2. Pertemuan Kedua

147 11 13
                                    

Ada dua mata kuliah yang harus dijalani Renata sejak Senin pagi hingga tengah hari. Kali ini materi kelas paginya membahas mengenai cara kerja otak menyimpan dan menggunakan ingatan, sedangkan kelas keduanya membahas sebuah teori kepribadian yang digagas oleh ilmuwan psikologi bernama Carl Gustav Jung. Sejujurnya kedua mata kuliah tersebut adalah favorit Renata. Sehingga asumsi bahwa Senin adalah hari yang berat tidak berlaku kepadanya.

Siangnya ia makan siang di kantin bersama Naomi dan Leyla, teman sekelas Naomi. Renata memesang nasi goreng, sedangkan Naomi dan temannya menyantap katsu.

"Siang-siang makan nasi goreng, menyalahi hukum alam, tuh." Naomi berkomentar.

"Biarin, orang lagi pengen," jawab Renata tak ambil pusing.

"By the way kamu anak psikologi, kan? Bisa baca kepribadianku, nggak?" Leyla bertanya sembari membuat gestur aneh dengan mengayunkan tangannya di udara.

Renata tersenyum kecut. Saat ini adalah kali kedua mereka bertiga makan bersama, jadi bisa dibilang hubungan Renata dan Leyla tidak terlalu asing. Sebagai mahasiswa psikologi, pertanyaan seperti itu kerap didengarnya. Mengenai permintaan membaca kepribadian, diminta membaca garis tangan, bahkan hingga melakukan hipnosis.

"Nggak bisa, La. Kalau mau tahu kepribadianmu ya kamu harus ikut tes kepribadian. Lagian itu kenapa tangannya muter-muter di depan muka? Lagi buat portal kayak Doctor Strange?" jawab Renata, makanan di piring gadis itu sudah tandas sekarang. Meski dari penampilan tampak seperti gadis anggun, kecepatan makan Renata setara dengan kecepatan makan taruna akademi militer.

"Yah, nggak asik banget. Eh, Ren, kamu pasti nggak pernah ngerasain stres, ya? Anak psikologi bahagia terus, nggak, sih?" Leyla memang selalu bersemangat. Katanya meski tidak tidur semalam, keesokan paginya ia masih bisa mengoceh panjang lebar.

"Nggak gitu juga, sih, La. Bagaimana pun anak psikologi dan para psikolog juga manusia, semua pasti pernah ngerasain stres kalau lagi banyak tugas atau hadapin masalah di hidupnya. Analoginya sama aja kayak dokter yang juga bisa sakit." Renata menjelaskannya perlahan.

"Oh, gitu. Eh, terus terus—"

"Udah cepetan makannya, kita masih ada satu kelas lagi habis ini," potong Naomi. Jika tidak dihentikan pertanyaan Leyla tampaknya tak akan pernah berakhir.

Sebelumnya Renata berniat menceritakan pertemuannya dengan seorang lelaki di perpustakaan Jumat lalu, tetapi niatnya urung karena kedua teman makannya sedang terburu-buru. Lagipula pertemuan kemarin bukan hal serius.

Setelah makan, Naomi dan Leyla kembali ke gedung fakultas untuk mengikuti kelas selanjutnya, sedangkan Renata memilih untuk pulang dan menyelesaikan tugas-tugasnya karena tak ada kegiatan lain di kampus.

***

Hari berjalan dengan cepat. Sebagai seorang mahasiswa, disibukkan oleh tugas adalah hal normal bagi Renata, juga tak ada yang terlalu berat karena hampir seluruh materi kuliah sangat menarik bagi gadis itu, kecuali mata kuliah yang berhubungan dengan psikologi industri dan organisasi. Topiknya tidak terlalu berat untuk dipelajari, hanya saja tingkat keunikan topik mata kuliah tersebut gagal membuat Renata terpukau.

Semenarik apa pun materi perkuliahan, tidak pernah ada yang membuat gadis itu lebih bersemangat daripada kunjungan ke perpustakaan setiap hari Jumat. Waktu terasa cepat berlalu, dan gadis itu kembali meminjam sejumlah buku untuk dibaca di halaman depan perpustakaan. Baru lima belas menit gadis itu berfokus pada novel bersampul biru yang dibacanya, seseorang duduk begitu saja tepat di sebelahnya.

Renata menoleh dengan cepat, lalu mendapati lelaki itu lagi, lelaki yang sama dengan yang ditemuinya seminggu lalu, masih mengenakan pakaian yang sama, bahkan sambil membawa buku yang sama pula.

"Wah, apa ini semacam outfit hari Jumat?" tanya Renata spontan.

"Anggap saja begitu." Si lelaki kembali sumringah.

"Belum selesai baca buku itu?"

"Belum. Saya membacanya perlahan, sambil meresapi setiap kalimat yang dituangkan oleh penulisnya." Lelaki itu beranjak sambil menatap lembaran buku yang dibukanya pada halaman tengah. Tampaknya ia berniat pindah tempat duduk di depan Renata.

Semoga kesandung, batin Renata jail. "Bahasamu puitis banget, sih, anak sastra?" tanya gadis itu kemudian.

Si lelaki pun duduk tanpa jatuh atau tersandung apa pun, harapan Renata tidak terkabul. Ia lalu menjawab pertanyaan gadis di hadapannya dengan anggukan mantap.

"Mahasiswa baru?" Karena lelaki itu tampak sengaja menyembunyikan identitasnya, Renata kembali menebak-nebak.

Kali ini ia menggeleng. "Saya lebih tua darimu."

"Semester lima?"

"Anggap saja begitu."

Jawaban tersebut membuat Renata menyerah. Nggak seru, kayak anak-anak. Karena lawan bucaranya masih sibuk dengan bukunya, Renata kembali membaca novel.

Hari itu cuacanya bagus, cukup cerah untuk menjaga perasaan seorang gadis agar tidak terlalu kesal setelah berurusan dengan lelaki sok misterius. Embusan angin kota Malang pun tidak sedingin biasanya, sejuk saja.

"Apa kamu pernah mendengar bahwa buku dapat membawamu ke mana saja?" tanya lelaki itu kemudian, bukunya diletakkan di atas meja, sedangkan mata di balik lensa tebal itu menatap Renata lekat. Jika mahasiswi itu adalah tipe gadis yang mudah tergoda, ia pasti sudah luluh sejak pertemuan pertama.

"Pernah denger, sekarang, kakak yang bilang," jawabnya sedikit ketus, masih fokus pada buku bersampul birunya.

"Kalau begitu saya jelaskan. Buku dapat membawaku ke mana saja, itu karena buku dapat berisi berbagai cerita yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, dan dengan membaca setiap kalimatnya, kita seolah dibawa ke sana, ikut merasakan suasana yang dirasakan si tokoh utama, ikut menjelajah hutan paling misterius, ikut menyelam di laut terdalam, dan masih banyak lagi." Lelaki itu menjelaskan panjang lebar.

Untuk menghormati lelaki yang mengaku lebih tua darinya itu, Renata menaruh novel lalu bertepuk tangan kecil. "Terima kasih penjelasannya, Pak Dosen sastra. Sangat bermanfaat bagi mahasiswa psikologi seperti saya," ucapnya sarkas.

"Sama-sama. Saya yakin suatu hari nanti kamu bisa mengerti yang saya maksud."

Renata juga tak yakin penjelasan tadi adalah upaya menghibur si gadis yang sempat dibuatnya dongkol atau ada tujuan lain.

"Pak Dosen masih nggak mau memperkenalkan diri atau sebutin nama?" tanya Renata sambil memajukan wajahnya, berpura-pura tertarik.

Lelaki di hadapannya menggeleng. "Tidak sekarang. Mungkin minggu depan. Ngomong-ngomong kamu tidak makan siang? Minggu lalu sepertinya juga sama."

"Nggak begitu laper." Renata kembali melontar jawaban singkat.

"Makan itu kebutuhan, wajib tiga kali sehari supaya kamu tidak sakit. Jangan lupa makan, ya, saya hendak pergi terlebih dahulu," pamitnya lalu segera pergi begitu saja. Setiap langkah kakinya terlihat ringan tetapi aneh.

Renata menatap punggung lelaki itu menjauh, masuk ke perpustakaan. Mungkin kembaliin buku dulu baru pergi, pikirnya. "Lagian nyuruh orang makan siang, padahal dia sendiri nggak makan. Dasar cowok nggak jelas."

Bonus visual si cowok misterius dariku, kalau dirasa kurang sesuai dengan ekspektasi pembaca, lupakan saja ilustrasi ini 😄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bonus visual si cowok misterius dariku, kalau dirasa kurang sesuai dengan ekspektasi pembaca, lupakan saja ilustrasi ini 😄

Vote dan tinggalkan komentar, ya, terima kasih.

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang