6. Tempat Terasing

33 5 1
                                    

Untuk saat ini hierarki hal-hal penting di kepala Renata telah berubah. Urutannya bukan lagi berkuliah, bekerja, baru si lelaki perpustakaan, tetapi menjadi berkuliah, berkencan, baru bekerja. Ia lebih memilih izin tidak datang ke kafe pada hari Jumat untuk menemui lelaki yang kini bernama Samoedra di perpustakaan. Tampaknya gadis itu benar-benar tidak khawatir akan kemungkinan diberhentikan menjadi barista paruh waktu.

"Tumben dia nggak ke perpus? Padahal udah jam 10." Renata sudah datang ke tempat itu sejak pagi, dengan menyiapkan berbagai macam bekal, bahkan sebotol kopi karamel yang dibuatnya sendiri. Gadis itu berniat memamerkan kemampuannya dalam membuat minuman setelah menjalani pelatihan selama satu bulan di tempat kerja.

Bikin kepikiran deh. Apa dia lagi sakit? batin gadis itu.

Tiba-tiba saja, sebuah ingatan mengenai pertemuan minggu lalu berkelebat di kepalanya. Ia mengingat sebuh kalimat yang jika dipikir-pikir lagi sangat aneh untuk diucapkan lelaki itu. Saya pasti ke perpustakaan setiap Jumat pagi, jikalau saya tidak kemari, mungkin memang terjadi sesuatu. Kalimat itu seolah sengaja diucapkannya dengan tujuan tertentu. Sebuah peringatan?

Sebelum kepalanya berhasil memperkirakan hal buruk, gadis itu bangkit dan memutuskan untuk masuk dan mencari beberapa buku untuk dibaca, karena sejak awal kedatangannya Renata hanya duduk dan menunggu.

Gadis itu berjalan ke bagian ujung lantai dua, tempat di mana novel-novel ditata rapi pada raknya. Deretan itu seringkali lebih ramai daripada lorong lain yang dipenuhi buku non fiksi. Biasanya dipenuhi mahasiswa jurusan sastra Indonesia, juga para pencinta novel dan senja.

"Eh, buku ini kan ...." Gadis itu meraih sebuah buku di hadapannya.

Buku yang terletak di rak paling ujung dan paling bawah. Bersampul jingga dengan gambar kapal layar yang sudah separuhnya tenggelam. Awalnya ia mengira buku itu adalah seri lain dari versi lawas Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dikoleksi perpustakaan. Namun, setelah membuka halaman pertama, ia menemukan sebuah tulisan yang tampak familier.

Untuk Dewi. Ditulis sedikit miring ke kanan dengan gaya kursif rapi. Ia sangat yakin tulisan yang tampak dicetak dengan pena khusus itu adalah milik Sam. Renata juga ingat Dewi adalah nama saudara kembar lelaki itu, tetapi mengapa harus ditulis di buku milik perpustakaan? Begitu membuka halaman terakhir, Renata juga tidak menemukan lembar pengembalian.

"Kupikir bukunya nggak akan pernah dikembaliin." Renata berjalan menuju meja resepsionis dengan niat meminjam buku tersebut. Baru tiga langkah, sesuatu yang keras membuat kakinya tersandung.

Bruk.

Renata jatuh. Lututnya terasa nyeri untuk sesaat karena menjadi tumpuan tubuhnya agar tidak terkapar di lantai. Setelah rasa sakitnya mereda dan gadis itu sanggup membuka mata, benda pertama yang dilihat adalah novel di depannya. Renata meraih benda itu sambil berdiri perlahan setelah memastikan lututnya tidak terluka. Namun, setelah benar-benar pada posisi berdiri, ia baru menyadari keanehan di sekelilingnya. Tak ada lagi rak penuh buku, lantai keramik putih, ataupun plafon tinggi perpustakaan.

Pantofel Renata berdiri di atas tanah, dan langit di atasnya terasa begitu terik. Gadis itu memutar tubuh dan matanya, memastikan apa pun yang ada di sekelilingnya sehingga dapat diketahui di mana ia berada. Penglihatannya menangkap beberapa gedung dengan atap genting berwarna-warni karena terkena hujan dan panas matahari. Ada beberapa pohon, juga gedung bertuliskan fakultas sastra yang tampak asing. Setelah berputar di tempat sebanyak tiga kali, gadis itu masih tak tahu sedang berada di mana.

Dari kejauhan ia melihat seseorang. Tanpa pikir panjang Renata segera berlari untuk bertanya.

"Permisi." Gadis yang dikejarnya tengah berjalan dengan cepat. "Permisi, ini di mana, ya?" Renata berlari sambil terus berteriak, tetapi seolah tak terdengar, gadis yang dikejarnya juga tak menoleh barang sekali pun.

"Permisi–" Tangan Renata menepuk pundak gadis itu begitu jarak keduanya hanya satu langkah. Namun, tangan Renata tidak bersentuhan dengan pundak yang diraihnya, menembus begitu saja.

"A-apa yang terjadi?" Lusinan pertanyaan memenuhi kepala gadis itu.

Tidak hanya sekali, Renata kembali meraih pundak gadis tersebut beberapa kali lagi, tetapi hasilnya sama, gadis itu tidak tersentuh. Seberapa keras pun Renata berteriak, suaranya seolah tak dapat merain pendengaran lawan bicaranya. Gadis itu juga melakukan hal yang sama setiap melihat orang lain. Semua orang yang berada di dekatnya diajaknya bicara, diraihnya dengan sekuat tenaga, tetapu semuanya sama.

Antara gila dan sedang bermimpi. Dua skenario itu adalah yang paling masuk akal untuk Renata pikirkan. Gadis itu pun memutuskan duduk di sebuah tangga yang gedungnya bertuliskan keterangan fakultas sastra karena lelah berjalan dan diabaikan.

"Saya punya janji dengan Pak Sugeng."

Pendengaran Renata menangkap suara dari arah belakang, terdengar makin dekat dan makin keras.

"Baiklah, kita diskusikan lagi lain waktu."

Begitu menoleh, dua orang lelaki terlihat berjalan dengan cepat menuruni tangga.

Wush.

Keduanya melewati Renata begitu saja, lebih tepatnya menembus tubuh gadis itu. Dalam beberapa detik Renata sempat merasakan sensasi aneh, ia merasa keberadaannya seperti hantu.

"Itu ... Kak Sam!" Renata berteriak begitu mengenali lelaki yang baru saja melewatinya. Namun, karena tak ada tanggapan dari lelaki itu, Renata memutuskan untuk mengikutinya.

Berbeda dari sosok yang ditemuinya setiap hari Jumat, kali ini Sam menggunakan kemeja putih polos, celana jeans, dan kacamata lebarnya. Lelaki itu berjalan ke luar, melewati berbagai jalanan yang asing, kemudian memasuki sebuah rumah. Sepanjang perjalanan tersebut masih tak ada yang menghiraukan keberadaan Renata, tentu saja karena tak ada yang bisa melihatnya.

Rumah sederhana yang dimasuki Sam memiliki cat serba putih dengan pintu kayu. Halaman rumahnya yang tidak terlalu luas dipenuh tanaman, dan jarak antar rumah tidak terlalu dekat. Karena pintunya tidak ditutup dan tak ada yang melihatnya, Renata ikut memasuki rumah. Benda pertama yang menyita perhatiannya adalah sebuah kalender lebar yang dipasang di dinding.

"Tidak mungkin." Renata refleks menutup mulut begitu melihat benda itu adalah kalender tahun 1996. Pada saat itu ia bahkan belum lahir. Bukankah Sam juga sama? Usia mereka tidak terlampau jauh.

Gadis itu lalu berbalik badan, menghadap berbagai perabotan di ruang tamu. Ada empat buah kursi, meja, televisi tabung di sudut ruangan, pigura berisi foto memenuhi dinding, dan lemari kecil yang dipenuhi piala. Renata menghampiri lemari tersebut karena isinya sangat mencolok.

Juara satu lomba cipta puisi, Januari 1994. Juara tiga cipta dan baca puisi, Desember 1995. Juara tiga lomba baca puisi, Juni 1995. Juara tiga lomba nyanyi, Juni 1994.

"Eh ...."

Tiba-tiba seorang gadis memasuki rumah yang pintunya masih dibuka dari tadi itu. Renata sedikit terkejut begitu berbalik badan. Pasalnya sosok itu berwajah persis seperti Sam, hanya saja rambutnya panjang dan dikucir rendah menjadi satu di belakang kepala.

Mbak Dewi?

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang