3. Indra Keenam

74 8 3
                                    

Selain belajar teori di kelas, beberapa mata kuliah juga mengharuskan mahasiswanya melakukan praktik langsung di lapangan. Seperti Rabu pagi ini, kelas Asesmen diisi kegiatan praktikum tes IQ pada siswa SD. Kegiatannya dilakukan dengan membuat kelompok kecil yang terdiri dari dua orang. Setiap kelompoknya akan melakukan tes kepada satu siswa.

Jauh sebelum hari ini tiba, segala persiapan sudah dilakukan, mulai dari mempersiapkan alat ukur yang digunakan untuk melakukan tes, hingga surat izin melakukan praktikum kepada anak SD.

Renata akan melakukan tes IQ bersama Dinda yang menjadi pengamat selama tes berlangsung. Saat ini ruang kelas empat A SD Mentari hanya diisi enam orang. Renata, Dinda, dan Adam--siswa kelas empat yang akan menjalani tes bersama Renata--duduk di bagian depan. Tiga orang lain adalah satu siswa kelas empat dan dua teman sekelas Renata yang duduk di bagian belakang. Jarak kedua kelompok sudah diatur supaya tidak ada yang terganggu dan hasil tes tetap akurat.

Sebelum tes dimulai, mereka melakukan perkenalan singkat, sesuai dengan apa yang sudah dijelaskan oleh dosen mata kuliah tersebut sebelumnya. Sementara Renata sedang mengobrol santai dengan Adam, Dinda pergi ke toilet sebentar.

Baru tiga detik Dinda keluar dari pintu kelas, Adam tiba-tiba bertanya, "Kakak punya indra keenam, ya?"

Renata menahan tawa. Sebab pertanyaan seperti itu juga kerap melekat padanya. "Nggak punya, kok. Kamu denger dari siapa emangnya?" tanya gadis itu ramah.

Adam menggeleng. "Aku nggak bodoh, Kak. Aku nggak ngomongin soal stereotip mahasiswi psikologi." Jawaban itu sedikit mengejutkan Renata. Kata "bodoh" terdengar sedikit kasar untuk diucapkan bocah itu, "stereotip" pun sepertinya bukan kosakata umum bagi anak seusia Adam.

Renata juga makin antusias, ia yakin Adam anak yang jenius dan akan mendapat skor IQ tinggi. "Oh, jadi kamu beneran pengen tahu aku punya indra keenam atau nggak? Aku nggak punya, tapi kenapa tiba-tiba tanya itu?"

"Karena aku punya, aku juga bisa lihat kalau kakak punya keistimewaan yang sama." Raut wajah Adam tampak serius.

Sebelum Renata menjawab lebih jauh lagi, Dinda sudah kembali, sehingga pembahasan aneh tersebut dihentikan. Adam tampaknya juga sengaja membicarakan hal itu berdua saja dengan Renata. Ketika Dinda datang, ia tak mengungkitnya lagi.

Setelah sesi pengenalan dirasa cukup dan hubungan ketiganya tidak canggung, tes dilakukan. Persis seperti dugaan Renata sebelumnya, Adam dapat menjawab pertanyaannya dengan cepat, tepat, dan penuh percaya diri. Anak itu juga memiliki ingatan yang luar biasa.

"Kamu hebat banget, sih, Adam. Sekarang tesnya udah selesai, ya. Hasilnya keluar satu minggu lagi."

Kedua gadis tersebut kembali merapikan kertas jawaban, buku panduan, alat tulis, balok, kartu, dan berbagai peralatan lain yang digunakan dalam tes, sedangkan Adam diperbolehkan keluar kelas dan beristirahat.

"Hati-hati, ya, Kak Renata," pesan anak itu sebelum keluar kelas.

"Eh, Kak Renata aja, nih, yang diperhatiin? Kak Dinda cantik, nggak?" protes Dinda. Namun, tak ada jawaban lagi dari siswa yang diajaknya bicara. "Lah, udah pergi anaknya."

Renata tertawa kecil. "Hati-hati juga, Kak Dinda. Anggap aja aku mewakili dia."

"Iya iya. Emangnya pas aku tinggal tadi ngomongin apa, sih? Kamu mau ikut balap liar, ya? Sampe disuruh hati-hati" tanya gadis itu sedikit menggoda.

"Nggak lah, cuma ngobrol santai aja, bangun kedekatan tester sama testee, sesuai yang diajarin Bu Restu."

Semua kelompok sudah menyelesaikan tugasnya, mereka lalu kembali ke kampus dan mulai menghitung skor tes siswa dengan buku panduan. Sekitar setengah jam kemudian, kelas mulai gaduh karena para mahasiswa saling menanyakan hasil tes IQ para siswa. Percakapan seperti, "Eh, berapa IQ anak kamu? Anak aku masuk rata-rata. Anakku rata-rata bawah, nih, anaknya malu banget pas jawab pertanyaan." terdengar di berbagai sisi ruangan.

"Skor IQ Adam 125, superior," ucap Renata kala berdiskusi dengan Dinda.

Gadis dengan rambut dikucir satu itu bertepuk tangan kecil. "Keren banget, udah kelihatan sih dari cara dia bicara, beda dari anak biasa," pujinya.

Para mahasiswa saling berkonsultasi dengan teman sekelas dan juga dosen di kelas, memastikan pekerjaan mereka sudah benar. Tentu saja identitas tiap siswa dan hasil tes menjadi rahasia kelas tersebut, mereka tidak boleh sembarangan membicarakan hasil tes IQ seseorang di luar kelas. Selain itu, Bu Restu juga akan melakukan tes lanjutan untuk memastikan bahwa hasil praktik mahasiswanya sudah tepat.

Kelas kali ini berakhir pukul sebelas siang. Seperti biasa, Renata memutuskan untuk makan siang di kantin fakultas bersama Naomi. Kantin lebih ramai di hari Rabu, tetapi dengan sedikit bersabar, keduanya pun mendapatkan giliran memesan makanan dan duduk di tempat yang nyaman. Jika Renata memandang jauh ke arah kanan, akan terlihat deretan kendaraan bermotor yang dipakai mahasiswa berangkat kuliah, sedangkan pemandangan di sebelah kirinya adalah jalan setapak yang dipenuhi mahasiswa berlalu-lalang. Renata menghadap ke sana, sangat lama hingga terlihat seperti sedang melamun.

"Mikirin apa sampe bengong gitu?" Naomi ikut menoleh ke arah yang dilihat sahabatnya.

"Kamu pernah ketemu sama cowo pake kacamata dan berpenampilan kuno, nggak, di gedung fakultasmu?" tanya Renata, masih tak memalingkan tatapan.

"Kamu suka sama cowo? Siapa siapa? Cerita, gih!" Naomi mendadak bersemangat.

Renata pun mulai bercerita mengenai pertemuannya dengan si lelaki misterius di perpustakaan yang sudah terjadi dua kali. Gadis berambut pendek itu cukup terbuka pada sahabatnya.

"Aneh banget. Anak fakultasku memang pada nyentrik, jadi kalau ciri-ciri yang kamu kasih sedikit kayak gitu, aku susah carinya." Naomi mulai menyantap soto yang dipesannya. "Kamu hati-hati aja, deh. Aneh juga ada cowo sok misterius deketin kamu. Lebih baik kamu ikut organisasi, kenalan sama lebih banyak orang yang jelas di kampus. Jangan jadi mahasiswa kupu-kupu terus, malah ketemu sama yang begitu, kan."

Renata juga menikmati makanannya. "Iya, kapan-kapan kalau minat, tapi aku jadi keinget sama adek yang tadi aku tes, dia juga suruh aku hati-hati, mana aku dibilang punya indra keenam."

"Ha? Apaan lagi itu?" Naomi bertanya heran sembari mengucir rambut panjangnya ke belakang agar tidak menggangunya makan.

Keduanya terus mengobrol hingga makan siang mereka habis. Renata bercerita mengenai segala hal yang menggangu pikirannya. Naomi juga banyak berdiskusi mengenai masalah di organisasi. Gadis itu cukup aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan. Setelah makan siang ia juga memiliki agenda rapat, sehingga keduanya berpisah.

"Oh, iya, kalau mau cari cowo mendingan yang jelas aja, deh, jangan lupa yang aku bilang tadi." Gadis itu memakai lip tint lalu kembali menggerai rambut bergelombangnya, kemudian segera pergi. Naomi memang selalu memperhatikan penampilan.

***

Seperti biasa, Renata pergi ke perpustakaan pada hari Jumat. Kali ini ia menyiapkan dua botol susu cokelat dan makanan ringan.

"Tumben bawa bekal, kantinnya tutup?" Mama Renata tiba-tiba datang.

"Bukan gitu, Ma. Lagian aku cuma bawa snack, kok. Udah, ya, Renata berangkat." Gadis itu mencium tangan sang ibu kemudian pergi.

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang