gigih.

Naomi juga pernah kabur dari kegiatan organisasi di hari Jumat demi pergi ke perpustakaan dan mencari lelaki itu, tetapi sama saja. Bahkan setelah melihat daftar pengunjung dan bertanya pada penjaga perpustakaan, lelaki bersetelan kuno itu seolah tak pernah mampir ke sana.

"Cowok kamu gaib, Ren." Naomi bersandar pada kursi yang didudukinya.

Sementara itu, Renata yang duduk di seberang meja tengah mengaduk-aduk jus alpukatnya dalam diam.

Dua gadis tersebut berada di kantin kampus setelah kelas siang berakhir.

Naomi merapikan blazer biru mudanya, lalu menyeruput minuman di depannya. "Maaf banget, ya, Ren. Aku udah coba banyak cara, tapi Renaldi ini kayak lagi ngumpet, susah dicari. Besok aku juga nggak bisa ke perpus, ada kegiatan di luar kampus."

Renata yang tampak lesu pun angkat suara. "Makasih, ya, Na. Kamu udah banyak bantu. Besok aku izin nggak kerja dulu aja."

Naomi yang paling memahami seberapa keras kepala sahabatnya hanya mengangguk. "Semoga ketemu, deh, dan sebisa mungkin kamu cari banyak informasi dari dia. Kalau perlu minta tunjukin ktm atau ktp!"

Renata mengangguk. Setelah menyelesaikan minumannya masing-masing, kedua gadis itu pun pulang.

***

Bukan Renata namanya jika tidak menjalani tekadnya. Gadis itu benar-benar izin tidak bekerja untuk pergi ke kampus. Sudah satu bulan sejak terakhir kali gadis itu pergi ke perpustakaan kampus pada hari Jumat. Satu bulan yang lalu juga ia sudah tidak bertemu Renaldi.

Meski berangkat terlalu pagi, gadis yang kini mengenakan gaun hitam dengan motif polkadot putih tersebut berjalan dengan sangat cepat. Bahkan udara dingin kota Malang gagal menahan peluh di dahinya muncul. Jika ia bisa membaca pikiran mahasiswa yang berpapasan jalan dengannya, mungkin mereka akan mengira Renata sedang terburu-buru ke kelas karena terlambat, atau sedang kesal sehingga harus berjalan cepat dan bersiap menampar pipi seseorang ketika sampai tujuan.

Sampai. Lima belas meter tepat di depan pintu masuk, bahkan penjaga perpustakaan baru saja membuka pintu yang didominasi kaca tersebut. Namun, gadis itu langsung berbelok kiri dan menuju tempat duduk favoritnya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Renata sudah dapat melihat punggung lelaki berkemeja cokelat yang dicarinya.

"Kak Renaldi! Kakak kemana aja sebulan ini?"

Pertanyaan yang terdengar tidak masuk akal bagi lawan bicaranya itu terlontar begitu saja. Mungkin lelaki itu memiliki persepsi aneh begitu mendengar amukan Renata. Gadis yang biasanya anggun kini terlihat seperti seorang istri yang sedang memarahi suaminya karena sudah tidak pulang selama satu bulan.

"Jika maksud kamu setiap hari Jumat, saya selalu di sini. Kamu yang sudah lama tidak kemari," jawab lelaki itu ringan, masih di tempat duduknya, masih dengan buku yang sama tetapi tertutup di atas meja.

Dahi Renata berkerut sembari duduk. "Bohong! Kata Naomi dia nggak pernah ketemu sama kakak. Dari belasan Renaldi di jurusan sastra yang aku dan Naomi tahu, kakak juga nggak ada." Gadis itu masih bersungut-sungut.

"Tenangkan diri kamu dulu. Lalu dengarkan saya, ya!" Lelaki itu berhenti sejenak, menunggu gadis di depannya meredakan amarah, lalu melanjutkan kalimatnya. "Saya pasti ke perpustakaan setiap Jumat pagi, jikalau saya tidak kemari, mungkin memang terjadi sesuatu. Ingat itu. Jumat lalu saya kemari, dua minggu lalu juga, tiga minggu lalu sama, empat minggu lalu juga sama. Tetapi saya memang tidak pernah bertemu dengan temanmu yang bernama Naomi itu. Mungkin kami tidak saling menyadari karena kami memang belum kenal, itu saja. Kamu punya buku dan pena?"

Tanpa banyak bertanya Renata mengeluarkan kedua benda tersebut dan meletakkannya di atas meja. Sementara lelaki di hadapannya membuka buku catatan Renata, lalu menuliskan sebuah kata di sana.

"Mengenai nama, saya memang berbohong. Saya bukan Renaldi, ini ... nama saya yang sebenarnya. Kamu tidak perlu repot-repot mencari saya di gedung fakultas. Jika kamu ingin bertemu, cukup di sini saja, cukup hari Jumat saja, ya."

Diliputi perasaan kesal dan sedikit bingung, Renata menarik bukunya untuk membaca tulisan yang baru saja ditorehkan lelaki itu.

Samoedra. Ditulis sedikit miring ke kanan dengan gaya kursif rapi.

"Sam?" tanya Renata.

"Kamu boleh memanggil saya seperti itu."

***










Hola semuanya, terima kasih sudah mampir di cerita ini, aku mau minta maaf juga karena ada sedikit kendala sehingga butuh waktu lama untuk lanjutin bab 5. Sekedar spoiler, di bab 6 aku berencana untuk menyeret Renata ke tempat dan waktu yang nggak pernah dia duga sebelumnya. Hati-hati, Ren.

Terima kasih untuk semuanya, jangan lupa vote dan komentar juga 💐

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang