7. Identitas

33 5 1
                                    

Gadis cantik yang mengenakan rok pendek itu menaruh tasnya di ruang tamu, lalu berjalan lurus ke arah dapur. Bentuk wajahnya, senyumnya, caranya berjalan, entah bagaimana semuanya terlihat menarik. Gadis yang terlihat seumuran dengan Renata itu memiliki pesona unik yang memancar dari dalam dirinya. Hal tersebut bahkan berhasil membuat Renata mengikuti langkahnya ke dapur.

Ruangan itu sederhana. Ukurannya tidak besar, berisi berbagai macam alat masak dan makan yang tampak wajar-wajar saja.

"Dewi, sudah pulang," sapa Sam sambil memberikan segelas teh.

"Terima kasih." Gelas telah berpindah tangan, dan dalam sekejap isinya tandas.

Renata yang berdiri tak jauh dari kedua remaja itu dapat menangkap perubahan ekspresi Sam. Meski tampak samar, ia yakin melihat mata lelaki itu memicing dan dahinya berkerut untuk beberapa saat.

"Pewarna bibirnya merah sekali." Kalimat itu terdengar seperti sebuah protes.

Tangan Dewi refleks bergerak ke arah bibir, mengusapnya dengan kasar beberapa kali. Pandangan mata yang pada awalnya tampak percara diri kini sirna. Gadis itu lalu membuang muka sembari mencuci gelas teh yang baru diminumnya di wastafel.

Ada suasanya tidak menyenangkan di antara kedua orang yang kini berada di dapur itu. "Dewi hari ini bolos lagi? Berpacaran lagi dengan Angga?" Dalam nada bicaranya terdengar kemarahan yang bercampur dengan rasa kecewa.

"Tidak."

Mendengar hal itu, Sam mendekati saudarinya. Ia lalu meletakkan tangan di pundak gadis itu. "Tidak perlu berbohong, saya hanya khawatir kamu menomorduakan pendidikanmu. Angga dan teman-temannya juga tidak terlihat seperti mahasiswa yang baik. Seharusnya--"

"Saya tahu," potong Dewi. Gelas bersih di tangan diletakkannya pada sebuah rak, lantas gadis itu pergi ke ruangan lain.

Renata yang masih berdiri di dapur menatap Sam lekat. Faktanya raut wajah sedih lelaki itu berhasil mengubah atmosfer dapur menjadi dingin. Jauh dalam lubuk hatinya, Renata sangat ingin memeluk Sam dan memberinya sedikit kehangatan.

"Kak." Renata berucap singkat, masih berharap suaranya dapat terdengar oleh lelaki tidak asing yang masih berdiri di depannya.

Gadis itu berjalan mendekat sambil menjulurkan tangan, berusaha meraih lengan Sam. Kali ini harus berhasil. Baru dua langkah, gadis itu kembali merasakan sensasi tersandung yang familier. Tubuhnya hilang keseimbangan dan mulai jatuh ke lantai begitu saja.

Bruk.

Sama seperti sebelumnya, butuh beberapa detik untuk Renata bangkit setelah memastikan lututnya tidak terluka. Namun, begitu membuka mata, figur lelaki berpenampilan kuno itu tidak lagi berada di depannya. Segala hal sepenuhnya berubah. Tidak ada lagi dapur, ruang tamu, atau gedung universitas yang asing. Semuanya kembali seperti semula, hanya perpustakaan superluas dengan rak-rak dipenuhi buku.

Hal pertama yang terpikir di benak Renata adalah memastikan eksistensinya, bahwa ia kembali terlihat dan terdengar. Gadis itu berlari ke arah seorang mahasiswi di meja baca dan berhenti tepat di sampingnya.

Melihat wajah panik Renata, gadis yang semula berfokus pada laptop dan buku di hadapannya kini menatap Renata dengan bingung. "Ada yang bisa dibantu, Kak?"

Mata mahasiswi psikologi itu terbelalak. Ia lalu menoleh ke segala arah, memastikan tidak ada orang lain dan pertanyaan tadi benar-benar diajukan kepadanya.

"Oh, nggak. Maaf, ya, saya salah orang." Renata pergi dengan hati lega.

Begitu melihat orang lain yang tengah berjalan dengan banyak buku jauh di depannya, Renata terpikir sebuah ide. Ide untuk memastikan bahwa semua orang benar-benar bisa melihat dan menyentuhnya. Apa aku tabrak aja, ya?

Sebuah Kisah di Perpustakaan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang