4. Rahasia

78 9 7
                                    

Perjalanan dari rumah ke kampus ditempuh selama lima belas menit menggunakan mikrolet. Transportasi umum itu cukup ramai penumpang, sebagian besarnya adalah mahasiswa. Setelah sampai dan membayar sejumlah uang, Renata bergegas menuju tempat favoritnya di kampus.

Sejujurnya jarak gerbang utama ke perpustakaan cukup jauh. Universitas juga menyediakan beberapa bus atau sepeda yang dapat digunakan oleh mahasiswa hanya dengan menunjukkan kartu mahasiswa mereka. Namun, karena berangkat terlalu pagi, gadis berambut pendek itu memilih untuk berjalan kaki sembari menunggu perpustakaan buka.

"Capek juga, ya," keluh Renata begitu matanya menangkap atap perpustakaan yang menyembul di balik pohon besar. "Sebentar lagi sampai, semangat!"

Hari ini Renata mengenakan gaun kuning bermotif bunga-bunga yang panjangnya selutut. Rambut pendeknya tersisir rapi, ditambah sebuah penjepit rambut bunga senada dengan pakaiannya terpasang di kepala, membuat gadis itu terlihat makin anggun. Ia juga mengenakan flat shoes krem. Daripada tampak seperti mahasiswa yang hendak menghabiskan waktu di perpustakaan, gadis itu malah terlihat hendak pergi piknik di pinggir danau.

"Selamat pagi, Renata." Sapaan hangat sampai di telinga gadis tersebut begitu jarak dirinya dan perpustakaan hanya beberapa meter.

Lelaki itu. Ia sudah berada di tempat yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Juga dengan pakaian dan buku yang sama.

"Cie, nungguin, ya? Titip ini sebentar, aku pinjam buku dulu." Gadis itu meletakkan barang bawaannya di meja halaman depan, lantas membawa beberapa barang penting masuk ke perpustakaan.

Hubungan keduanya terbilang aneh. Bagaimanapun mereka baru bertemu dua kali sebelumnya. Sejak awal, tanpa alasan yang jelas lelaki itu tiba-tiba menghampiri Renata yang sedang sibuk membaca di halaman perpustakaan. Dalam lubuk hati terdalam Renata, mungkin, sosok itu adalah lelaki yang ditunggunya. Mulai dari penampilan hingga kesukaannya pada novel, entah bagaimana membuat Renata dengan mudah terhipnotis untuk nyaman di dekatnya.

Beberapa menit kemudian ia keluar dengan sebuah novel di tangan. Berjudul "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" bersampul jingga, tetapi lebih berwarna daripada yang dipegang oleh teman membacanya.

"Aku cari versi itu kok nggak ada, ya?" tanya Renata kemudian sambil duduk di posisinya.

"Memang hanya tersisa satu, sudah saya pinjam." Lelaki itu mengangkat buku yang dibacanya.

"Kakak lama banget, sih, bacanya, tukeran sini!" Renata berdiri sembari menyodorkan buku yang dipegangnya.

Sebelumnya ia tidak terlalu peduli pada buku yang dibaca lelaki itu, tetapi karena terus dibawa-bawa dan seolah diperlakukan istimewa oleh si mahasiswa misterius, novel tersebut tampak menarik. Memangnya apa yang berbeda dari novel versi lain? Mengapa memerlukan waktu lama untuk membacanya? Mungkinkah ada sebuah rahasia di sana?

"Tidak boleh, tunggu saya selesai membaca dulu." Permintaan gadis itu ditolak mentah-mentah.

Renata kembali duduk dengan perasaan tidak terlalu gembira. "Kalau nggak mau kasih novel sekarang, kasih tahu nama kakak aja deh." Gadis itu mengeluarkan sebuah pulpen dan menunjuk lelaki di hadapannya menggunakan benda tersebut.

"Ini tidak sopan." Jemari lelaki itu menurunkan pulpen yang diarahkan kepadanya perlahan. Setelah diam untuk beberapa saat, ia lanjut berbicara. "Ya sudah, kamu bisa memanggil saya Renaldi."

Renata adalah gadis sederhana. Berhasil mendengar nama lelaki itu bagai menemukan sebuah harta berharga. "Kak Renaldi, ya, terus kakak nggak ngajak tukeran nomor WA?" tanyanya kemudian.

"Tidak punya telepon," jawab Renaldi singkat. Gestur mengangkat bukunya tinggi-tinggi membuat wajah kecil itu tertutup.

"Ha? Beneran nggak punya hp?" tanya Renata lagi, memastikan pendengarannya tidak salah menangkap informasi.

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang