9. Kali Kedua

28 3 2
                                    

Dua bulan lebih Renata bercerita mengenai pertemuan misteriusnya dengan Samoedra. Selama itu pula hidup mahasiswi tersebut dibayang-bayangi seorang lelaki. Bagi Naomi, cerita-cerita yang didengarnya tentu sangat menarik hati Renata, gadis lugu itu sudah pasti jatuh cinta. Namun, Naomi tak pernah melihat wujud Sam barang sekali. Setelah nekat mendatangi sebuah rumah dari alamat yang tertulis di arsip mahasiswa pun, kedua gadis itu justru menemukan fakta yang bertolak belakang dengan logika. Menghilang 26 tahun lalu. Setelah berpikir lebih matang lagi, Naomi sampai pada satu kesimpulan. Sam tak pernah ada. Lelaki itu adalah halusinasi sahabatnya. Cerita Renata belakangan ini mengenai kembali ke masa lalu juga membuat gadis berambut panjang itu yakin sahabatnya terlalu lelah berkuliah dan bekerja.

"Kamu denger sendiri, kan, Ren. Dia hilang lebih dari 20 tahun. Maaf banget, tapi kita nggak dapet yang kamu cari dan ini semua melelahkan," tukas Naomi berterus terang.

Pagi ini Naomi dikejutkan oleh pesan Renata. Rupanya gadis itu sudah ada di perpustakaan kampus dan meminta Naomi menyusulnya.

"Sekali lagi aja, percaya sama aku, Na. Aku mau buktiin sesuatu. Aku yakin hari ini, hari Jumat, bisa ajak kamu ke sana." Renata gigih pada pendiriannya.

Naomi memutar bola mata. Ia tak ingin berpura-pura lebih jauh lagi. "Sekarang hidup kamu cuma dipenuhi Sam, Ren. Tapi yang bikin aku makin sedih adalah fakta kalau dia nggak pernah ada. Lebih baik sekarang kamu pulang, istirahat, atau aku temenin ke RS buat periksa kesehatan."

Belum sempat menjawab kalimat Naomi, Renata mendengar pintu dibuka oleh penjaga perpustakaan. Ini dia. Saat yang sudah ditunggu-tunggu. Seolah melupakan penolakan Naomi dan tidak pikir panjang mengenai pendapat sahabatnya, gadis itu menarik lengan Naomi sambil berjalan masuk.

Naomi sempat menghentikan langkah sembari menarik tangan Renata ke arah berlawanan. "Oke, aku kasih kesempatan sekali lagi. Tapi ini benar-benar yang terakhir. Kalau nggak berhasil, janji kamu bakal lupain Sam!" Bak anak kecil, Naomi menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking Renata setelah gadis itu setuju.

Tempat tujuan mereka adalah lantai dua, tempat paling ujung, surga bagi pencinta novel. Renata ingat persis tempat buku itu diletakkan sebelumnya, tetapi buku itu tidak ada.

"Harusnya di sini. Na, bantu cari, ya! Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck versi lama, sampulnya jingga ada gambar kapal layar setengah tenggelam."

Naomi menghela napas sebentar, lalu mulai menyusuri lorong buku lain untuk memuaskan rasa penasaran sahabatnya.

"Ketemu!" Renata mengangkat buku itu ke langit menggunakan dua tangan dengan bangga. "Ini, Na, bukunya." Begitu berbalik untuk menunjukkan benda tersebut kepada sahabatnya, Renata sadar sudah berada di tempat yang berbeda.

Oh, tidak, seharusnya aku ke sini bersama Naomi.

Ia berada di dalam perpustakaan, tetapi alih-alih perpustakaan kampus yang selalu didatanginya, ia justru berada di perpustakaan lain. Ia memang tidak yakin, tetapi jumlah buku yang memenuhi tempat tersebut membuatnya cukup percaya diri sedang berada di perpustakaan.

Renata menyusuri tempat itu, berharap melihat seseorang yang dikenalnya.

Tidak ada gunanya berlama-lama di sini. Karena tak ada Sam maupun Dewi, mahasiswi itu pun memutuskan untuk segera keluar. Tepat sekali, ia berada di perpustakaan kampus Sam. Ia pun bertekad untuk segera pergi ke rumah lelaki itu.

Ia bersyukur memiliki ingatan yang kuat. Meski hanya sekali, Renata hafal betul jalan ke rumah kembar misterius itu. Walaupun kali ini ia gagal membawa Naomi, gadis itu tidak berkecil hati, ia makin bersemangat mencari tahu kebenaran mengenai hilangnya Sam dan kemunculannya di perpustakaan dua bulan sebelumnya. Cuaca cerah dan suhu Kota Malang yang sejuk bahkan menambah semangat Renata.

Sampai. Rumah serba putih dengan pintu kayu berdiri kokoh di hadapan gadis bergaun hijau itu. Sama seperti sebelumnya, pintu rumahnya tidak ditutup. Masih sambil menggenggam novel, gadis itu memasuki rumah tanpa ragu.

"Lihat, kakak tidak punya gigi!"

Renata menoleh ke asal suara. Itu adalah Dewi, ia tengah membuka sebuah album foto yang amat besar sambil duduk di ujung ruang tamu. Walau awalnya merasa tidak sopan, Renata memutuskan untuk duduk di sebelah gadis itu dan mengintip isi album foto.

"Wah!" Renata terbelalak. Benda itu dipenuhi foto anak-anak yang diperkirakan berusia 5-8 tahun.

Dewi tengah menunjuk sebuah foto sambil tertawa cekikikan. Seorang anak laki-laki berbaju biru menampakkan senyum paling lebar sejagat raya, tetapi bagian paling lucunya adalah gigi depan anak itu yang ompong.

"Kak Sam waktu kecil lucu banget!" ujar Renata ikut tertawa. Ia berterus-terang karena yakin tidak ada yang bisa mendengarnya.

Sementara itu, lelaki yang sedang menjadi bahan ejekan baru keluar dari arah dapur kemudian ikut duduk di ruang tamu sambil menyeruput teh di mug blirik hijau. Ia hanya tersenyum dan tidak menanggapi lebih jauh.

Dewi membolak-balik album foto. "Kalau yang satu ini kakak menangis karena tidak mendapat baju di hari raya." Dewi meneruskan ledekannya, begitu pun Renata yang masih ikut tertawa.

Renata terus tertawa, hingga sebuah foto memudarkan senyumnya. Gambar hitam putih itu memperlihatkan sepuluh anak kecil yang sedang berfoto bersama. Latar belakang fotonya adalah rumah yang saat ini mereka tinggali dan sebuah palang bertuliskan "Panti Asuhan Ceria".

Sam pernah bercerita dirinya dan Dewi tidak memiliki orang tua. Faktanya memang begitu, keduanya tak pernh benar-benar memiliki orang tua. Sejak kecil keduanya sudah hidup di panti asuhan, tanpa sedikit pun ingatan mengenai kerabat atau ibu ayahnya.

Ibu panti menjelaskan bahwa keduanya ditemukan di teras panti ketika masih bayi. Ditelantarkan, bahasa kasarnya. Namun, wanita berhati malaikat itu hanya meyakinkan bahwa, "Kalian berdua selamanya anak ibu."

Dari sepuluh anak tersebut, Sam dan Dewi adalah yang termuda. Panti juga tidak berkembang dan tidak menerima anak lain. Sehingga setelah anak yang tinggal di sana makin dewasa dan mandiri, mereka meninggalkan panti dan membangun keluarganya satu per satu. Akhirnya hanya tersisa Samoedra, Dewi, dan Bu Lena pemilik panti. Setelah Bu Lena meninggal lima tahun lalu, rumah tersebut menjadi hak milik si kembar berdasarkan surat wasiat pemilik sebelumnya.

Tiba-tiba saja Renata menatap Sam dengan iba. Namun, entah bagaimana ia juga merasa bangga karena lelaki itu tumbuh dengan baik bahkan dapat berkuliah dan menjaga adiknya.

Sam dan Dewi memang memiliki masa kecil yang bahagia walau tanpa orang tua kandung. Mereka tumbuh layaknya anak lain dan memiliki banyak teman. Memiliki sepuluh saudara angkat artinya mereka sudah sering tidak mendapat baju baru karena minimnya sumbangan. Sering berebut paha ayam karena Bu Lena baru mampu membeli lima. Juga sering bertengkar saat kerja bakti membersihkan panti. Namun, semua itu membangun kepribadian mereka. Menciptakan anak-anak yang mengerti arti penting bersyukur, berbagi, dan bekerja sama.

Setelah sesi bernostalgia selesai, Sam ke dapur untuk memasak makan malam, sementara Dewi pergi ke kamar dan melakukan beberapa hal. Sebelum mengikuti salah satu dari mereka, mata Renata sempat menangkap lingkaran merah pada kalender yang tergantung di dinding. 27 November dilingkari dengan spidol merah dan diberi tulisan "ulang tahun ke-21".

Tidak ada ponsel untuk memastikan tanggal dan hari. Maka Renata memutuskan untuk mengikuti Dewi di kamarnya. Kalau sedang beruntung, mungkin ia akan menemukan petunjuk mengenai waktu saat ini. Dan benar saja, gadis itu tengah menulis buku harian. Maka yang perlu dilakukan adalah melihat tanggal yang ditulis pada lembar atas dan ....

"26 November 1996!" seru Renata. "Jadi hari ulang tahun dan hari Sam hilang adalah ... besok?"

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang