🍓🍓

208 9 0
                                    

Tiba di hari akan berangkat, keluarga Darren Lie sudah siap dengan seluruh perlengkapannya di jam 9 pagi.

"Sudah siap semuanya?" tanya Darren.

"Sudah, Pa. Tinggal masukin barang saja," jawab Mikhaila.

"Ce, bukain bagasi," pinta Mikhaila pada Quin untuk membukakan bagasi mobil sementara dia akan mengangkati barang.

"Ce, minyaknya sudah isi full?" tanya Darren pada Quin yang dari kecil dipanggil 'Jie-jie' (re: Cece) yang artinya kakak perempuan.

Quin mengangguk. "Sudah, Pa. Semalam kan sudah diisi penuh."

"Ayo. Mereka sudah menunggu kita di restoran Land Park. Sudah mau berangkat."

Mereka berempat naik ke mobil setelah memastikan semua barang sudah masuk ke mobil dan tidak ada yang ketinggalan.

Dikendarai oleh Quin dan di kursi penumpang ada Darren sang ayah, di belakang ada Sabella sang ibu dan Mikhaila.

"Sudah ramai," kata Quin menghentikan mobilnya tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh juga dari kumpulan orang tua, para teman ayahnya.

"Sudah mau berangkat keknya."

"Biar Papa turun dulu." Darren keluar dari mobil menemui temannya.

"Papa, kami di mobil saja ya?" pinta Quin yang diangguki Darren.

"Mama gak turun, Ma?" tanya Mikhaila mencomot sepotong kue yang dibawa ibunya.

"Bagi, dek." Quin mengulurkan tangannya minta muffin.

"Ah! Biar Papa saja. Mama malas," jawab Sabella ikut putrinya makan.

"Mei, ayo ikut Papa sebentar," ajak Darren pada Mikhaila.

"Hah? Apa, Pa?" tanya Mikhaila kaget.

"Ayo! Itu ada teman Papa yang nyariin. Dulu dia yang gendongin waktu kecil. Jadi dia mau ketemu Mei-mei lagi," jelas Darren membuat Quin dan ibunya ketawa.

"Pergi, Mei. Tapi jangan minta gendong! Kamu sudah kebesaran," kata Quin terkekeh.

Mikhaila pun turut keluar mengikuti ayahnya.

"Yang mana orangnya, Ma?" tanya Quin penasaran.

"Itu yang pakai baju kuning itu. Dialah yang dulu gendongin si Mei-mei." Lalu Sabella menjelaskan pada Quin siapa dan darimana saja teman-teman ayahnya yang baru pertama kali Ia lihat.

Dari dulu, Quin belum pernah ikut reuni ayahnya. Hanya Mikhaila yang pernah karena dulu, Quin paling tidak suka diajak untuk berpergian ramai-ramai dengan orang lain kecuali dengan keluarga.

"Yang itu dari Surabaya, yang itu dari Jakarta, itu dari Medan. Yang ini itu suaminya yang baju coklat itu. Dan yang baju hitam berdua itu suami istri. Dan yang pakai baju kuning kotak itu mantannya papamu," jelas Sabella menunjuki teman-teman ayahnya yang juga menjadi teman ibunya.

Quin tertawa fokus memperhatikan matan kekasih papanya. "Itu mantan papa? Kok begitu? Cantik, Ma? Baik?"

Sabella mengangkat bahunya acuh. "Mana Mama tahu! Kalau sama Mama ya biasa saja begitu, baik. Tapi benaran baik atau tidak ya Mama tidak tahu. Kalau cantik ya kamu lihat sendiri, dia cantik atau tidak."

"Namanya?"

"Melia namanya."

Quin mengangguk paham dan memperhatikan teman-teman ayahnya yang mana ada sepasang suami istri di sana yang merupakan orang tua sahabatnya Quin, lalu ada juga seorang perempuan yang dulunya merupakan guru les Quin saat SD dulu.

Darren dan Mikhaila pun kembali dan membawa 1 buah kotak yang merupakan botol termos cantik warna fuschia yang menjadi souvenir reuni kali ini.

"Sudah? Kita gerak?" tanya Quin bersiap dengan mesin mobilnya.

Darren mengangguk. "Ayo, kita gerak."

(not) A Sugar B. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang