8. Rumah

33 4 1
                                    

"Kamu mau ikut aku nggak, Na?"

"Ke mana?"

"Ke rumah Mbak Dewi," jawab Renata dengan antusias.

Naomi ragu. Mengapa harus ditanggapi sampai seserius ini? Lagipula siapa yang bisa menjamin bahwa cerita Renata mengenai lelaki itu adalah benar-benar nyata. Berbohong juga bukan kebiasaan sahabatnya. Apalagi melihat usahanya sejauh ini, bukankah sudah jelas bahwa gadis itu tidak sedang mengarang atau sekedar berhalusinasi? Pikiran Naomi kian berkecamuk.

"Na, kok, malah bengong, sih? Ayo, ke rumah Mbak Dewi!"

Naomi menggenggam lengan sahabatnya sambil bertutur serius. "Ren, apa beneran perlu?"

Lawan bicaranya mengangguk mantap. Dalam arsip tersebut juga tidak tercantum nomor handphone atau nomor telepon rumah. Jadi untuk bertanya kepada Dewi, jalan yang harus ditempuh adalah menemuinya secara langsung.

Berbekal alamat yang tercantum dalam arsip tersebut, keduanya menyewa taxi online sepulang kuliah menuju tempat Sam dan Dewi tinggal.

"Ren, kalau kamu ada masalah atau banyak pikiran, jangan lupa curhat ke aku, ya. Jangan dipendem sendiri!" Naomi kembali menatap sahabatnya dengan serius.

"Iya, Na, tenang aja," jawab Renata ringan.

Jarak kampus ke lokasi tujuan hanya sepuluh menit menggunakan mobil. Begitu turun dari kendaraan, Renata mendapati perasaan familiar. Déjà vu.

"Bener rumah ini. Aku pernah ke sini!" seru Renata antusias.

Naomi menjawab dengan ragu. "Maksud kamu ... Jumat lalu?"

Renata mengangguk beberapa kali. Meski tempat tersebut memiliki bentuk jauh berbeda dari yang diingatnya, tetapi letak rumah, halaman depan, dan suasananya tak berubah. Bangunan tersebut kini bergaya minimalis, masih dengan nuansa putih, ditambah kanopi, jalanan paving, memiliki pagar, dan halaman berumput yang asri.

Masih dengan semangat yang sama Renata menekan bel rumah tersebut. Tak lama kemudian pintu pun dibuka oleh seorang wanita paruh baya. Ia mengenakan baju santai, terlihat cantik. Renata mengingat wajah Dewi dengan baik, tetapi perempuan yang kini berdiri di hadapannya bukanlah orang yang dicari.

"Apa benar ini rumahnya Mbak Dewi?" tanya Renata kemudian.

"Dewi sudah lama pindah, sekarang rumahnya saya tempati. Mbak siapanya Dewi, ya?" Jawaban sekaligus pertanyaan susulan itu sedikit melunturkan semangat Renata.

"Kami ada sedikit keperluan dengan Mbak Dewi. Kalau boleh tahu sekarang pindah ke mana?" sahut Naomi, ia tidak ingin kepolosan Renata membeberkan maksud asli kedatangan mereka.

Wanita si pemilik rumah diam untuk beberapa saat, mengingat-ingat segala macam informasi mengenai Dewi. "Dewi nggak pernah cerita pindah ke mana."

Karena tidak mendapat apa yang diinginkan, kedua mahasiswa itu pun hendak pergi. Sebelum wanita paruh baya itu masuk dan menutup pintu, Renata yang berjalan menuju gerbang tiba-tiba berbalik.

"Apa Mbak kenal Samoedra?" ucapnya dengan cukup lantang, memastikan wanita pemilik rumah mendengarnya.

Pintu urung ditutup, wanita itu kembali ke luar. Dari sorot matanya dapat ditebak bahwa ada yang salah dengan pertanyaan Renata.

"Silakan masuk."

Meski sempat ragu sejenak, Renata dan Naomi memutuskan untuk masuk. Pengalaman memasuki rumah tersebut masih benar-benar lekat di benak Renata, ia masih hafal letak ruangan hingga posisi perabotan di sana. Saat ini, ia kembali merasakan sesuatu yang amat familier. Penataan ruangannya masih sama, tetapi tentu saja isinya sudah jauh berbeda. Kursi dan meja kuno digantikan dengan yang lebih modis, tidak ada lagi kalender yang tergantung di dinding, dan rak berisi piala di ujung ruangan berubah menjadi patung rajawali.

Ketiga perempuan tersebut kini duduk di ruang tamu. Dengan tiga cangkir teh yang masih mengepulkan asap di atas meja sebagai bentuk keramahan pemilik rumah.

"Saya kenal Samoedra, saya juga teman kuliah Dewi dulu." Kalimat pembuka itu seolah memiliki efek magis yang segera menarik naik ujung bibir Renata. "Samoedra ... dikabarkan hilang 26 tahun yang lalu."

Bagai petir yang tiba-tiba menyambar, kalimat susulan tersebut sontak membuat Renata terkejut sekaligus sakit hati.

"Apa?" Naomi spontan bertanya. Ia kemudian melirik sahabatnya yang terlihat mematung.

Informasi mereka mengangguk. "Terjadi tragedi di hari ulang tahun mereka dan sejak hari itu dia tidak pernah terlihat lagi. Saya tidak bisa menceritakannya lebih lengkap, yang jelas Dewi benar-benar terpukul. Beberapa tahun kemudian, rumah ini dijual karena Dewi terus berhalusinasi melihat saudaranya di sini."

Terjadi keheningan dalam beberapa detik, kemudian Naomi kembali bertanya mengenai proses pencarian dan pelaporan kepada polisi. Wanita itu menjelaskan selengkap dan sejelas mungkin. Sejauh ini hasilnya nihil, Sam tidak ditemukan di mana pun, jadi Naomi menyimpulkan bahwa kemunculannya sekarang, apalagi dengan wajah yang benar-benar sama dengan 26 tahun silam adalah mustahil.

Wanita si pemilik rumah kini bertanya, "Baiklah, sekarang giliran kalian yang menjelaskan tujuan mencari Dewi dan saudaranya."

Naomi kembali menatap Renata, tetapi sahabatnya tampak tak mendengarkan pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Gadis berambut pendek itu melamun karena isi kepalanya dipenuhi pertanyaan dan penyangkalan. Naomi pun segera memikirkan penjelasan yang lebih masuk akal daripada mengatakan bahwa temannya juga berhalusinasi melihat lelaki itu di kampus.

"Kami mendapatkan identitasnya dari arsip kampus. Sebenarnya kami hanya sedang melakukan beberapa riset mengenai sastra lama, saya pikir Kak Sam bisa membantu."

"Kak Sam?" tanya wanita itu bingung, sejauh ia mengenal lelaki itu hampir tidak ada yang memanggilnya begitu.

"Kak ... Samoedra."

Renata masih tutup mulut. Ia ingin sekali menceritakan segala hal yang dilihatnya selama dua bulan belakangan, bahkan pengalamannya menjadi manusia tak terlihat dan tak tersentuh di antah berantah. Namun, akal sehatnya berhasil memblokir hal yang bertolakbelakang dengan penjelasan wanita di depannya. Mengungkapkan hal itu hanya akan membuatnya terlihat seperti gadis gila.

Karena tak ada penjelasan lebih jauh lagi mengenai Sam, Naomi segera mencari alasan untuk ia dan sahabatnya pergi. Wanita itu pun mengantar keduanya ke luar hingga taxi online datang sekitar pukul tujuh malam.

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang